Mengulik Ruang Publik bagi Demokrasi
Kebebasan menyuarakan pendapat dan berekspresi sivitas akademik terutama mahasiswa merupakan ciri dari iklim demokratis dalam lingkungan kampus. Hal tersebut dapat tercapai salah satunya karena aktivitas-aktivitas tersebut mampu terwadahi dengan baik melalui ruang bersama yang dapat diakses oleh siapapun. Ruang bersama itu, biasa disebut juga ruang publik.
Pada kesempatan ini, Sofia Pamela dan Siti Haryanti mewawancarai M.Syaom Barliana, guru besar Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur UPI. Berikut petikan wawancaranya.
Ruang publik itu idealnya seperti apa?
Ukuran ideal saya kira relatif, namun paling tidak, ruang publik harus dapat memenuhi empat hal. Pertama, peka dan responsif terhadap kebutuhan para penggunanya. Kedua, menjamin hak para penggunanya untuk melakukan aktivitas dan berekspresi secara bebas. Namun demikian, kebebasan ekspresi ini tetap mempertimbangkan norma sosial, toleransi, serta batasan-batasan tertentu yang disepakati dalam penggunaan ruang bersama.
Ketiga, mendorong tumbuhnya sense of place, suatu perasaan keterikatan emosional antara ruang tersebut dengan kehidupan para penggunanya. Dalam tingkat lebih lanjut sense of place ini akan mendorong sense of community , dan demikian juga sebaliknya. Sense of community adalah suatu perasaan keterikatan emosional antar pemakai ruang publik. Keempat, bersifat aktif, yang berarti aksesibel dan dapat digunakan untuk berbagai aktivitas warga, dan bukan sekedar dapat dinikmati secara visual seperti ruang terbuka atau taman yang indah tapi kemudian dipagari.
Fungsi ruang publik itu apa saja?
Esensi dari ruang publik adalah khalayak atau warga itu sendiri. Karena itu, fungsi ruang publik adalah ruang yang menciptakan penguasaan bersama oleh khalayak. Penguasaan untuk apa? Yaitu untuk mewadahi kebutuhan berinteraksi secara terbuka, berkomunikasi secara damai, berekspresi secara bebas, serta mengakomodasi keragaman khalayak itu sendiri.
Adakah pengaruh ruang publik terhadap aspek sosial? Kalau ada, bagaimana dampaknya?
Manusia adalah mahluk sosial, yang tentu saja membutuhkan interaksi dengan orang lain. Interaksi sosial ini tidak mungkin sepenuhnya sepanjang waktu terjadi di ruang yang semata-mata formal seperti ruang kerja misalnya, ruang privat, atau ruang yang dikendalikan oleh transaksi-transaksi ekonomi belaka.
Sebagian besar mungkin, interaksi yang bebas, tanpa beban, terjadi pada ruang publik yang bersifat informal. Jadi, ruang publik itu seperti mewadahi sifat dan gairah kekanak-kanakan dalam diri kita, yang bebas untuk bergerak, berinteraksi, berekspresi, dan bereksplorasi. Dampaknya, jelas, ruang publik yang berkualitas, akan menumbuhkan sense of community tadi serta memelihara kesehatan mental, psikologis, dan sosial kita.
Jika ruang publik tidak tersedia atau tidak aksesibel pada suatu wilayah, apa dampak sosial yang terjadi?
Sudah banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ruang publik, mempengaruhi perilaku sosial. Penelitian saya, meskipun tidak spesifik pada ruang publik, memperlihatkan bahwa pencapaian tata atur lingkungan yang baik secara teknis-material, memberi implikasi bagi pencapaian sosial-moral suatu kelompok masyarakat (pemakai).
Sebaliknya, jika tidak tersedia ruang publik untuk mewadahi aktivitas dan menyalurkan berbagai aspirasi tersebut, maka akan memunculkan masyarakat “sakit” yang kehilangan orientasi, keterasingan, konflik sosial, atau bahkan gemar melakukan kekerasan.
Pada zaman dahulu di Agora, Yunani terdapat arena publik yang menjadi tempat menyuarakan pendapat dan berdiskusi warga. Sehingga disana mulai tercipta iklim demokrasi. Bagaimana kaitannya ruang publik dengan demokrasi?
Inti demokrasi adalah mengekspresikan pemikiran dan perasaan yang diimplementasikan dalam berbagai aktivitas sosial, termasuk politik, dengan tetap menjaga norma dan tidak mengabaikan perasaan orang lain. Ruang publik, adalah wadah untuk mengakomodasi berbagai ekspresi dan aspirasi demokrasi tersebut.
