Dahaga Karya Sastra Apik Dapat Dibayar Tuntas

271

Oleh: Reza A. Pratama

Judul             : Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas

Penulis         : Eka Kurniawan

Halaman      : 243

Terbit            : Cetakan keempat Mei 2016

“Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” judul itu memang terdengar seperti roman picisan yang kerap menipu para remaja galau yang baru jatuh cinta untuk meliriknya. Namun siapa sangka, kata-kata itu bukanlah berasal dari puisi menjemukan seorang tokoh protagonis melainkan dikutip dari lukisan sebuah truk pengangkut barang seorang tokoh bernama Ajo Kawir. Pria yang kisah cintanya lebih rumit dari sekadar roman picisan.

Kisahnya tidak serta merta berawal dari seorang supir truk, melainkan ia adalah seorang pemuda yang pernah tertimpa kesialan. Ya kesialan yang begitu celaka sehingga cinta Ajo Kawir tidak hanya diuji oleh “omong kosong” kesetiaan tetapi juga nafsu berahi yang memaksa manusia berkembang biak. Alih-alih menyoroti kisah cinta biasa, Eka Kurniawan berani menawarkan sudut pandang baru tentang cinta, bahwa pada akhirnya cinta hanya terukur oleh seks.

Makna itu diperjelas oleh percakapan Ajo Kawir yang menyatakan bahwa otak manusia akhirnya diatur oleh otak di selangkangan. Segala tindakan manusia digiring oleh nafsu selangkangan tersebut, yang terkadang membawanya pada petaka. Ajo kawir pun menemukan petakanya, ketika burungnya (baca: kelamin) tidak dapat berdiri lagi.

Anomali yang aneh diawali oleh penyebab yang tak kalah aneh pula. Kesalahan Ajo Kawir kepada burungnya hanya satu, dia tidak sengaja mengintip seorang janda gila (Rona Merah) yang diperkosa dua polisi. Tertangkap tangan sedang mengintip, Ajo Kawir dipaksa menyetubuhi Rona Merah, yang berujung pada: tiba-tiba burungnya lemas dan memutuskan untuk tidur panjang.

Usaha-usaha konyol dilakukannya untuk membangunkan si burung, disengat lebah misalnya, atau digosok cabai, sampai usaha menyewa pelacur, namun semua sia-sia. Kekecewaan itu cukup untuk membuat Ajo Kawir pasrah dan lepas tangan, sampai akhirnya datang seorang perempuan bernama Iteung.

Iteung adalah perempuan jago silat yang dipertemukan dengan Ajo Kawir lewat pertarungan silat pula. Keduanya menjalin kasih cukup lama hingga akhirnya mereka menikah. Tahu burung suaminya tidak bisa berdiri, Iteung pasrah dan berusaha menerima jalan “cinta sejati” hanya untuk kecewa lagi, karena benar saja apa yang dikatakan Ajo Kawir: jika berurusan dengan berahi manusia akan tunduk. Iteung dipergoki telah hamil! Kejaduab yang memaksa Ajo Kawir pergi bersama burungnya yang masih bertapa.

 “Apa kabarmu hari ini, Burung? Jika kau masih ingin tidur, tidurlah yang lelap. Aku tak akan menganggu tidurmu.” (hlm. 127)

Kemelut cinta itu akhirnya membawa Ajo Kawir ke sebuah perjalanan spiritual. Dia mulai menganggap burungnya itu sahabat­­—atau filsuf yang membawa ketenangan. Masa itu membuat Ajo Kawir lebih bijak menyoal permasalahan. Ajo Kawir yang pernah membunuh itu, yang dari dulu selalu mudah main tangan kini diam saja ketika diprovokasi Si Kumbang, sopir truk yang selalu berniat menjatuhkannya. Bahkan ketika Mono Ompong, keneknya sekarat oleh pertarungan brutal dengan Si Kumbang, Ajo Kawir tetap tenang seperti halnya sang burung filsuf.

Ya, buku ini tidak hanya dipenuhi oleh kata-kata vulgar yang cuma pantas ditulis di buku stensilan saja, tetapi novel ini juga menyajikan pertarungan brutal yang sering terjadi di beberapa adegan. Karena tokohnya gemar berkelahi—adegan brutal itu otomatis membuat novel ini memiliki kesan gelap yang kentara. Pembunuhan demi pembunuhan terjadi di sekitar Ajo Kawir. Dengan segala cobaan hidupnya Ajo Kawir berusaha untuk berkompromi dengan sang burung, lalu sampai kapan burung itu bangun dari tidur panjangnya?

Kesan gelap itu dipelihara sampai titik terakhir buku ini, ending yang akan membuat pembaca merasa kehilangan karena telah menuntaskan cerita luar biasa. Jika dibandingkan dengan buku sebelumnya seperti Cantik itu Luka, ada kalanya novel ini berbagi kesamaan. Seperti halnya unsur dendam yang mendalam, sehingga membuat para tokohnya bertindak mengerikan. Selain dari hal tersebut, novel ini adalah ciptaan yang benar-benar berbeda dari karya sebelumnya.

Eka Kurniawan memang patut diacungi jempol ketika memilih tema cerita yang absurd. Absurditas itu, justru hal memberi pengalaman unik, liarnya imajinasi Eka yang tak punya batasan: sampai-sampai tokohnya pun mengobrol dengan kelaminnya sendiri. Akhir cerita pun muncul secara tiba-tiba, perjalanan spiritual sang burung diakhiri dengan pengalaman Ajo Kawir yang aneh, di sana terselip makna yang mengajak kita bermain dulu dengan fantasi dan gelapnya novel ini sampai akhirnya memberi konklusi.

Satu lagi, jika Cantik itu Luka terus menerus membawa kita dalam kepenasaran lewat penyusunan paragraf fragmentatifnya (alur yang tidak teratur seperti puzzle), novel ini memberikan memberi ritme yang cepat sehingga dapat lebih dimengerti tetapi tidak meninggalkan sensasi thrilling-nya. Bagi pembaca yang tahan dengan adegan sadis dan kata-kata “yang menyimpang dari moral kebanyakan” apalagi ditambah unsur jenaka dan action, novel ini dapat sangat menghibur. Setidaknya dengan membaca novel ini, dahaga akan karya sastra yang apik dapat terbayar tuntas.[]

 

Comments

comments