Penari Ronggeng
Judul : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman : 408 Halaman
Tahun terbit : Cetakan ke- 8, Desember 2012
Pernahkah anda membayangkan seorang ronggeng? Ya, Srintil adalah salah seorang perempuan kenes yang mulai menjalani ritual sebagai syarat menjadi ronggeng suatu pedukuhan kecil, miskin namun bersahaja, Dukuh Paruk namanya. Bagi pedukuhan terpencil itu, ronggeng adalah suatu lambang pedukuhan tersebut.
Memikat, cantik dan menggoda lelaki manapun. Srintil menjadi tokoh yang terkenal dan dibicarakan banyak orang, ia adalah ronggeng yang muncul, setelah 12 tahun belum ada ronggeng dalam pedukuhan tersebut.
Ia sangat bangga dengan Indang Ronggeng yang ada dalam dirinya, ia pun sering menari bersama laki-laki manapun, tak ada kesedihan yang dialami oleh Srintil. Namun, setelah beberapa lama menjadi ronggeng, malapetaka pun terjadi tahun 1965, Ia dan keluarganya tergerus api politik yang mengecam seluruh daerah, termasuk Dukuh Paruk.
Srintil ditahan selama dua tahun, pedukuhan itu pun hancur, bukan hanya fisik namun juga secara mental. Semua warga menjadi korban kelicikan pemerintah. Setelah Srintil keluar dari tahanan, ia pun enggan menari dan merasa malu karena telah menjadi bekas tahanan. Ia ingin menjadi perempuan seutuhnya yaitu mempunyai anak juga mengurusi rumah tangga.
Ia pun bangkit dari keterpurukan sampai suatu hari ia bertemu seorang lelaki yang pantas untuknya. Sepercik semangat dan harapan pun timbul, semakin lama semakin besar. Namun, akhirnya Srintil kembali hancur bahkan lebih rusak binasa, jiwa yang tak punya kemuliaan sedikitpun. Srintil menjadi gila dan tak ingat apapun kecuali tembang yang dulu sering ia nyanyikan.
Novel ini merupakan novel sastra fiksi yang ditulis oleh Ahmad Tohari. Merupakan novel penggabungan dari penyatuan trilogi, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini hari, dan Jantera Bianglala.
Pendeskripsian sebuah pedesaaan yang sangat piawai dilukiskan oleh penulis, sehingga tergambar secara jelas pedukuhan yang diceritakan.
Bukan hanya itu penulis mampu menggabungkan seni juga sejarah yang saling melengkapi, antara lain seni tari dan kekejaman politik.
Selain latar, tokoh pun menjadi hal yang menarik, karena penulis bisa menuliskan warga desa suatu pedukuhan secara mendetail, sehingga jelas tergambar bagaimana pelaku-pelaku di dalamnya.
Banyak pesan yang bisa diambil dalam buku tersebut. Salah satunya kebodohan adalah sumber kehancuran suatu masyarakat. Selain itu, terkadang budaya masyarakat dulu menjadikan seorang perempuan menjadi tereksploitasi secara tidak langsung.
Namun, apabila kita melihat cover buku tersebut, sangat disayangkan karena menggunakan tokoh film Sang Penari, sehingga membuat pembaca ketika berimajinasi dibatasi oleh tokoh Sang Penari yang dijadikan cover.
Selamat membaca, selamat berimajinasi ! [Julia Hartini]