Demokrasi juga merupkan persilangan berbagai pandangan dan keragaman, dengan satu sama lain tetap saling menghargai. Ruang publik, sekaligus dapat mendidik masyarakat untuk berbudaya demokrasi. Contoh sederhana, kebijakan car free day yang dilakukan di jalan Dago dan Merdeka. Anda lihat setiap warga yang beragam sengaja datang untuk melakukan berbagai aktivitas yang berbeda-beda, menikmatinya dengan gembira, dan tidak saling mengganggu.
Ruang publik dapat mempertemukan berbagai ide, memunculkan kreatifitas dan tentunya iklim demokrasi. Apakah ruang publik diperlukan di area kampus? Seperti apa gambaran ruang publik yang menunjang dan aksesibel?
Dengan apa yang sudah saya jawab sebelumnya, maka jelas kampus wajib memiliki ruang publik. Mahasiswa tidak hanya tumbuh dan berkembang melalui aktivitas akademik dan administratif dalam ruang-ruang formal, tetapi juga melalui ruang publik yang mampu merangsang kreatifitas, mengekspresikan berbagai pandangan dan sekaligus mempertemukannya, menghargai hak-hak orang lain, dan sebagainya.
Dalam konteks kampus UPI, apakah ketersediaan ruang publik sudah mengakomodir akivitas sivitas akademik terutama kegiatan kemahasiswaan yang beragam?
Kampus UPI termasuk kampus yang tidak dirancang sejak awal secara komprehensif, tapi bersifat inkremental atau tambal sulam. Ini berbeda dengan kampus UI di Depok misalnya. Oleh sebab itu, memang jauh lebih sulit merancang pengembangan kampus pada kawasan yang terlanjur jadi.
Terlepas dari persoalan itu, di beberapa fakultas tersedia inner court plaza seperti di FPMIPA dan FPTK. Dengan kreatifitas anda, gunakan plaza tersebut sebagai wadah beragam aktivitas seperti mimbar demokrasi, diskusi, happening art, atau sekedar bercengkrama dan berforo bersama.
Contoh di UPI terdapat Gedung Olahraga (Gedor) yang dahulu digunakan mahasiswa dan sifatnya aksesibel. Namun, sekarang walaupun fungsinya masih sama, jika akan melakukan aktivitas disana mahasiswa mesti meminta izin dan berbayar. Bagaimana melihat fenomena ini?
Terkait dengan sebelumnya, definisi dari ruang publik adalah ruang yang dapat digunakan oleh warga sepanjang atau sebagian waktu tanpa dipungut biaya. Jadi kalau warga harus membayar, maka tempat itu tidak lagi menjadi ruang publik.
Gedor sekarang menjadi menjadi gedung kebudayaan, sebagian orang menyebutnya Ampiteater (Amphitheatres). Ini salah kaprah, karena ampiteater sesungguhnya merujuk pada teater terbuka, dan bukan gedung tertutup. Yang saya protes dulu, dalam masterplan yang disahkan MWA UPI, Gedor akan dibongkar dan dibangun baru amphiteater. Terlepas dari persoalan itu, saya menghargai upaya konservasi yang dilakukan, yaitu mengubah fungsi dengan tetap mempertahankan bentuk dan struktur bentang lebar yang elegan. Perubahan fungsi menjadi gedung pertunjukkan (kesenian), membutuhkan pengaturan tertentu. Ini yang tampaknya menjadikannya harus berbayar. Saya tidak tahu.
Bagaimana saran anda terhadap ketersediaan ruang publik di UPI bagi mahasiswa?
Harus dipahami, bahwa yang disebut ruang publik, bukan hanya ruang terbuka seperti taman atau plaza, tetapi jalan-jalan, trotoar, tempat parkir, adalah juga ruang ruang publik. Jadi kalau mahasiswa pejalan kaki masih harus berebut ruang dengan mobil dan motor karena trotoar sempit atau bahkan tidak ada, maka anda belum memiliki ruang publik yang memadai.
Dengan sudah tersedianya berbagai fasilitas akademik dan administrasi dalam gedung, sudahnya saatnya universitas tidak lagi berfokus pada pembangunan gedung tetapi memprioritaskan pengembangan dan pembangunan infrastruktur ruang publik ini. Kalau pimpinan universitas memiliki keberanian, misalnya mengubah secara radikal pola tata atur sirkulasi dan parkir yang akan berimplikasi pada penataan ruang publik.
Menurut Jane Jacobs, koridor jalan dan jalur-jalur pedestriannya merupakan bagian dari ruang publik utama. Jalan yang baik, biasanya sukses merangsang warga, untuk turun berinteraksi sosial dan beraktivitas secara sehat. Jika jalur sirkulasi sudah tertata baik, selanjutnya akan lebih mudah mengatur fasilitas ruang publik lainnya bagi mahasiswa.