Kuantitas Minus Kualitas

110

Oleh Aang Kusmawan*

Episode demi episode, kejadian demi kejadian yang melanda lembaga pendidikan tinggi akhir-akhir ini cukup membuat hati siapa saja  terenyuh. Pepatah lama ibarat jatuh tertimpa tangga rasa-rasanya menjadi kata-kata yang pas untuk menggambarkan kondisi itu.

Belum lagi usai masalah plagiasi yang menjamur, lagi-lagi data menunjukan bahwa angka pengangguran terdidik lulusan dari perguruan jumlahnya cukup tinggi. Bahkan diprediksikan tahun-tahun kedepan trennya akan mengalami kenaikan.

Tak urung hal tersebut mendorong lahirnya sejumlah pertanyaan, salah satunya, ada apa dengan lembaga pendidikan tinggi di negara ini?  “wabah” apa gerangan yang sedang menghinggapi lembaga perguruan tinggi? Rasa-rasanya alih-alih menjadi solusi, kok lembaga pendidikan tinggi  malah menjadi salah satu penyumbang nestapa bagi bangsa ini? Baiklah ada baiknya kita mencoba melihat kembali kuantitas dan kualitas perguruan tinggi kita.

Kuantitas bertambah

Jika menengok jumlah perguruan tinggi yang tersebar dari ujung barat sampai dengan ujung timur, rasa-rasanya kita patut bersyukur. Betapa tidak, jumlah lembaga perguruan tingi, baik swasta atau negeri, yang tercatat ternyata mencapai angka ribuan. Selain menengok jumlah, hal lain yang patut kita syukuri adalah persebaran keberadaan lembaga perguruan tinggi. Hari ini kita hampir tidak terlalu kesulitan untuk menemukan keberadaan perguruan tinggi di daerah-daerah yang lokasinya berada  jauh dari ibu kota provinsi atau perkotaan.

Sekedar bukti sederhana, ini berdasarkan pengamatan pribadi penulis saja, sekarang di daerah Jampang, daerah selatan jauh Sukabumi, ada kurang lebih empat perguruan tinggi yang menyelenggarakan perkuliahan. Di daerah lain, seperti di daerah Tasikmalaya selatan atau Garut selatan kondisi yang sama juga demikian. Perguruan tinggi telah berkembang hingga jauh ke pedalaman. Terlepas dari stigma yang berkembang, setidaknya hal itu telah menunjukan bahwa jumlah perguruan tinggi kita meningkat tajam terutama di daerah kabupaten atau pedesaan. Konsekuensi logis dari hal ini adalah tentu saja jumlah peserta didik yang tercatat di perguruan tinggi mengalami lonjakan yang signifikan.

Tidak jauh berbeda dengan kondisi di pedesaan, kondisi di perkotaan pun demikian. Jumlah peserta didik di perkotaan mengalami kenaikan. Penyebabnya bukan hanya karena bertambahnya jumlah perguruan tinggi, akan tetapi lebih disebabkan oleh banyaknya perguruan tinggi yang membuka program-program baru. Program baru tersebut, bukan hanya dirtikan dengan pembukaan program studi baru, akan tetapi adalah pembukaan jenis penerimaan mahasiswa baru yang disesuaikan dengan kapasitas keuangan peminatnya atau “sesuai selera pasar”.

Lihat saja misalnya, program penerimaan mahasiswa baru yang dibuka oleh perguruan-perguruan tinggi semuanya tidak dilaksanakan lewat satu pintu. Rata-rata perguruan tinggi di perkotaan seperti Universitas Padjajaran (UNPAD), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) membuka jalur penerimaan mahasiswanya minimal dari tiga pintu yaitu enerimaan jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri  (SNMPTN), Penelusuran Minat dan Bakat (PMDK), dan jalur khusus yang namanya disesuaikan oleh masing-masing universitas adalah adalah sederet nama program jalur penerimaana mahasiswa baru.

Akibatnya jumlah mahasiswa terdaftar di perguruan tinggi dari jenjang diploma sampai dengan sarjana mengalami penambahan siginifikan.  Walhasil lembaga perguruan tinggi kita mengalami perubahan kuantitas cukup signifikan.

Minus kualitas

Perubahan secara kuantitas tersebut pada prosesnya juga telah diikuti oleh perubahan-perubahan lain dalam tubuh perguruan tinggi. Salah satu contohnya adalah pada masa studi dan beban studi yang harus di selesaikan, khususnya pada jenjang sarjana atau strata satu.

Di UPI misalnya, mahasiswa yang kuliah di jenjang sarjana hanya punya waktu maksimal empat belas semester atau tujuh tahun untuk mendapatkan gelar sarjana. Selain itu, beban studi di jenjang sarjana atau sering dikonversikan dalam bentuk satuan kredit semester (SKS) kini berjumlah seratus empat puluh SKS. Sebagai catatan saja, empat tahun yang lalu ketika penulis baru masuk keperguruan tinggi, beban studi yang harus di selesaikan oleh mahasiswa adalah sekitar 160 SKS. Artinya, kini beban untuk menjadi sarjana secara kasar mengalami pengurangan sekaligus pemotongan waktu kuliah.

Perubahan  ini sekilas terlihat tidak berpengaruh apa-apa, namun jika di analisis secara mendalam hal ini ternyata meminjam istilah pansus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), berdampak sistemik terhadap hiruk pikuk kehidupan universitas. Sekadar gambaran, mari kita lihat alur sistemik itu secara sederhana.

