Oleh: Mursyid S.
Dalam sepekan ini, setidaknya ada dua kali saya mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala atas kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus UPI tercinta. Pertama, terhadap mahalnya biaya pendidikan bagi mahasiswa baru prodi kedokteran jalur seleksi mandiri yang mencapai 203 juta. Lalu yang kedua, terhadap perubahan desain jas almamater UPI.
Anehnya kritik pada kebijakan yang pertama tidak begitu terdengar resonansinya, bahkan cenderung anyep. Sejumlah komentar di media sosial pun cenderung bernada permisif dan seolah menormalisasikan mahalnya biaya kuliah prodi kedokteran. Maklum “fakultas kedokteran” di kampus mana pun pasti mahal katanya. Padahal sikap pemakluman atas mahalnya biaya pendidikan tinggi fakultas kedokteran, bisa jadi celah dan peluang untuk langkah awal atas naiknya biaya pendidikan di prodi-prodi lainnya.
Berbanding jauh terbalik, protes, kritik, dan bahkan olok-olok pada kebijakan perubahan desain jas almamater begitu masif terdengar. Argumen yang dilontarkan mulai dari aspek historis sampai pada pandangan subjektif semata atas ketidaksukaan warna dan desainnya. Padahal setelah membaca penjelasan dari pihak kampus, ternyata dalam sejarah perubahan jas almamater UPI pernah menggunakan warna merah dan warna lainnya seperti putih, biru tua, dan abu.
Namun bagi saya bukan itu akar persoalannya. Tidak dilibatkannya mahasiswa dalam proses perumusan kebijakan kampus yang harus dilawan! Seperti halnya dalam kebijakan perubahan desain jas almamater yang tidak mendengar atau melakukan survei dahulu terhadap keinginan mahasiswa. Padahal mahasiswalah yang ke depan akan memakai jas almamater tersebut. Mahasiswa seolah hanya ditempatkan sebagai objek kebijakan kampus.
Problematika
Persoalan inilah yang mendorong saya untuk membaca ulang posisi mahasiswa dalam statuta UPI. Simpulan yang saya dapatkan, lemah! Ya, kedudukan mahasiswa dalam Statuta UPI sangat lemah baik secara kelembagaan maupun jaminan hak-hak mahasiswa.
Pertama, terkait kedudukan mahasiswa dalam Statuta UPI yang tidak sepenuhnya dijadikan sebagai subjek utama dalam penyelenggaraan kehidupan kampus, khususnya dalam aspek kebijakan. Mahasiswa lebih banyak ditempatkan sebagai objek yang menjalankan kebijakan-kebijakan atau program-program kampus. Padahal mahasiswa juga memiliki hak untuk menjadi subjek utama dalam setiap perumusan kebijakan kampus. Artinya, mahasiswa perlu dilibatkan gagasan dan pemikirannya guna merumuskan kebijakan kampus, terutama terkait pemenuhan hak-hak mahasiswa.
Kondisi ini digambarkan dengan tidak dimasukkannya unsur mahasiswa ke dalam keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA). Padahal dari 21 PTN BH yang ada saat ini, 18 di antaranya UI, ITB, UGM, Unpad, IPB, Undip, ITS, Unhas, UNS, Unand, UB, UM, UNP, UNY, Unnes, Unesa, USK, dan UT, mengatur unsur mahasiawa dalam keanggotaan MWA.
Hanya 3 PTN BH saja yakni UPI, Unair, dan USU yang tidak mengatur unsur mahasiswa dalam struktur keanggotaan MWA.
Kedudukan mahasiswa dalam keanggotaan MWA memiliki urgensi guna memperjuangkan hak-hak mahasiswa dalam perumusan kebijakan. Hal ini mengingat dalam Pasal 19 Ayat (1) huruf a Statuta UPI menyebutkan bahwa salah satu tugas MWA menetapkan kebijakan umum UPI. Termasuk di dalamnya mengenai kebijakan pemenuhan hak-hak mahasiswa.
Tugas dan wewenang MWA yang strategis ini tentu dapat mendorong gerakan mahasiswa dalam menunut hak-haknya, bukan hanya dalam demonstrasi jalanan tetapi juga melalui meja perundingan.
Di sisi lain, mahasiswa sendiri harus melakukan otokritik kepada dirinya. Kondisi kehidupan mahasiswa yang seringkali terpecah belah, penuh konflik kepentingan, bahkan pimpinan tertinggi mahasiswa di BEM REMA pun belum mampu merepresentasikan seluruh kepentingan mahasiswa. Tentu ini seringkali dijadikan alasan oleh pimpinan kampus untuk tidak memasukkan unsur mahasiswa ke dalam MWA.
Saya sendiri menyarankan jika nantinya mahasiswa masuk MWA, yang mewakilinya harus diseleksi melalui mekanisme yang demokratis. Bukan langsung ex-officio Presiden BEM REMA yang menjadi anggota MWA.
Kedua, persoalan Statuta UPI yang belum mengatur jaminan pemenuhan hak-hak mahasiswa secara utuh dan komprehensif. Jika dilihat secara menyeluruh, Statuta UPI lebih banyak mengatur kedudukan, kewenangan, dan fungsi organ-organ UPI. Statuta UPI cenderung elitis, birokratis, dan teknokratis.
