Autobiography: Diam yang Berulang

124

Oleh: Harven Kawatu*

*Penulis adalah reporter magang isolapos.com

Judul film                : Autobiography

Tahun produksi       : 2022

Sutradara                 : Makbul Mubarak

Pemeran                  : Kevin Ardilova, Arswendy Bening Swara, Yusuf Mahardika, Lukman Sardi, Yudi Ahmad Tajudin, Rukman Rosadi, Haru Sandra, Gunawan Maryanto.

Durasi                      : 115 Menit

Kengerian seorang jenderal sebagai seorang pemimpin tentu akan selalu membekas pada mereka yang hidup dan besar di era Orde Baru. Lantas bagaimana dengan kita yang tidak hidup di era tersebut maupun merasakannya langsung?. Maka film ini merupakan jawaban yang tepat untuk memberikan gambaran bahwa seseorang yang mempunyai power begitu kuat mampu mempengaruhi keadaan sekitarnya.

Autobioghrapy merupakan debut fitur panjang Makbul Mubarak di layar lebar. Karya fiksi yang membawa premis penyalahgunaan kekuasaan ini memiliki plot yang sederhana. Penonton akan mulai merasakan nuansa mencekam ketika Rakib (Kevin Ardilova) menyuguhkan kopi kepada sang majikan Purna (Arswendy Bening Swara) yang baru saja pulang, yang ia dapat hanyalah sikap dingin seorang jenderal serta kalimat “Siapa bilang saya minum kopi?”.

Purna adalah seorang purnawirawan yang memutuskan untuk menghabiskan masa pensiun dengan kembali ke kampung halaman dan mencalonkan diri sebagai bupati di sana. Di rumahnya, ia dibantu oleh Rakib, anak muda yang merupakan keturunan ketiga keluarga yang bekerja di rumah Purna. Ayahnya yang telah lama dipenjara serta kakaknya yang mengadu nasib di negeri tetangga, membuat Rakib harus bekerja sendiri membantu, mengurus, dan mencarikan apa saja yang dibutuhkan sang jenderal. 

Awalnya tugas Rakib hanya memasak atau mengantar Purna ketika ia ingin berpergian. Namun, seiring waktu Rakib juga dipercaya untuk turut serta dalam kegiatan kampanye Purna. Sehingga, Rakib yang awalnya hanya seorang pembantu biasa naik pangkat menjadi ajudan seorang pejabat.

Dalam kampanyenya, Purna berpidato dan mengangkat isu sulitnya daya listrik desa sehingga berjanji akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Alternatif (PLTA) dengan catatan, warga desa yang lahannya terletak di kawasan pembangunan harus menekan kontrak dengan pihak perusahaan pembangun. Warga yang menonton hanya bisa menyetujui ide tersebut karena ketika ada yang meminta untuk tidak digusur – layaknya politikus lainnya – Purna takkan serius, ngeles bahkan tidak mengindahkan. Di antara bangku penonton, ada Rakib yang terus termenung melihat pidato Purna. Tak banyak hal yang bisa ia lakukan. Kehadiran sang jenderal begitu mempengaruhi dirinya, pun warga desa. Seakan ketakutan atas kekuasaan yang kejam telah merasuki setiap penjuru rumah di desa.

Seiring berjalannya waktu, Purna mulai memperlakukan Rakib seperti anaknya sendiri. Mulai dari memberi baju hingga mengajarkan bagaimana menembak menggunakan senapan angin. Rakib bingung bagaimana dirinya harus melihat Purna, apakah sebagai majikan, jenderal, ayah, atau sosok yang bahkan lebih mengerikan. Rakib merasakan semua itu. Di dalam rumah dimana lorong menjadi penghubung antara kamarnya dengan kamar sang jenderal. Purna adalah satu-satunya yang bisa Rakib ajak bicara disana. Satu-satunya yang bisa ia jadikan role model di masa transisi menuju kedewasaan. Kepercayaan Purna terhadap Rakib pun perlahan menyebabkan Rakib merasakan apa yang dirasakan sang jenderal. Berpergian menggunakan seragam, bernada tegas, bertingkah arogan, dan bahkan teman temannya pun memanggilnya sersan. Sayangnya aksi Rakib tak bertahan lama. Ketika ia dihadapkan dengan sosok Purna yang sesungguhnya, Rakib kembali dilema memutuskan siapakah yang harus ia percaya.

