Menagih Janji Gerakan Mahasiswa: Sudah Idealkah Gerakan dan Pemerintahan Mahasiswa di UPI?

384

Oleh: Fanny Azzahra*

*Mahasiswa Jurusan Biologi C 2013

Ada sebuah film yang sangat menarik yang disutradarai oleh Stuart Hazeldine dan cukup bisa direlevankan dengan gerakan mahasiswa, terutama mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yakni Film dengan judul “Exam” atau “Ujian” . Film ini mengisahkan sebuah persaingan untuk menduduki sebuah jabatan dalam sebuah perusahaan besar yang ingin berjaya kembali. Sebut saja perebutan CEO sebuah perusahaan obat penangkal bagi pengidap penyakit tertentu. Dalam ceritanya, film ini memberi peluang kepada beberapa orang untuk saling bersaing mengalahkan satu sama lain.

Betapa sangat miripnya film ini dengan kondisi gerakan mahasiswa UPI saat ini, bagaimana tidak banyak sekali orang yang ingin berkuasa memperebutkan posisi jabatan tertinggi dan berkuasa di seluruh organisasi mahasiswa (Ormawa) UPI. Sebagai contoh relevansi lainnya, film tersebut berlatar satu tempat yakni ruang pendidikan. Dilanjut dengan  kandidat-kandidat dalam film yang dapat direlevansikan dengan golongan tertentu yang juga ingin menduduki jabatan tertinggi. Seperti halnya dalam film pula, ada berbagai aturan yang tidak boleh dilanggar baik itu norma ataupun undang-undang yang berlaku, namun aturan ini menjadi awal prasangka dan saling tuduh setiap kandidat, ditambah lagi aturan tersebut menjadi bias antara benar dan salah yang akhirnya mengundang berbagai konflik. Alhasil, semua golongan bersikukuh memperebutkan posisi tersebut dengan menggunaan trik, tipu daya bahkan saling membunuh (read: menjatuhkan) satu sama lain.

Gerakan mahasiswa dan Jarinya

Ditelisik lebih dalam, ada sebuah pernyataan yang mengundang pikir dan tanya. Pada perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006, Pramoedya Ananta Toer mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: mengapa pemuda yang dengan gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? padahal pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa sekarang tidak?

Berbagai analisis sering disebutkan mengapa mahasiswa saat ini seperti digambarkan Pramoedya Ananta Toer diatas? Mungkin salah satu jawabannya adalah gerakan mahasiswa yang sedang mengalami pergeseran ruang gerak. Gerakan yang dahulunya dimulai dari dalam kampus, saat ini berpindah tempat pada ruang-ruang dimana jari adalah otak dari sebuah gerakan. Ruang gerak tersebut adalah internet atau dunia maya. Maka tak dapat dipungkiri, banyak mahasiswa UPI yang aktif dalam internet terlebih media social dibanding aktif dan terjun langsung dalam dunia nyata kampus saat ini. Alhasil, ketika sebuah gerakan yang hanya diinisiatori oleh sebagian orang saja di kampus lalu tidak bermain pada ruang maya tersebut, habislah sudah gerakan tersebut tersapu bahkan benar-benar tak terlihat.

Saat ini, diskusi dan ruang gerak mahasiswa UPI mulai dilakukan di kafe-kafe, warung kopi dan kos-kosan mahasiswa. Ruang kampus yang semakin kaku dengan adanya beban akademik yang meningkat, serta munculnya sikap pragmatis mahasiswa, yang ke kampus hanya untuk berkuliah, membuat ruang kampus semakin jauh dari semangat gerakan social-politik. Terlebih, ada pula sebagian kecil yang kecewa terhadap pemerintahan mahasiswa di UPI yang akhirnya memilih mereka untuk enggan tahu tentang kondisi gerakan mahasiswa di kampusnya saat ini.

Berkaca dari berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan UPI, maka sepatutnya ada hal yang mesti disingkronkan oleh berbagai kalangan khususnya pemerintahan mahasiswa di UPI yakni teori dan aksi. Dalam proses tersebut, kesatuan teori dan aksi yang  dina­mis harus dipadu-padankan, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di  depan teori.

Membentuk Governance Good (Tata Pemerintahan yang Baik)

Sebuah permasalahan pemerintahan tentunya ada karena kurang, tidak selesai atau tidak ada tata kelola yang baik di dalamnya. Berikut analisis yang seyogyanya ada dalam sebuah pemerintahan yakni berlakunya Good governance (tata pemerintahan yang baik) dalam lingkup mahasiswa UPI. Maka, untuk menciptakan pola gerakan mahasiswa UPI yang ideal, prinsip Good Governance ini harus mulai diterapkan pada berbagai karakternya.

Berikut dipaparkan 9 karakter dalam Good Governance

  1. Partisipasi masyarakat, artinya, semua warga masyarakat UPI khususnya mahasiswa mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. (sudah dilakukan)
  2. Aturan hukum, Tegaknya supremasi hukum, artinya, kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. (sudah  dilakukan)
  3. Tranparansi, artinya tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan (BEM, DPM, MPM), lembaga-lembaga dan informasi dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. (belum optimal)
  4. Sikap responsive, artinya lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. (belum optimal)
  5. Berorientasi pada consensus, artinya tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan apabila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. (belum optimal, namun dalam tahap perbaikan- Dalam hal ini, mengapa sering terjadi konflik antar mahasiswa)
  6. Kesetaraan/kesederajatan, artinya semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. (sudah dilakukan)
  7. Efektifitas dan efisiensi, artinya proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. (belum optimal)
  8. Akuntabilitas, artinya para pengambil keputusan di pemerintahan, sektor swasta (UKM) dan organisasi-organisasi masyarakat (paguyuban, komunitas UPI), bertanggungjawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. (tidak ada, sehingga perlu dibentuk pola koordinasi dan komunikasi mengenai hal ini)
  9. Visi strategis, artinya para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut, mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. (sudah dilakukan)

Dalam konteks tata pemerintahan mahasiswa diatas, sedikit menjadi sebuah gambaran tentang pola ideal yang seharusnya ada di dalam pemerintahan mahasiswa di UPI. Berbagai pemimpin mahasiswa telah berganti berkali-kali, dengan latar belakang yang berbeda-beda, dengan ide yang berbeda-beda, dengan cara yang berbeda-beda, namun penulis yakin semua memiliki tujuan yang sama dan mulia yakni untuk kebaikan mahasiswa UPI. Hanya saja, dalam masa kepemimpinannya, mungkin ada kefokusan yang berbeda seperti halnya menutupi lubang pada tiap anak tangganya masing-masing, sehingga pemimpin dikemudian hari yang harus melengkapi hal yang kurang pada anak tangga yang lebih tinggi. Dengan proses ini, mungkin saja pemerintahan mahasiswa di UPI menjadi representasi dan inspirasi pemerintahan mahasiswa di Indonesia. Siapapun kelak yang berkuasa, penulis berharap pejabat terkait benar-benar mempertimbangkan hal-hal diatas.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan, bukan tim redaksi.

Comments

comments