Victim Blaming, Logika Keadilan yang Salah

1,217

Oleh: Reza A. Pratama

“Pegawai BNN Cantik Tewas Dibunuh, Tak Tahan Hidup Susah?” Barangkali headline macam itu yang akhir-akhir ini membuat saya ngeri dengan dunia kejurnalistikan Indonesia. Kalimat yang acap kali digunakan untuk menjaring klik akan tetapi merusak logika berpikir masyarakat. Penulisan macam ini dapat dikategorikan clickbait generik yang menjadi lumrah dan bagaikan rumus yang dihafal para jurnalis. Maka tak usah kaget menemukan padanan kalimat serupa dalam ratusan judul berita kriminal.

Jika dipreteli satu persatu maka padanan kalimat pertama sebenarnya mengandung makna yang informatif dan tidak perlu diambil pusing. Pernyataan: pegawai BNN cantik, sudah dapat menjadi penjaring ampuh bagi para pembaca yang penasaran dengan seluk beluk peristiwa ataupun yang sekadar tertarik kata “cantik” dengan sedikit harapan bahwa penulis menyisipkan foto si cantik tersebut. Lantas dimana ngerinya?

Ya. Bagian kalimat kedua ini yang membuat saya muak dengan pemberitaan kriminal di Indonesia. Kentaranya tendensi justifikasi terhadap tindakan kriminal dan para pelaku kejahatan. Nampaknya pembaca berita sudah tak lagi terpuaskan dengan hanya disuguhkan penuturan kejadian perkara. Kini kebanyakan pembaca ingin bermain peran sebagai detektif yang menelusuri seluk beluk korban dan pelaku. Bagaimanakah psikologi pelaku? Siapa yang pertama salah? Apa firasat ibu mertua ketika menantunya dibunuh? (yang ini seringkali berlebih-lebihan dan asal comot, mana ada detektif tanya-tanya tentang firasat)

Pada akhirnya jurnalis pun meladeni dengan senang hati para detektif amatir itu. Ya memang tidak seperti detektif yang sering kita lihat di film Hollywood yang dapat bergumul dalam pikirannya dan menimbang-nimbang banyak probabilitas dalam suatu kasus, para pembaca berita kriminal ini justru menafsirkan keutuhan cerita dengan spekulasi murahan. “Wah ya pasti ini gara-gara ceweknya sudah gelap mata, gimana nggak kalap tuh suaminya” ataupun ada yang berkesimpulan “Ngapain mempertahanin istri durhaka, emang wajar sih kalau suaminya sampai seperti itu” (Biasanya saya sedikit berimajinasi bahwa para komentator ini adalah kucing di depan komputer yang berlagak singa di dunia maya).

Adapun komentar-komentar itulah yang disebut “victim blaming” kebiasaan menyalahkan korban suatu kasus untuk menjustifikasi tindakan pelaku yang dinilai wajar. Praktek tersebut kini ramai ditemui pada tulisan-tulisan dengan judul seperti di atas yang menggiring komentar dengan narasi memprovokasi.

Berita dikonstruksi sedemikian rupa sehingga memojokan korban sebagai pihak yang menjadi pemantik kejadian. Dalam kasus di atas misalnya, pegawai BNN cantik diposisikan sebagai parasit yang merongrong harta pelaku dan seringkali memperlakukan pelaku dengan kasar. Pelaku diposisikan sebagai orang yang teraniaya, bahkan pembenaran pelaku dipertegas dengan pernyataan orangtua pelaku yang mengaku anaknya sempat berobat ke psikiater untuk meredakan depresinya. Depresi itu pula lah yang dijadikan alibi pembunuhan. Anehnya alibi itu didukung banyak orang. Lalu apa bedanya dengan menyalahkan para wanita berpakaian minim yang seolah-olah menyerahkan dirinya untuk diperkosa.

Memang terdapat pola yang sama dalam kasus tersebut “di sana ada asap maka ada api”. Akan tetapi saya masih bingung dengan penghakiman macam ini. Apa jadinya jika kasus serupa terjadi di belahan bumi lain, apakah akhir cerita akan sama: ketika istri durhaka harus tewas ditikam. Jika seperti itu maka tidak salah bagi pemerintah untuk melegalisasikan eksekusi di tempat para perempuan durhaka.