Film berdurasi dua jam ini, tak banyak menampilkan pemeran maupun dialog panjang. Purna dan Rakib adalah fokus utama dari film ini. Hubungan keduanya dibangun secara bertahap, yang awalnya sebatas pembantu yang melayani sang majikan, menjadi seorang ayah yang mencoba mewariskan ideologinya kepada sang anak. Swara selaku pemeran Purna, berhasil memainkan peran yang jarang bertindak kasar atau sering berteriak untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. Bisa dibilang Swara hadir dalam figur ayah yang peduli pada Rakib maupun warga desa. Meskipun begitu aura teror dari seorang diktator tetap hadir sehingga perkataannya yang terasa datar seperti sebuah perintah yang harus segera dilaksanakan dan berakibat fatal apabila tidak. Sementara, Rakib yang diperankan oleh Kevin, digambarkan sebagai pemuda lugu dan tak banyak mengeluarkan pendapat. Seolah semua itu tertahan akibat pergelutan yang terjadi dalam benak Rakib dan Kevin sangat ahli dalam hal ini.

Akan banyak shot close-up dimana Rakib tidak berbicara satu katapun, namun penonton bisa merasakan ketegangan, ketakutan atau bahkan kekaguman Rakib akan sosok Purna. Bukan tanpa alasan, rasa campur aduk tersebut muncul akibat manipulasi emosi yang dilakukan Purna terhadap Rakib. Ada saat ketika Rakib dipuji, ada pula momen ketika Rakib dimarahi, bahkan ada saat dimana Purna membela Rakib dan menyuruhnya untuk meminta maaf di waktu yang sama.

Apabila menghubungkan perpolitikan dengan film ini maka tak akan habis pembahasan. Makbul tak segan segan menampilkan banyak metafora tentang kejamnya dunia politik sepanjang film. Desa Karangsari yang mayoritas penduduknya merupakan kalangan menengah ke bawah dipilih menjadi latar untuk menunjukkan bahwa wilayah kecil seperti pedesaan pun tetap merasakan bagaimana kuatnya pengaruh seorang pejabat. Bahkan di dalam Rumah Purna, yang dimana hanya ada Rakib dan dirinya, terdapat banyak kiasan tentang bagaimana otoriternya seorang penguasa.

Ketika Rakib sedang mandi, Purna pernah memaksa untuk masuk lalu memandikan ajudannya itu. Rakib hanya bisa diam sembari merasakan dinginnya air dan tangan sang jenderal yang terus mengusap punggungnya. Dalam adegan ini, penonton dapat merasakan kengerian akan pengaruh penguasa apabila telah menyentuh raga atau ruang privasi seseorang.

Autobiography tidak hanya menampilkan kekejaman rezim politik Indonesia di era 90an yang selalu bernada kekerasan, tetapi film ini juga sukses menceritakan bagaimana konflik antar generasi terjadi. Disaat generasi tua berusaha meneruskan pemahaman mereka, generasi muda menganggap tak semua “pemberian” tersebut harus dilestarikan. 

Purna melihat Rakib sebagai cerminan dirinya ketika muda. Lugu, lembut dan polos sebelum akhirnya menjadi sosok yang keras ketika terjun ke dunia politik. Hal ini menyiratkan apakah nantinya Rakib yang polos akan menjadi seorang Purna, sosok yang otoriter dan menyalahgunakan kekuasaan. Seakan memperlihatkan siklus yang tak akan pernah putus. Kata “Autobiography” memberikan makna bahwa film ini berkisah tentang kehidupan dua tokoh yang berbeda jauh namun saling berhubungan dan akan terus ada bahkan terus berulang. 

Redaktur: Nabil Haqqillah

Comments

comments