Tiga Hati yang Menimang Luka
Oleh: Seimma Nurul Prahikmahtin, mahasiswa Bahasa dan Sasstra Indonesia
di serambi ini kita kita berjanji
tautkan jiwa berpadu kasih
esok yang datang penuh harapan
menggantikan hangatnya malam
Lagu lawas tahun 80-an tesebut mengalun seirama dengan bulir-bulir keringat yang timbul di wajah wanita berkulit putih pucat itu. Dengan tubuh ramping dan tinggi semampai, ia tampak seperti wanita paruh baya yang tak bisa menua. Kerut-kerut halus di sekitar mata dan keningnya tak mampu memudarkan kecantikan masa mudanya dulu. Sesekali, ia tersenyum tatkala lagu itu mengulang lirik yang sama.
Sambil menikmati lagu Mel Shandy tersebut, ia menyetrika beberapa tumpuk pakaian milik pelanggan. Tiba-tiba, muncul gadis berusia belasan tahun dari balik pintu. Sambil tersenyum, ditatapnya gadis tersebut dengan lembut. Gadis kecilnya telah tumbuh menjadi remaja yang begitu cantik. Semenjak ditinggal mati oleh suaminya, wanita itu bekerja keras membanting tulang membesarkan anak gadisnya. Ia membuka sebuah toko laundry yang cukup ramai oleh pelanggan. Zaman sekarang banyak orang rela menghabiskan uang untuk me-laundry pakaian karena tak punya cukup waktu untuk mencuci sendiri.
Anak gadisnya segera menyimpan tas yang dibawanya sedari pagi ke sekolah. Ia langsung mengambil sebuah setrika di sudut ruangan dan menyalakannya. Melihat hal tersebut, sang ibu tersenyum lalu memintanya untuk masuk ke rumah. Ia tak mau anak gadisnya kelelahan.
“Tak usah, Nak. Pekerjaan Ibu sebentar lagi beres. Sekarang kamu langsung mandi dan beristirahat saja. Ah, iya. Jangan lupa makan dulu. Ibu sudah buatkan opor ayam kesukaanmu hari ini.”
“Baik, Bu.”
Anak gadisnya memang sangat penurut. Selain itu, dia juga pendiam. Persis seperti dirinya. Rumah kecil berlantai dua yang berada di pinggir jalan tersebut menjadi lengang karena mereka berdua tak terlalu sering berbicara. Hanya ada bunyi mesin cuci yang menyala dan juga lalu lalang kendaraan di jalan raya yang dapat didengar di rumah itu.
***
Cuaca panas siang itu membuat peluh mengalir deras. Tak ada pendingin ruangan di toko itu. Wanita berkulit pucat menyeka peluh di dahinya lalu meneruskan pekerjaannya menyetrika pakaian pelanggan. Beruntung, meskipun bukan musim hujan, pelanggan tokonya terus saja berdatangan.
Tiba-tiba, muncul seorang tamu dengan sebuah kado dan buket bunga di tangannya. Tamu itu tersenyum, begitu pun dengan wanita berkulit pucat itu. Ia menghentikan pekerjaannya dan mendekati lelaki di hadapannya. Diterimanya kado dan buket bunga tersebut dengan wajah yang penuh suka cita. Lelaki itu memang selalu tahu caranya memberi kejutan.
Mereka berdua lalu duduk di salah satu sudut ruangan. Setelah selesai membuatkan minum, wanita itu kembali ke hadapan lelaki tersebut dengan ekspresi penuh cinta yang tak juga lepas dari wajahnya. Mereka berdua bercakap-cakap dan bergurau. Setiap orang yang melintas dapat melihat keduanya dari balik jendela kaca besar di depan toko itu. Mereka akan mengira wanita dan lelaki itu seperti muda-mudi yang dimabuk cinta, meskipun usia keduanya mendekati kepala empat.
“Kau harus mulai memikirkan ajakanku. Kau tidak bisa terus menerus bekerja seperti ini. Lihat, kau terlihat leleh dan mukamu pucat sekali.”
“Tentu saja, kulitku memang sudah sepucat ini dari dulu. Kau harus mulai berhenti menggodaku.”
Mereka tertawa lagi. Namun, masing-masing dari mereka tahu bahwa tawa yang terakhir itu mengandung kecemasan dan rasa gelisah. Ada sesuatu yang mengganggu pikiran mereka berdua.
