Penurunan Status Cagar Alam Tingkatkan Kerusakan Lingkungan
Oleh: Muhamad Abdul Azis
Bumi Siliwangi. Isolapos.com— Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Himpunan Mahasiswa Geografi dan Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Geografi Jantera menyelenggarakan kegiatan diskusi tentang penurunan status Cagar Alam (CA) Kamojang dan Papandayan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Kamis (7/3/2019) di Taman Barety Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Kegiatan diskusi ini membahas permasalahan penurunan status cagar alam Kamojang dan Papandayan dengan menghadirkan aktivis gerakan Aliansi Cagar Alam Jawa Barat. Berbagai kalangan baik mahasiswa umum maupun mahasiswa pecinta alam pun terlihat menghadiri diskusi tersebut.
Diketahui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan surat keputusan dengan nomor SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA2/1/2018 tentang penurunan status kawasan Cagar Alam (CA) menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Sedangkan luasan kawasan CA yang diturunkan statusnya yaitu CA Kamojang seluas 2.391 hektare dan CA Papandayan seluas 1.991 hektare.
“Isu ini masih jarang diketahui oleh publik khususnya mahasiswa UPI, maka dari itu kami selenggarakan kegiatan diskusi ini,” tutur Ika Kartikasari anggota Jantera.
Bagus, salah seorang aktivis gerakan Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, menyatakan, tahapan penyadaran atas kepedulian terhadap kerusakan lingkungan harus dimulai dengan memahami makna kata lestari, konservasi dan alam. “Menurut kamus besar bahasa Indonesia arti kata lestari itu tetap seperti keadaan semula atau bertahan, itulah semangat kita,” tuturnya.
Kemudian Kidung Saujana yang juga aktivis gerakan Aliansi Cagar Alam Jawa Barat memaparkan mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Dirinya menjelaskan mengenai fungsi pokok kawasan suaka alam sebagai kawasan konservasi dan perlindungan sistem penyangga kehidupan. “Cagar alam menurut UU tersebut merupakan status tertinggi dari kawasan suaka alam,” tegas Kidung.
Ia menyesalkan penurunan status kawasan CA menjadi TWA karena dinilai banyak kejanggalan dalam keputusan tersebut. Salah satu kejanggalan SK ini adalah tidak ada publikasi yang dilakukan oleh KLHK karena SK tersebut telah terbit pada 8 Januari 2018. “Ini jelas pelanggaran UU tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kalau teman-teman mencari SK ini di website KLHK tidak akan menemukan.” Kata Kidung
Kidung juga menjelaskan jika kawasan tersebut diturunkan menjadi TWA akan memudahkan pemodal yang akan mengeksploitasi sumber daya alam seperti pengembang pariwisata dan panas bumi (geothermal). Serta ditakutkan akan berdampak pada lingkungan di wilayah Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. “Penurunan itu akan mengundang bencana seperti banjir bandang dan tanah longsor yang sekarang ini sering terjadi,” ungkap Kidung.
Selain mengancam kehidupan manusia penurunan status ini berdampak pada keanekeragaman hayati baik tanaman maupun hewan di kawasan tersebut. “Pada CA Kamojang tim riset kami menemukan jejak macan kumbang yang sangat langka dan dilindungi,” terangnya.
Lalu Bagus menambahkan, terdapat 3 penyebab utama kerusakan alam yaitu korporasi, rekreasi dan ekonomi kecil. Dirinya menghimbau pendaki gunung untuk memahami etika lingkungan dan sadar kawasan. “Sejak adanya film 5 cm tren naik gunung semakin tinggi. Itu membuat kerusakan alam semakin kritis,” jelas Bagus.
Ditambah dengan minimnya sosialisasi mengenai kawasan suaka alam oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat dan pengetahuan yang minim tentang kawasan oleh penegak hukum makin memperparah kerusakan lingkungan. “Tidak pernah ada kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh BBKSDA, malah kalau dilihat di media sosialnya hanya memposting kawasan Taman Nasional ataupun Taman Wisata Alam saja,” keluhnya.
Dalam upaya memperbaiki kerusakan lingkungan Kidung menyarankan untuk perlu meningkatkan kesadaran akan fungsi suatu kawasan dan pemahaman terhadap budaya atau kearifan lokal yang diwarisi oleh nenek moyang. “Pada masyarakat adat dikenal konsep hutan larangan atau hutan titipan, bahkan cerita mitologis hewan aul sebetulnya itu upaya nenek moyang kita untuk menjaga kelestarian kawasan yang menjadi penyangga kehidupan.” ujarnya
Kidung berharap jika KLHK segera mencabut SK tersebut serta mengajak seluruh peserta yang hadir untuk mengawal kebijakan yang mengancam kelestarian lingkungan. “Lebih baik mempertahankan, kalau bisa mempertahankan kita usulkan tempat-tempat lain menjadi kawasan CA,” imbuhnya.
Pada tanggal 3-6 Maret 2019 Aliansi Cagar Alam Jawa Barat mendatangi kantor KLHK untuk menolak SK tersebut dengan melakukan long march dari Kota Bandung menuju Kota Jakarta. Namun seperti dilansir dari pikiran-rakyat.com usaha penolakan tersebut masih belum membuahkan hasil, bahkan KLHK tidak akan mencabut SK penurunan kawasan tersebut.[]
Redaktur: Muhammad Zaki Annasyath