Klandestin
Oleh: Mardani Mastiar
*) Mahasiswa UPI angkatan 2020
Tiga tahun sudah ditempa oleh duka, lara dan bahagia. Belum usai namun sudah nampak bentuknya. Merasa di atas angin aku pada awalnya. Terlena akan angka dan merasa di atas segalanya. Tiga kali berturut-turut diriku ditimpa penghargaan. Rasa bangga merasuk menguasai sukma. Hina kalian! Hati kecilku berkata serta merendahkan mereka.
Fajar ke senja tiap harinya ku semakin tenggelam. Semakin jauh dari kesadaran. Kesadaran akan dunia ini adalah sebuah perlombaan. Perlombaan sekaligus persinggahan menuju keabadian. Mulai dirasa hari ke hari hampa dan kelam. Dihantam, kelam dan tenggelam. Terulang terus hingga penat ruh di dalam.
Klandestin, kurahasiakan semua rasa itu. Disimpan rapat-rapat dalam peti mustika di ruang paling tersembunyi di lorong-lorong hati. Namun, wajah dan tubuhku tak bisa diajak kompromi. Pandanganku yang semakin kosong. Tubuh yang sedianya kuat kini bahkan tak mampu menahan hampa yang kian melumat. Terus demikian hingga pesannya datang.
KLANDESTIN! Dua agen Tuhan datang menyampaikan pesan. Terhenyak aku! Aku bangkit dari ranjang! Kuberanikan diri kembali ke dunia yang telah lama kutinggalkan. Semangatku bergemuruh percaya diriku tumbuh! Semakin paham kini diriku akan ‘Rencana-Nya’. Dan _boom_ !!! Setelah diriku mulai bangkit dan ingin meninggalkan kebiasaan lama, kegagalan demi kegagalan dianugerahkan padaku!
Kehilangan gelar berturut-turut! Ditinggalkan dan dibiarkan dalam kepemimpinan! Kesempatan terakhir mengejar prestise hilang dalam satu ketukan! Haha!! Aku bahagia!! Aku paham!! Klandestin!! CaraNya memang rahasia. Ia ingin melihat keteguhanku berubah!!! Maka aku senang ternyata Ia yang sering kulupakan masih mencintaiku penuh ketulusan!!!
Sekarang, waktunya kuabdikan diri membalas cintaNya. Tetaplah dijalanNya! Klandestin adalah sebuah keniscayaan, sedang sikap kita adalah pilihan.