Oleh: Rahmah Azzahra*
Pusat kampus penyandang kata Pendidikan itu berada di Bandung. Total fakultas di dalamnya ada 9, tetapi bertambah lagi menjadi 10 selagi saya menjadi salah satu mahasiswa di sana. Selain itu, kampus cabang atau yang biasa orang UPI sebut dengan kampus daerah (kamda), tersebar di 5 lokasi lain, yaitu Cibiru, Sumedang, Purwakarta, Tasikmalaya, dan Serang. Ada juga perluasan satu lokasi lainnya yang sampai sekarang masih dalam tahap perencanaan, yakni di kota Subang.
Pada tahun 2022, saya resmi menjadi mahasiswa baru setelah mengikuti rangkaian Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (MOKAKU). Namun, sedari awal saya tidak memiliki kartu pengenal resmi yang bisa ditunjukkan kepada orang lain secara fisik. Ternyata, angkatan 22 menjadi tahun pertama yang tidak diberi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Kami hanya memiliki bentuk soft file atau e-KTM yang bisa diakses melalui student.upi.edu. Tidak ada pernyataan resmi dari pihak kampus terkait hal ini. Saya dan teman-teman juga kerennya tidak pernah mengeluh. Kami semua menerimanya begitu saja, padahal kakak tingkat di kampus memiliki KTM fisik yang memudahkan mereka dalam memvalidasi diri. Saya sendiri pernah diragukan kemahasiswaannya ketika disuruh membuktikan identitas diri. Maklum, e-KTM tersebut hanya memuat lambang kampus, nama, NIM, jurusan, fakultas, serta barcode. Tidak ada sama sekali foto muka yang terpampang. Tidak adanya KTM fisik ini menjadi perubahan pertama UPI yang saya rasakan.
Berperan sebagai mahasiswa baru selama setahun, pada UAS semester 2, saya diperlihatkan perubahan lainnya di kampus ini. UPI secara tiba-tiba meresmikan Fakultas Kedokteran (FK) dengan menggunakan gedung lama Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) pada tanggal 5 Mei 2023. Keren sekali. Akhirnya, UPI bisa menyusul kampus lain yang telah lebih dulu memiliki FK. Rencana pembukaan FK ini juga bukan sebuah ide yang timbul sehari dua hari. Melansir dari isolapos.com, rencana ini ternyata sudah berjalan selama 12 tahun lamanya. Biaya masuknya juga fantastis, seketika melejit menjadi jurusan termahal di seantero UPI. Calon mahasiswa harus membayar Rp203.000.000 untuk menjajaki kursi di FK.
Pertanyaan lanjutan kemudian datang, memangnya fasilitas yang akan diberikan sebagai Prodi baru setimpal dengan biaya yang dikeluarkan? Dengan cukup bermodalkan gedung lama 3 lantai tanpa ada tambahan lahan lain, saya rasa masih cukup jauh untuk dapat dikatakan sepadan. Toh, mahasiswa jurusan lain saja engap-engapan memakai fasilitas kampus yang telah ada. Contohnya saja Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS). Selagi FK diresmikan, FPIPS hanya memiliki satu gedung dengan 11 Program Studi di dalamnya, salah satunya adalah jurusan PPKn yang saya ambil. Terhitung selama tahun pertama saya berkuliah, gedung FPIPS terasa sangat sesak sampai tidak sepenuhnya dapat menampung jadwal 18 sks saya sehingga memaksa adanya perebutan kelas dengan prodi lain ataupun opsi yang mengharuskan kelas secara online. Itu adalah salah satu contoh kecil kurangnya fasilitas yang diberikan kampus. Sayang, bukannya memperbaiki fasilitas untuk kesejahteraan mahasiswa, kok malah ambis sekali untuk terus membuka prodi baru, sih?
Ketika bulan Juni tiba, ada lagi hal yang tiba-tiba berubah. Kali ini datang dari Toga UPI. Bukan kaget karena berubah ya, tapi karena opsi desain yang sebelumnya dipilih para mahasiswa berbeda dari apa yang menjadi hasilnya. Apabila dulu mahasiswa diberi 2 opsi desain, maka toga ‘ular’ yang debut digunakan oleh wisudawan gelombang 2 ini adalah perpaduan kedua desainnya. Hal ini direspons beragam oleh para mahasiswa, ada yang senang, ada juga yang kecewa. Sampai-sampai, ketua tim desainnya saja kecewa kok oleh hasil tersebut. Beliau menyebut bahwa seharusnya bagian topinya kaku tidak terbuka. Lucu sekali. Saking lucunya, saya dan semua orang yang saya kenal setidaknya bersama menertawai sebentar bentuk toga terbaru. Toga ini juga yang menjadi awal dari viralnya perubahan kampus UPI di media sosial.