Pertama, kita coba bagi beban studi sebanyak 140 SKS tersebut sebanyak 20 SKS per semesternya, maka jumlah beban tersebut bisa di selesaikan dalam jangka waktu tujuh semester saja, atau sekitar tiga tahun setengah. Itu jika kita mau menghitung secara rata, akan tetapi berdasar pengalaman penulis, biasanya mahasiswa rata-rata mengambil beban SKS tiap semesternya sekitar dua satu sampai dua-dua SKS. Dengan demikian masa tempuh studinya akan menjadi lebih pendek lagi.

Beban studi sebanyak dua puluh SKS setiap semesternya bukanlah beban yang ringan. Jika di rata-ratakan ke dalam jumlah mata kuliah, maka lima hari dalam satu minggu akan di gunakan untuk berkuliah, dan setiap harinya ada tiga mata kuliah yang akan dipelajarinya. Dan rata-rata waktu untuk menyelesaikan satu mata kuliah setara dengan dua SKS yakni sekitar seratus menit bahkan biasanya lebih. Jadi jika dirata-ratakan maka selama satu hari maka enam jam dalam sehari tersebut di gunakan untuk kuliah. Jika di asumsikan perkuliahan di mulai pukul 07:00 maka secara kasar, tanpa memperhatikan faktor lain seperti dosen yang telat dan lainnya, kuliah baru selesai pukul 13:00.

Setelah perkuliahan selesai, mahasiswa tidak lantas kemudian bisa bernapas denan tenang karena setumpuk tugas kuliah sudah menanti. Misalnya saja, setiap satu mata kuliah diharuskan membuat satu makalah, maka setiap harinya mahasiswa setidaknya harus menyelesaikan satu makalah. Rata-rata waktu untuk menyelesaikan satu makalah, dari mulai mengumpulkan data (primer ataupun sekunder) sampai dengan pengetikan, pencetakan dan penjilidan itu membutuhkan waktu sekitar empat jam. Ini adalah waktu yang paling cepat.

Misalnya, mahasiswa selesai kuliah pukul 13:00 dan kemudian istirahat selama dua jam, maka baru sekitar pukul 19:00 mahasiswa baru bisa menyelesaikan makalah tersebut. sesudah itu, mahasiswa “lagi-lagi” belum bisa bernapas dengan tenang, karena tugas lain masih menuntut untuk diselesaikan, atau kalau juga tidak menyelesaikan tugas, minimalnya adalah membaca materi mata kuliah yang besok akan dipelajaari.

Dus, akhirnya mahasiwa bisa agak bernapas dengan lega sekitar pukul 21:00. akan tetapi paparan di atas tersebut di barengi dengan catatan, bahwa proses di atas tersebut berjalan tanpa hambatan dan didukung oleh syarat penting lain seperti komputer, printer, layanan internet tanpa gangguan dan tentu saja bekal uang yang cukup. Tanpa syarat itu, waktu untuk beraktivitas akan bertambah. Bahkan mungkin menjelang tengah malam mahasiswa bisa beristirahat.

Manusia bukanlah robot yang bisa digerakan sesuai dengan keinginan. Secara psikologis jika mahasiswa menjalankan rutinitas seperti itu pasti akan mengalami kelelahan dan tentu saja kejenuhan. Nah,  di tengah kondisi seperti itu akan muncul niat-niat yang biasanya tidak terlalu terpuji. Menjiplak hasil karya orang lain kedalam makalah yang ditugaskan adalah hal yang sangat mungkin dilakukan, di tambah lagi dengan perkembangan internet, proses penjiplakan karya orang lain akan sangat mudah dilakukan.

Bayangkan jika setiap mahasiswa melakukan penjiplakan minimal satu makalah dari tiga makalah yang di tugaskan. Dan hal itu dilakukan terus menerus selama tiga tahun setengah, sampai dia lulus menjadi sarjana. Secara tidak langsung kita mendapatkan sebuah gambaran yang cukup jelas mengenai kualitas kesarjanan mahasiswa tersebut. Ya, sarjana yang dihasilkan tidak lebih dari sarjana “karbitan”, alias sarjana yang dipaksa matang sebelum waktunya. Seperti buah pisang yang dipaksa matang dengan karbit.

Dari ilustrasi tersebut, jawaban dari kenapa menjamurnya plagiasi dan meningkatnya angka pengangguran terdidik terjawab sudah. Plagiasi yang dilakukan adalah efek dari beban studi yang begitu padat, sehingga pada akhirnya melahirkan sarjana karbitan, dan tentu saja sarjana yang dipaksa matang tidak akan menjadi sarjana yang betul-betul berkualitas. Sehingga ketika mereka sudah lulus dan di hadapkan pada dunia luar yang ternyata tidak “ sejinak” dunia kampus, mereka kemudian sangat terkejut dan tidak bisa menghadapinya. Akhirnya mereka hanya menambah antrian panjang pengangguran terdidik. Tampaknya hal ini lebih sistemik dari pada bailout Bank Century sekalipun.

Perguruan tinggi kita memang mengalami perubahan kuantitas dengan signfikan, akan tetapi minus perubahan secara kualitas!

*Aang Kusmawan, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan Universitas Pendidikan Indonesia (UKSK UPI). Mahasiswa Pendidikan Ekonomi UPI.

Comments

comments