***
Taman itu ramai oleh pengunjung. Kebanyakan dari mereka adalah keluarga yang ingin menghabiskan waktu sore dengan anak-anak atau pasangannya. Mereka berdua duduk dengan menggelar karpet yang mereka bawa dari rumah atau mereka sewa dari pedagang yang sengaja mencari nafkah di tempat itu. Ada pula yang sekadar duduk-duduk di bangku yang tersedia di setiap sudut taman. Termasuk seorang gadis dan lelaki yang juga memilih menghabiskan waktu sore mereka di taman itu.
Mereka berdua duduk di salah satu bangku. Gadis itu memperhatikan lelaki bebadan tegap di sampingnya. Sesekali diperlihatkannya deretan gigi putih bersih yang menghiasi senyum manisnya. Kadang, tak segan pula ia tergeletak ketika lelaki tersebut asyik bercerita. Mereka tampak begitu menikmati sejuknya suasana di taman sore itu. Gadis itu lupa akan ibunya yang menunggu di rumah sambil sibuk menyetrika pakaian pelanggan.
***
Wanita berkulit pucat itu tengah bersiap menutup toko ketika seorang wanita ber-make up tebal tergopoh-gopoh berlari memasuki tokonya. Ia meletakkan beberapa jinjing tas berisi pakaian kotor dan selimut tebal. Wanita itu menyeka keringat di wajahnya dengan tissue dan mengambil salah satu kursi yang berada di toko. Ditatapnya wanita berkulit putih pucat di hadapannya.
“Apakah kau tak lelah terus menerus menerima cucian sebanyak ini dariku dan dari ratusan pelangganmu yang lain?”
“Tidak. Aku menyukainya. Dan pelangganku tak sebanyak itu.”
“Oh, baiklah. Tapi sebentar, coba kulihat. Oh, tidak. Usiamu jauh lebih muda dariku namun aku terlihat jauh lebih cantik darimu. Ini tidak boleh terjadi. Kau harus merawat tubuhmu dari sekarang jika tak mau kuanggap sebagai nenek dari anak gadismu yang cantik itu. Dan satu lagi, segeralah menikah. Kau masih cukup muda untuk menikah lagi.”
Pelanggannya yang satu ini memang sangat dekat dengannya. Ia bekerja di salah satu kantor pajak dan hal itu membuatnya harus berdandan setiap kali pergi bekerja. Hal itu menjadikan mereka berdua seperti teman sebaya walau usia mereka sebenarnya terpaut tujuh tahun. Mereka telah cukup lama bersahabat baik. Ketika mendengar suaminya meninggal, wanita berkulit putih pucat itu hampir tak sadarkan diri. Wanita ber-make up tebal itulah yang memeluknya serta menghiburnya sampai ia telah cukup kuat menerima kenyataan. Anak gadisnya masih sangat kecil dan belum nmengerti apa yang telah terjadi.
“Kau keliru. Sepertinya anakku yng cantik itu akan sangat kecewa jika aku mendapatkan pengganti ayahnya.”
“Benarkah? Kurasa anakmu akan menerima lelaki yang sering mebawakanmu bunga itu. Dia terlihat seperti lelaki yang baik, mirip seperti suamimu dulu.”
Wanita berkulit putih pucat itu hanya tersenyum. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Percakapannya dengan wanita ber-make up tebal tadi membuatnya semakin gelisah. Ia tak memungkiri bahwa tiap kali lelaki pujaan hatinya datang membawa bunga dan menanyakan kesediaannya, ia sangat tersanjung dan ingin mengiyakan ajakan tersebut. Namun, nalurinya sebagai ibu membuatnya rela mengabaikan keseriusan kekasihnya. Berulang kali ia mencoba untuk mengutarakan hal tersebut kepada putrinya, tetapi rasa ragu membuatnya mengurungkan niat. Ia takut putrinya akan sangat marah dan kecewa jika mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
***
Lelaki berbadan tegap itu kali ini datang dengan buket merah yang lebih besar dari biasanya. Di tangannya terdapat sebuah kotak kecil merah hati berisi cincin. Ia memasangkan cincin tersebut ke jari manis wanita berkulit putih pucat di depannya. Digenggamnya kedua tangan wanita itu dengan erat. Disusul dengan tangis bahagia yang pecah dari kedua mata wanita tersebut. Ia tak menyangka bahwa kekasih hatinya benar-benar melamarnya sore itu.
“Maukah kau mempertimbangkan ajakanku? Aku mohon. Kau harus mengikuti kata hatimu.”
