Puisi: Puisi-puisi Usman
Kota Sebuah Perjalanan
Tanahmu adalah senyum rahimmu
Selalu Aku harus melihat tawa anak-anak meminang kata mata
Pada seonggok rumput melihat kiblat dari bilik awan
Inilah perjalanan mereka ciptakan pada almanak
Kutanggalkan robekrobek angka pada sore
Ketika jalan-jalan mengubah arah kekhawatiran
Mataharipun seakan pecah oleh teriakan lafadz yang kauucapkan dulu
Sebagian hilang, sebagian menjelma maenjadi ilalang
Satu lagi, danau kau pinjam sebelum fajar
Ayat-ayat belum dieja dengan lendir kecemasan
Terlalu lama ditinggalkan pawang demi pawang
Inilah perjalanan mereka ciptakan dari balik bilik
O, tapak rupanya kau telan sekali dikecup
Kemudian kau sisipkan sajak di bebatuan, kuburan
Hutan-hutan menjadi temaram
Sisi kota telah mati
Malam menjadi hari basah, keperawanannya hilang oleh bulan
kemudian aku diam dengan seribu wajah
Meninggalkan tarian dalam alifMu
Cangkuang-ciburuy
Kenang-kenangan
Seperti baju kau lipat menjadi kertas
Garisnya terlihat seperti mata malikat
Berbau parfum kuhirup bersama segalas teh manis
Kemudian kau tulis sajak-sajak kecil dipunggung
Ah…itu hanya lipatan garis Muhammad
Segala kenangan pada liur lembayung sore-sore
Bukan secarcik gelas orange buatan Thiong Hoa
Diluarnya gambar dewa naga mengelilingi bulatan
Atau siratan lampu neon televisi menghidupkan mata
Bandung
SELALU INGIN MELUKIS
kucium wangi parfum yang masim menempel ditubuhmu
satu tetes jatuh ke sungai yang lainnya kering
kuteruskan dengan menuliskan namamu berulang kali di air
tanap kuas lalu aku melukis wajah
tapi gerimis menyeret
aku tak bias berkata-kata lagi padamu, tak bias melukis, menari
hanya satu yang bisa….
Aku bisa melukismu dengan darah dan biarkan menjadi batu di dasar kali mati
Aku ingin kau menjenguk dan membubuhi dengan kembang kamboja
Dan menyiram dengan airmata
Februari
Sampan
Rasanya tak mungkin menakhodai kapal di ladang
Tapi ladang tak mungkin menanam biji besi
Di danau seperempat jauh layar dulu
Sekarang seperti temaram melihat kapal
Dengan satu kaca jendela
Isyarat menceritakan sejarah jauh ini perjalanan
Bukan angin yang menjadikan tenggelam
Tapi pusaran air bisa menjadikan kapal berdiri lagi
Aku ingin mencium tubuhmu kembali
Besok…
Pada jemari menari ke urat pori-pori
Semuanya mungkin
Kalau saja kau melihat keabstrakan mataku
Dalam lukisan wajahmu
Garut
Percakapan dengan Air
Kau kembali dengan ruh
Ikan menari-nari dengan batu
Tak air, tak hujan, tapi haus dalam rahimmu masih
Kataku, dia berada setengah mil dari peraduan
Garut
Usman Nurdiansyah, mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia angkatan 2005.