Beranjak ke liburan semester genap, pada Agustus 2023 seluruh mahasiswa tetap diberikan kejutan tambahan dari pihak kampus. Tiba-tiba, warna jas almamater UPI juga ikut berubah. Dari semula yang berwarna biru telor asin atau abu paralon, kini berganti menjadi merah maroon. Hal yang paling memuakkan dari kabar ini adalah seluruh prosesnya yang mendadak. Tidak ada sama sekali sosialisasi terlebih dahulu terkait perubahan warnanya, tidak ada uji coba yang diperlihatkan, tidak ada opsi pemilihan desain seperti toga sebelumnya. Benar-benar tidak ada. Mahasiswa hanya menerima hasil merah maroon tersebut berdasarkan surat Majelis Wali Amanat (MWA) No. B-235/UN40.MWA/PI.00.01/2023 yang menyebutkan bahwa MWA setuju atas perubahan ini. Tidak lama kemudian keputusan ini disahkan melalui Peraturan Rektor Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Jas Almamater Mahasiswa UPI. Putusan ini bersifat final dan seluruh mahasiswa angkatan 2023 akan menjadi pemakai pertamanya. Hal itulah yang kemudian membuat banyak mahasiswa lama tidak terima begitu saja sehingga sempat muncul gerakan berupa instagram stories bertuliskan #saveabu serta suatu aksi tolak jas almamater baru selepas hari terakhir MOKAKU 2023 selesai. Oh, jangan lupakan bagaimana telatnya pendistribusian jas almamater maroon ini yang baru bisa dilaksanakan pada semester genap 2024. Oops.
Menjalani tahun kedua sekarang, kejutan dari UPI memang tidak pernah ada habisnya. Per bulan Maret 2024, UPI kembali meresmikan kembali prodi baru, yakni Ilmu Hukum. Prodi ini nantinya akan bersatu di FPIPS. Duh, bayangkan saja akan sesesak apa fakultas dengan 12 prodi itu. Saya tidak akan berkomentar banyak mengenai pembukaan prodi baru. Karena kembali lagi, hal ini akan seterusnya dikaitkan oleh keserakahan kampus dengan ambisi besarnya, padahal permasalahan pemenuhan hak fasilitas masih banyak gagal untuk diberikan.
Terakhir, mari kita kembali pada hal yang sangat mendasar dan erat kaitannya dengan mahasiswa, tidak lain dan tidak bukan, yakni persoalan UKT. Berstatus PTN-BH, UPI tentu saja tidak luput dari perubahan kenaikan UKT seperti kampus lainnya pada ajaran 2024/2025, yang sebentar lagi akan datang. Perubahan kali ini didasarkan oleh Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di lingkungan Kemendikbudristek. UPI yang awalnya hanya memiliki 8 golongan UKT, kini bertambah menjadi 11 golongan. Sebagai perbandingan, ketika 2022/2023, UKT tertinggi prodi saya berada pada angka Rp5.650.000, tetapi sekarang naik menjadi Rp7.684.000. Itu berarti terdapat selisih Rp2.034.000 atau sama dengan kenaikan sebesar 36%. Sudah gila. Angka tersebut besar sekali. 2 juta tadi seharusnya bisa untuk sewa kost 2–3 bulan atau uang makan dan jajan selama 1–2 bulan. Memangnya, mahasiswa hanya butuh UKT saja kah? Menempuh pendidikan itu memang perlu, tapi bertahan hidup selama proses pembelajaran berlangsung juga adalah suatu kewajiban. Saya pribadi tidak heran apabila akhirnya kasus pengunduran diri mahasiswa akan meningkat drastis sebab jujur-jujuran saja, keluarga mana yang menganggap kuliah di PTN dengan UKT di atas Rp5 juta adalah hal yang normal di tengah kondisi krisis ekonomi gila-gilaan seperti sekarang ini? Masyarakat kan berharap masuk ke PTN agar mendapat UKT yang rendah. Gaji selalu sama, tapi UKT naik luar biasa. Hal lainnya yang perlu kalian tahu adalah bagaimana mengerikannya sistem UKT yang ada di UPI. Pihak kampus tidak memberikan opsi banding UKT apa pun alasannya. Orang tua kalian mengalami perubahan pendapatan? Orang tua kalian terkena PHK? Atau bahkan, orang tua kalian meninggal dunia? Semuanya sia-sia. Kalian hanya akan diberi opsi berupa cuti semester atau penangguhan berupa cicilan UKT saja. Whew.
Segala perubahan yang terjadi di lingkungan kampus UPI menunjukkan dinamika perkembangan institusi pendidikan yang sudah seharusnya diikuti dengan peningkatan fasilitas dan pelayanan yang sesuai. Kebijakan yang dibuat haruslah berdasarkan pemikiran rasional-komprehensif yang melibatkan mahasiswa sebagai subjek kebijakan secara pasti. Kebijakan harus dapat memberikan manfaat subjeknya. Meniadakan KTM, mengubah toga, dan jas almamater adalah langkah yang perlu menjadi suatu kesepakatan semua pihak. Tidak bisa dilakukan begitu saja secara sewenang-wenang. Lalu, meskipun pembukaan prodi baru ini menunjukkan kemajuan, tetapi perlu dipertimbangkan pula peningkatan fasilitas untuk mendukung perkembangan tersebut. Selain itu, kenaikan UKT yang signifikan juga telah pasti menjadi beban tersendiri bagi mahasiswa dan keluarga mereka. Maka dari itu, UPI perlu hadir dengan memberi keadilan sebaik-baiknya dalam penentuan penggolongan UKT ini dengan memperhatikan kebutuhan mahasiswa serta kemampuan ekonomi mereka. Peningkatan komunikasi yang terbuka antara pihak kampus dan mahasiswa menjadi salah satu kunci dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih berkelanjutan sehingga menguntungkan berbagai pihak.
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Angkatan 2022 FPIPS UPI