Dilema Pendidikan Perguruan Tinggi
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tiap 2 Mei merupakan pernghormatan terhadap tokoh Pendidikan Nasional, yakni Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar telah menggantikan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan Indonesia. Meski berpuluh-puluh tahun diperingati, tapi pendidikan di Indonesia selalu dihadapkan pada berbagai persoalan. Penyelenggaraan pendidikan nasional masih jauh dari tujuan pendidikan nasional.
Sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tujuan diselenggarakannya pendidikan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraannya, sehingga setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan. Ini merupakan amanat dari konstitusi yaitu UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Amanat tersebut berbalik dengan kondisi yang ada, penyelenggaraan pendidikan masih belum merata. Banyak masyakarat yang belum mengenyam pendidikan, meski hanya pendidikan dasar sembilan tahun. Masih saja terdengar adanya ketimpangan penyelenggaraan pendidikan antara kota dan desa, terutama derah terpencil. Biaya pendidikan yang semakin tak terjangkau oleh masyarakat kecil menjadi persoalan yang tak kunjung memperoleh perhatian serius dari pemerintah.
Untuk pendidikan dasar dan menengah memang ada perbaikan dengan berbagai program. Misalkan ada Bantuan Operasional Sekolah, atau yang lebih kita kenal dengan dana BOS. Hanya saja perbaikan tersebut tak diikuti dengan pengawasan, sehingga timbul berbagai penyelewengan. Adapun penyelenggaraan pendidikan tinggi pemerintah terkesan melepaskan tanggung jawabnya, yakni memberikan kewenangan kepada masing-masing pendidikan tinggi untuk mencari dana sendiri lantaran pemerintah tak sanggup menanggung sepenuhnya. Akibatnya biaya kuliah terus melambung dari tahun ke tahun. Alih-alih sebagai upaya menjaga mutu, padahal pada tahap implementasinya belum tentu dapat tercapai.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) adalah contoh kasus bagaimana praktik-praktik seperti itu dilakukan. Diskriminasi dan ketidakberpihakan terhadap kalangan tak mampu sering kali terjadi. Bukannya berupaya menangani persoalan, malah membebankannya pada mahasiswa yang dianggap mampu.
Program Bantuan Mahasiswa Tidak Mampu (BMTM) yang dikeluarkan UPI menunjukan penyerahan tanggung jawab dare negara ke perguruan tinggi. Dalam kasus ini tak sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara karena program tersebut bersifat otonom. UPI lah yang punya inisiatif mengeluarkan program BMTM. Sayangnya, program BMTM tak didukung oleh suprastruktur yang kuat, sehingga terjadi kelemahan di sana-sini. Prosedur dan mekanisme pengajuannya pun tak jelas. Masih ada masyarakat (mahasiswa) miskin tidak mendapatkan dana BMTM.
Penyerahan tanggung jawab lainnya yang dapat kita lihat adalah tahun 2000 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang bernama BHMN. Dari sisi hukum BHMN tak kuat, maka saat itu juga digodok undang-undang BHP untuk memperkuat badan hukum hingga UU BHP mendapatkan pengesahan dari DPR. Karena UU ini tak sesuai dengan konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut.
Kini, pemerintah mengajukan kembali bentuk lain dari upaya pelepasan tanggung jawab dengan merancang dan mengajukan Rancangan Undang Undang Perguraun Tinggi (RUU PT) ke DPR. Di dalamnya terdapat pasal yang membagi-bagi bentuk otonomi, yaitu otonomi khusus, semi otonom, dan otonom. Apabila perguruan tinggi memilih otonom, maka perguruan tinggi tersebut akan “bebas” untuk mencari ladang duit sebanyak mungkin. Masyarakat (mahasiswa) akan menjadi objeknya.
RUU PT juga dapat mengakibatkan lunturnya sistem pendidikan nasional. Demi menciptakan pendidikan bertaraf internasional alias world class university, bukannya memperkuat sistem pendidikan kita, bisa-bisa sistem pendidikan kita tak bernilai sama sekali. Dalam RUU PT ini terdapat hal-hal demikian. Negara kita semakin tidak percaya dengan pembentukan pendidikan sendiri.
RUU PT juga dianggap menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang menguntungkan pihak asing. Adanya pasal tentang kelas jauh dari perguruan tinggi yang terdapat di luar negeri. Jika rancangan ini disahkan, bisa-bisa sistem pendidikan kita malah tergerus. ini adalah sebuah ancaman yang mesti dintisipasi supaya tak terjadi. Percuma kita tiap tahun memperingati Hardiknas tapi sistem pendidikan nasional malah akan semakin tak diminati.