Kebebasan Berorganisasi yang Dikebiri
Beberapa waktu lalu Universitas menerbitkan Peraturan Rektor No.8052/H40/HK/2010 tentang organisasi kemahasiswaan di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Peraturan yang ditandatangani langsung oleh Rektor UPI, Sunaryo Kartadinata tertanggal 29 Desember 2010 ini berisi tentang aturan mengenai kedudukan, bentuk kepengurusan dan kegiatan-kegiatan organisasi kemahasiswaan yang ada di UPI meliputi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Majelis, Forum, Dewan dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Terbitnya peraturan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan di kalangan aktivis Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) UPI. Pasalnya peraturan itu muncul untuk mengatur, mengesahkan serta “menyesuaikan peran” Ormawa UPI yang seharusnya tidak diintervensi oleh pihak Universitas. Dalam Peraturan Rektor tersebut pasal 7 menyatakan bahwa Ormawa yang telah dibentuk harus mendapat pengesahan dari Rektor/ Dekan/Direktur Sekolah Pasca Sarjan/Ketua Jurusan. Banyak mahasiswa menilai hal itu berarti Universitas mengambil langkah untuk melegitimasi keberadaan serta memasukan ormawa yang seharusnya independen dari campur tangan Universitas menjadi lembaga di bawah struktur dari Universitas.
Penilaian mahasiswa tersebut tidaklah salah, karena dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kepmendikbud) No.155/U/1998 telah jelas mengatur tentang keberadaan organisasi kemahasiswaan. Dalam pasal 4 Kepmendikbud tersebut tertulis bahwa organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan. Artinya Ormawa merupakan lembaga yang terpisah dari struktur universitas dan bersifat independen. Hal ini juga berarti peraturan yang diterbitkan universitas telah bertentangan dengan payung hukum yang diberikan oleh Negara.
Kontan saja, mahasiswa menjadi gerah dengan munculnya peraturan tersebut, mereka menilai munculnya peraturan tersebut telah jelas-jelas membatasi kreatifitas serta dinamika-dinamika kegiatan kemahasiswaan, dan juga menjadi bentuk pembungkaman penguasa universitas terhadap Ormawa. Ini menjadi sebuah keheranan tersendiri dan memunculkan pertanyaan yaitu apa maksud universitas menerbitkan peraturan untuk ormawa yang sudah diatur kedudukannya oleh Negara? Parodi yang terjadi di universitas berjargon pendidikan ini terkesan memunculkan kembali ruh orde baru yang membungkam kebebasan berorganisasi, karena dengan munculnya peraturan tersebut, universitas berhak membentuk, mengatur, sekaligus bisa mencabut SK yang diberikan kepada ormawa dengan kata lain universitas juga berhak membubarkan ormawa yang terbentuk di UPI.
Badan Eksekutif Mahasiswa UPI serta Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa UPI yang merupakan perwakilan ormawa-ormawa yang terkena imbas dari peraturan tersebut tak tinggal diam. Mereka segera melayangkan petisi keberatan atas munculnya peraturan yang menurut mereka membelenggu kebebasan berorganisasi itu, merekapun meminta untuk mengadakan audiensi dengan para petinggi universitas untuk menyampaikan sekaligus mencari solusi atas keberatan mereka.
Surat keberatan yang dilayangkan BEM UPI dan FK UKM kepada universitas ternyata tak kunjung direspon rektor, permintaan audiensi yang diharapkan tak kunjung juga dikabulkan. Hal itu membuat mahasiswa geram karena sikap petinggi universitas yang seolah universitas tak mau tahu apakah peraturan ini diterima atau tidak oleh mahasiswa yang jelas mereka harus patuh atas aturan itu. Akhirnya BEM UPI dan FK UKM mengadukan hal itu ke Majelis Wali Amanat (MWA) UPI, dengan harapan suara mereka dapat didengar.
MWA UPI akhirnya menerima kedatangan perwakilan mahasiswa dengan beribu pertanyaan tentang kemunculan SK yang mengatur ormawa dan sikap universitas yang tidak merespon keinginan mahasiswa. Namun, pertemuan itu tak memberikan hasil memuaskan, karena MWA hanya merespon dan berjanji untuk menyampaikan keberatan mahasiswa kepada rektor UPI. Tapi dari gelagatnya, MWA juga seperti tidak tahu menahu mengenai munculnya peraturan ini, pasalnya MWA menanggapinya secara sinis dan keluar dari konteks yang disampaikan mahasiswa.
Alih-alih mendapat respon yang memuaskan, MWA malah memperlihatkan perlakuan yang tidak menyenangkan kepada para wartawan yang datang meliput pertemuan tersebut. Abin Syamsudin Makmun, sekretaris MWA UPI sempat mengusir para wartawan yang diundang mahasiswa. Abin berdalih bahwa pertemuan tersebut merupakan pertemuan internal UPI dan tidak perlu diketahui publik dengan pemberitaan. Tapi penolakan kepada sejumlah wartawan media massa untuk meliput pertemuan itu memunculkan pertanyaan baru, ada apa dengan UPI? Apakah MWA takut akan pemberitaan di media massa? Atau hal ini memang menguatkan anggapan bahwa UPI memunculkan lagi ruh orde baru dengan membungkam informasi kepada publik?
Pertanyaan pertanyaan itu sepertinya bisa dijawab dengan sikap yang dicerminkan MWA dan Universitas. Jika MWA berdalih sikap mereka itu agar citra UPI tidak tercoreng dengan pemberitaan di media massa, maka secara tidak langsung mereka juga membenarkan bahwa memang ada yang salah di universitas ini. Tapi, apakah kebebasan berorganisasi, berkumpul dan berserikat, dan berdemokrasi di universitas pendidikan ini memang benar benar telah sirna?