Wanita itu tersenyum. Ia bukan lagi gadis muda yang mudah digoda lelaki. Namun, apa yang dilakukan kekasihnya membuat hatinya melambung. Ia mengerti, lelaki di depannya begitu menginginkannya. Begitu tulus ingin menjadikannya sebagai seorang istri.
Tiba-tiba pintu toko laundry dibuka. Anak gadis kesayangannya diam menyaksikan apa yang telah terjadi di hadapannya. Wajahnya dipenuhi ekspresi yang sangat sulit ditebak. Melihat ibunya panik, ia bergegas masuk kamar. Hal tersebut membuat wanita berkulit putih pucat cemas. Ia melepaskan genggaman tangan lelakinya dan memintanya pulang. Lelakinya menolak. Ia berusaha menjelaskan sesuatu pada wanita itu. Namun wanita itu menarik dan mendorongnya keluar. Tak memberinya kesempatan sedikit pun. Rasa takut dan cemas menghinggapi dirinya
Wanita itu tak tahu apa yang harus dilakukannya pada putrinya. Ia kebingunga. Meja makan malam itu lengang seperti biasa. Meskipun hal tersebut memang sering terjadi, ia tahu bahwa tak ada hal buruk yang menimpa ia dan putri cantiknya. Mereka berdua mengerti bahwa kepribadian yang mereka miliki sama persis. Dia adalah keseharian. Berbeda dengan malam ini, kelengangan yang menghinggapi setiap sudut ruangan terasa begitu dingin. Hawa gelisah dan kecemasan terasa menyekat di tenggorokan masing-masing.
Seusai makan, wanita itu menelepon kekasihnya. Dengan terisak, dikatakannya kepada lelaki tersebut agar tak lagi datang ke rumah. Ia ingin menyudahi apa yang selama ini terjalin indah. Ia tak ingin mendengar alasan apa pun keluar dari mulut lelakinya. Ia tahu bahwa keputusan tersebut sangat berat bagi mereka berdua. Lagi-lagi, nalurinya sebagai seorang ibu membuatnya mengesampingkan ego. Ia tak ingin anak gadinya kecewa. Ia ingin hawa dingin di meja makan tadi tak berlangung lama.
***
Gadis itu menyalami tangan ibunya seperti biasa setiap kali hendak berangkat ke sekolah. Ia tahu ibunya sedikit canggung pagi itu. Semalam ketika makan bersama di meja makan, mereka bersikap seolah tak ada hal yang terjadi meskipun mereka tahu ada banyak hal yang jadi pertanyaan dan ingin dijelaskan.
Sepulang sekolah, gadis itu mendapati ibunya tengah merapikan beberapa pakaian yang selesai dikeringkan. Setelah menyalami tangannya, ia masuk dan meninggalkan ibunya sendiri. Kali ini, ia tak segera mengambil alih pekerjaan ibunya yang masih belum selesai. Begitu pun dengan wanita berkulit putih pucat itu. Ia memilih diam dan tak mmeinta nakanya segera beristirahat dan makan seperti biasa.
Di dalam kamar, gadis itu kebingungan. Ada yang keliru dan perlu untuk ia bicarakan pada ibunya. Ia sadar bahwa kesulitannya mengutarakan sesuatu juga dirasakan oleh ibunya. Ia ikut mendengar isak tangis sang ibu ketika tengah menelepon malam itu.
***
Lelaki berbadan tegap itu terus melamun sepanjang sisa waktu istirahat makan siangnya. Ia tak sedikit pun menyentuh hidangan di depannya. Ia sibuk meratapi apa yang telah terjadi. Kekasiha tercintanya terisak dan begitu sedih memutuskan hubungan yang telah lama mereka rajut. Ia tak kuasa mendengarnya. Ia begitu kebingungan. Mengapa wanita berkulit putih pucat itu tak memberinya sedikit pun kesempatan untuk menjelaskan?
Ia masih ingat dengan jelas percakapannya dengan gadis cantik di taman sore itu, gadis pendiam yang sudah cukup lama ia kenal dan ia sayangi layaknya anak sendiri. Sore itu, gadis yang tak banyak bicara tersebut tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang membuat perutnya seakan diseebu ribuan kupu-kupu. Ia begitu bahagia mendengarnya.
“Aku sudah lama tak berjumpa dengan ayahku. Pasti bahagia sekali rasanya jika bisa seperti ini dengan seorang ayah. Ah, apakah kau sudah memiliki seorang anak? Bolehkah aku menjadi anakmu? Ibuku pasti setuju.”
***