Perjuangan Seorang Guru Di Desa Terpencil
Oleh : Muhammad Nashruddin Ash Shiddiq*
*Reporter Magang Isolapos.com
Judul : Twenty-Four Eyes
Penulis : Sakae Tsuboi
Penerjemah : Akira Miura
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Maret 2024 (Cetakan kelima belas)
Tebal buku : 248 halaman
Novel berlatar tahun 1928 ini, menceritakan kisah seorang guru baru bernama Hisako Oishi, yang mulai mengajar di sebuah sekolah cabang yang berada di desa Tanjung. Desa Tanjung merupakan sebuah desa yang sangat terpencil di dekat laut Seto, Jepang. Sekolah cabang sendiri adalah sekolah dasar yang hanya menampung siswa kelas satu hingga kelas empat saja. Setelah mereka kelas lima, mereka akan melanjutkan pendidikan di jenjang sekolah utama yang letaknya lebih jauh. Sehingga Miss Oishi harus berangkat ke sekolah dengan jarak 8 kilometer menggunakan sepeda dan pakaian ala barat. Pada awalnya, warga di Desa Tanjung memandang aneh pakaian yang dikenakan Oishi tersebut.
Di hari pertama ia mengajar, ia bertemu dengan murid-murid kelas satu, mereka adalah Kotsuru Kabe, Masumo Kagawa, Kotoe Katagiri, Matsue Kawamoto, Fujiko Kinoshita, Misako Nishiguchi, Sanae Yamaishi, Nita Aizawa, Isokichi Okada, Tadashi Marioka, Takeichi Takeshita, dan Kichiji Tokuda. Mereka semua tinggal di desa yang hanya berpenduduk sekitar 100 keluarga saja.
Cara mengajar Miss Oishi yang menyenangkan dengan beraktivitas di luar ruangan seperti bernyayi di pantai, membuat para murid semangat belajar. Bahkan, ketika Oishi sakit keseleo, murid-muridnya rela menjenguk ke rumah Miss Oishi dengan berjalan kak, padahal mereka masih duduk di bangku kelas satu SD. Selain itu, sifatnya yang sabar dan bijak tergambarkan saat ia menyelesaikan perselisihan murid-muridnya antara makan kepiting saat malam terang bulan atau saat tidak ada bulannya.
“Yah… Kurasa yang benar adalah malam yang tidak ada bulannya.” Halaman 125.
“Tapi aku tidak Yakin. Mungkin malam terang bulan juga benar.” Halaman 126.
Setelah mereka menamatkan bangku kelas 6, mereka memulai jalan hidupnya masing-masing dengan masa depan yang cerah. Namun, beberapa tahun kemudian, dunia seakan menutupi masa depan anak muda pada saat itu ketika Perang Dunia berkecamuk, di mana Jepang bergabung di pihak Axis. Apakah mereka berhasil bertahan hidup ditengah gempuran perang dunia kedua?
Novel Twenty-Four Eyes ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Ketika membaca novel ini, seakan-akan kita menyaksikan perjalanan hidup miss Oishi sejak menjadi guru berstatus kontrak hingga ia berkeluarga. Dengan latar Pedang Dunia II, kita dapat melihat bagaimana kondisi pedesaan di Jepang saat itu yang serba kekurangan tetapi semangat belajar anak-anak di daerah tertinggal sangat tinggi. Perang Dunia II membuat kondisi Jepang berubah drastis. Sirine darurat seolah menjadi makanan sehari-hari anak-anak di desa Tanjung. Selain itu, terdapat wajib militer bagi para remaja pria dan dotrin “kesetiaan pada kaisar” yang diajarkan anak-anak polos agar mereka tidak takut pada nyawa mereka sendiri yang membuat Miss Oishi sempat marah terhadap anaknya, Daikichi.
“…Ibu ingin kau menjadi orang sipil. Satu anggota keluarga kita sudah mati ‘terhormat’. Tidakkah itu cukup? Kau tak mendengar apa-apa kalau mati. Apa kau begitu ingin mati, padahal ibu sudah susah payah membesarkanmu? Apa kau tidak peduli kalau ibu menghabiskan sisa hidup ibu dengan menangis?” Halaman 201.
“… Tapi, kalau tidak begitu, Ibu tidak akan dihormati sebagai ibu prajurit yang gugur.” Sepertinya Daikichi yakin sekali bahwa tewas di medan perang adalah cara terbaik untuk menunjukkan kesetiaannya kepada orangtua dan kaisarnya.” Halaman 202.
Alur ceritanya cukup beragam. Mulai dari alur maju hingga sorot balik, memperkaya sudut pembaca terhadap buku ini. Gaya penulisannya yang cukup sederhana dan apa adanya, membuat kita sebagai pembaca mudah memahaminya dan mendalami emosi dari setiap tokoh dalam cerita tersebut. Emosi dalam buku ini cukup dinamis.
Di bagian awal novel, kita disuguhkan dengan lucunya anak-anak desa yang polos nan lugu. Kita bisa melihat betapa bahagianya Miss Oishi saat mengajar untuk pertama kalinya meskipun dengan jarak tempuh yang jauh. Seiring berjalannya cerita, kita dibuat sedih ketika beberapa murid Miss Oishi yang tidak melanjutkan pendidikan lanjutan karena faktor keluarga padahal Miss Oishi sudah membujuk murid-muridnya agar bisa meneruskan pendidikan tinggi. Misalnya Kotoe yang tidak menlanjutkan sekolahnya karena sudah pasrah akan nasibnya sebagai perempuan dan ingin segera menikah, kemudian Matsue yang mengundurkan diri saat kelas lima dan langsung bekerja sebagai pelayan restoran di usia yang masih belia setelah ibunya meninggal.
Dari sini kita melihat bahwa pola pikir masyarakat desa yang tradisional dapat mempengaruhi pola pikir anak-anak. Puncak dari kesedihan dalam novel ini ketika satu persatu anak laki-laki harus gugur di medan perang ketika mereka masih belia. Miss Oishi sangat terpukul atas kepergian beberapa mantan muridnya akibat perang dunia yang hanya membuat nyawa manusia seperti “kuncup-kuncup buah ceri.”
Dengan demikian, secara keseluruhan tema dalam buku tersebut menegaskan bahwa perang akan merengut banyak hal. Selain harta benda yang hancur berkeping-keping, nyawa anak-anak muda penerus bangsa dengan masa depan yang cerah akan hilang dari suatu bangsa. Anak muda berhak memperjuangkan masa depan mereka dengan pendidikan yang tinggi agar terbebas dari belenggu kemiskinan.
Buku Twenty-Four Eyes ini adalah buku karangan dari Sakae Tsuboi dan diterjemahkan oleh Akira Miura. Dalam bahasa jepang disebut “Nijushi No Hitomi.” Buku ini diterbitkan pada tahun 1952 dan tidak lama setelahnya menjadi best seller.
Sekitar tahun 1954, novel ini diangkat menjadi film dengan judul yang sama. Uniknya, novel ini tidak secara langsung menjelaskan secara detail mengenai Perang Dunia II seperti menjelaskan fasisme, komunisme, atau alasan mengapa perang berlangsung seperti buku tentang perang pada umunya. Bisa dibilang, buku ini adalah novel yang menyuarakan anti-perang.
Lewat buku ini, Tsuboi ingin menjelaskan dari sudut pandang masyarakat sipil Jepang sebelum hingga pasca Perang Dunia. Ia ingin mengatakan bahwa nilai kemanusiaan jauh lebih berharga daripada pertumpahan darah demi ideologi tertentu.[]
Redaktur: Nabil Haqqillah