Kesalahan berpikir ini justru secara tidak langsung dilatih terus menerus oleh media. Husnudzon sekaligus suudzon saya, media tidak bermaksud mempropagandakan legalisasi pembunuhan perempuan durhaka. Mereka hanya ingin berlomba-lomba menjaring klik terbanyak ataupun pembaca terbanyak. Penggunaan kalimat “Tak Tahan Hidup Susah?” sudah cukup menggambarkan maksudnya. Diksi itu diambil supaya kontradiktif dengan norma masyarakat yang akan sedikit menggelitik pembaca. Akan tetapi fatal yang terjadi, tujuan menjaring klik itu meleset menjadi ajang bombardir cercaan bagi sang korban.

Dilansir The New York Times dalam artikel Who Blames the Victim? yang ditulis Laura Niemi dan Liane Young, kecenderungan victim blaming disebabkan oleh pengertian moral yang dimiliki seseorang. Penelitian yang telah diterbitkan dalam The Personality and Social Psychology Bulletin menjelaskan bahwa ketika seseorang lebih menghargai kesetiaan dan kepatuhan dibandingkan nilai-nilai seperti kasih sayang dan keadilan, maka besar kemungkinannya orang itu akan menyaalahkan korban.

Masih dari sumber yang sama, para psikolog menemukan bahwa ketika menyangkut moralitas, dua sisi itu dapat dibagi menjadi: Pertama, orang-orang yang menjunjung tinggi kasih sayang dan menentang perlakuan tidak adil mereka mempraktekan “individualizing values” sementara itu ada juga “binding values” yang mendorong kepentingan kelompok tertentu cenderung memposisikan kesetiaan dan kepatuhan di poin pertama. Maka wajar saja ada sebagian orang yang menganggap bahwa untuk melakukan suatu yang benar terkadang harus memakan korban.

Biasanya orang dengan “binding values” ini dijuluki sebagai pihak konservatif yang melihat sejauh mana “terkontaminasinnya” korban bukan melihat sejauh mana korban tersakiti. Hal ini sering kita lihat bagaimana masyarakat menuding korban-korban pelecehan seksual lah yang bersalah dikarenakan sering memamerkan aurat yang akhirnya mencelakakan mereka. Gagasan seperti ini seolah-olah mengabaikan pelaku sebagai manusia yang berakal sehat yang seharusnya memiliki pertimbangan sehat juga. Padahal pelaku bukanlah hewan yang digerakan insting lalu mereka tidak kuasa menentang naluri tersebut. Kecuali memang akal sehatnya sudah rusak.

Telisik saya lebih jauh terhadap kasus yang menimpa pegawai BNN cantik ataupun para korban pelecehan seksual itu tak lebih dari peran wanita yang masih dianggap lemah di Indonesia. “Binding values” terhadap kelompok laki-laki menjadikan pembaca merasakan simpati berlebih terhadap pelaku. Patriarki, begitu sebutannya mungkin. Keadaan istri durhaka kepada suaminya adalah sebuah anomali yang tidak dapat diterima oleh sistem yang menghakikatkan laki-laki sebagai pemimpin. Maka ganjarannya adalah pelenyapan anomali tersebut.

Mengerikan ketika keadilan seperti itu yang dipraktekan oleh media. Padahal keutuhan berita tidak dapat dipahami sekali baca. Kalau novel pun ada kajiannya, mengapa kasus sensitif dihadapi dengan sebelah mata. Masyarakat harusnya tahu, untuk melihat keadilan yang setara diperlukan perspektif yang beragam, dari pelaku maupun korban. Masyarakat terkadang latah menghakimi tanpa memahami. Padahal kita tidak tahu seberapa besar beban mental atas kesalahan yang telah kita limpahkan pada korban dan keluarganya. Sekali-kali lah kita berpikir layaknya detektif di box office Hollywood, penuh pertimbangan dan tak asal spekulasi. Atau mudahnya, sekali-kalilah menjadi konsumen media yang cerdas menggunakan logika berpikir yang bijaksana.

 

Comments

comments