Menyebar Soehartoisme di Kampus
Bumi Siliwangi, isolapos.com–
“Di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia -red) ini pemimpin yang berani memilih langkah strategis hanyalah dua orang, yang pertama Soekarno dan yang kedua Soeharto,” kata Issantoso saat diskusi buku Pak Harto The Untold Story, yang membedah sisi lain cerita almarhum mantan Presiden RI Soeharto yang luput dari publik, di gedung Amphi Teater Universitas Pendidikan Indonesia, Kamis (29/3).
Dalam diskusi yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sejarah (HIMAS) bekerjasama dengan Yayasan Harapan Kita, dia yang pernah menjadi ajudan Soeharto itu tak henti menyanjung pemimpin orde baru yang pernah digulingkan pada Mei 1998 silam. “Dia patut menjadi pahlawan nasional,” ujarnya menekankan.
Selain Issantoso hadir pula sebagai narasumber, sekretaris mantan presiden Soeharto, Anton Tabah. “The Untold Story ini, filosofisnya menghimpun berserakanya cerita tentang Pak Harto,” kata Anton.
Dalam kesempatan tersebut buku Pak Harto The Untold Story sempat dikritisi salah satu narasumber yang juga guru besar Pendidikan Sejarah UPI, Dadang Supardan, menurutnya ada gagasan dalam buku tersebut yang dinilainya belum tuntas, “atau mungkin sebuah kesengajaan penulis,” ujarnya.
Salahsatunya, kata Dadang, dalam tulisan Retnowati Abdul Ghani. Pada tulisan “Diam-diam menghayati”, Retno menulis bahwa Soeharto ternyata terkadang melontarkan sesuatu yang tak Terduga, “tak ada kelanjutan yang tak terduga itu apa? Curiosity pembaca pasti bertanya-tanya,” ungkap Dadang.
Dari pendiskusi, salah seorang mahasiswa Sejarah UPI, Rizal Hamzah menilai, apa yang diungkapkan narasumber maupun dalam buku hanya mengungkap nilai-nilai positif Soeharto saja. “Lantas bagaimana soal cerita tentang pelanggaran HAM pada masa orde baru?,” tanya Rizal.
Kontan pertanyaan Rizal dijawab langsung oleh penulis buku, Mahpudi yang pada saat itu menjadi moderator. Menurutnya, tak dipungkiri keterbatasannya dalam menghimpun cerita dari narasumber. “Tapi yang ditulis itu merupakan cerita dari narasumber, tak dipilih siapa narasumbernya, jadi jika yang terungkap hanya baik-baiknya, sepenuhnya tanggung jawab narasumber,” kata Mahpudi.
Jawaban juga terlontar dari Issantoso, ia mengatakan bahwa jangan mempertanyakan soal pelanggaran HAM karena itu bukan hal yang tengah dibahas. “Ini kita bercerita tentang buku ini, tidak yang lain,” ujar Issantoso.
Penutup, Dadang menambahkan bahwa kekurangan buku ini tak mengkaji secara seimbang dari sisi teoritis. “Mungkin akan lebih bagus jika ditelaah dari sisi teoritis dalam buku ini,” tandasnya. [Isman R Yusron]