Dalam Statuta UPI tidak mengatur atau mengadopsi secara utuh dan komprehensif pasal-pasal terkait pemenuhan hak-hak mahasiswa yang ada di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Sebagai contoh ialah Pasal 76 UU Dikti berikut ini:
“Pasal 76 UU Dikti
Ayat (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.
Ayat (2) Pemenuhan hak Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. Beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi;
b. Bantuan atau membebaskan biaya Pendidikan; dan/atau
c. Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.
Ayat (3) Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.”
Sedangkan dalam Statuta UPI hanya diatur sebagai berikut:
“Pasal 46 Statuta UPI
Ayat (1) Mahasiswa UPI merupakan peserta didik yang terdaftar secara sah dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan UPI.
Ayat (2) Mahasiswa UPI yang merupakan warga negara lain harus memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan.
Ayat (3) Setiap Mahasiswa ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi Mahasiswa yang ditetapkan lain oleh UPI.
Ayat (4) Setiap Mahasiswa wajib mematuhi semua ketentuan dan peraturan yang berlaku di UPI.
Penjelasan Pasal 46 Ayat (3) Statuta UPI bahwa Yang dimaksud dengan “Mahasiswa yang ditetapkan lain” adalah Mahasiswa yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan memperoleh beasiswa, bantuan, atau mendapat pembebasan biaya pendidikan.
”Pengaturan terkait pemenuhan hak-hak mahasiswa dalam Statuta UPI masih sangatlah sempit, parsial, dan tidak utuh mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada di UU Dikti. Oleh karenanya, ketidakutuhan ini dapat menghambat penyelesaian studi mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi.
Solusi
Tentu harus ada alternatif dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Mahasiswa yang lebih revolusioner mungkin akan berpandangan untuk mencabut status UPI sebagai PTN BH. Hal ini dikarekankan status inilah yang menimbulkan bibit-bibit komersialisasi pendidikan, sehingga membuat biaya pendidikan semakin mahal dan sulit dijangkau. Akan tetapi, untuk mencabut status UPI PTN BH ini tidaklah mudah. Dikarenakan UPI merupakan PTN BH yang statusnya langsung dijamin oleh UU Dikti, bukan hanya oleh Peraturan Pemerintah tentang Statuta UPI.
Perlu dipahami ada dua jenis model status PTN BH yakni pertama, terdapat PTN BH yang statusnya merupakan mandat dari Ketentuan Peralihan Pasal 97 huruf c UU Dikti yang menetapkan eks-PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) menjadi PTN BH. Kemudian peraturan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. UPI termasuk salah satu eks-PT BHMN yang kemudian ditetapkan oleh Pasal 97 huruf c UU Dikti menjadi PTN BH yang pengaturannya lebih lanjut diatur dalam PP Statuta UPI.
Kedua, terdapat PTN BH yang statusnya langsung ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah.
Oleh karenanya, jika ingin mencabut status UPI sebagai PTN BH, tidak cukup mencabut Peraturan Pemerintahnya saja. Melainkan harus melalui proses legislasi di DPR untuk mencabut Ketentuan Peralihan Pasal 97 huruf c UU Dikti.
Untuk itu, yang lebih mungkin mudah dilakukan oleh mahasiswa ialah mengusulkan revisi Statuta UPI untuk mengatur kedudukan mahasiswa di struktur MWA dan mengatur secara komprehensif jaminan pemenuhan hak-hak mahasiswa.
Best practice yang dapat dicontoh bisa dilihat dalam Statuta Unpad dalam Penjelasan Pasal 13 Ayat (2) secara tegas menyebut bahwa Unpad menjamin tidak ada Mahasiswa yang putus studi karena alasan kesulitan keuangan. Beranikah UPI mengatur hal tersebut dalam Statutanya?
Selain itu, sebagai terobosan regulasi, saya sendiri mengusulkan adanya sebuah pasal mandatory spending yang mengatur bahwa 10 atau 15 persen, bahkan 20 persen sebagaimana konstitusi, dari Anggaran UPI dan fakultas (RKAT) dialokasikan khusus untuk kegiatan kemahasiswaan UPI. Pasalnya selama ini dari data yang saya dapat berdasarkan laporan keuangan salah satu fakultas, mahasiswa baru menikmati kurang lebih 5 persennya saja. Padahal sebagian besar pendapatan UPI diperoleh dari biaya pendidikan yang ditarik dari mahasiswa. Lihat saja laporan keuangan UPI setiap tahunnya.
Tentu berbagai hal di atas harus juga diiringi oleh political will dan konsistensi kebijakan dari para pimpinan kampus. Hal ini dikarenakan seringkali persoalannya bukan hanya perihal pengaturan semata. Menempatkan kedudukan mahasiswa dalam MWA dan mengadopsi pasal-pasal UU Dikti tentang pemenuhan hak mahasiswa dalam Statuta UPI, tidak bisa berjalan secara optimal jika tanpa konsistensi dan keberpihakan perguruan tinggi terhadap pemenuhan hak-hak mahasiswa.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Angkatan 2014 FPIPS UPI