Trend World Class Belenggu si Miskin
Oleh Betta Anugrah Setiani*-
Di tengah arus globalisasi di segala bidang, tak terelakan arus tersebut turut singgah ke dunia pendidikan. Perguruan tinggi, baik di Indonesia maupun di dunia berlomba mendapatkan predikat World Class University. Peringkat lembaga pendidikan baik di ranah regional, nasional, dan internasional ini menjadi masalah yang krusial dan berdampak besar pada proses pencerdasan bangsa. Utamanya pada nasib kaum proletar.
Ini menjadi hal yang urgen, semua instansi pendidikan hanya mengejar peringkat saja dan bukan mempedulikan bagian paling substansial pada pendidikan di Indonesia ini. Realita menunjukkan, seiring menjamurnya pendidikan bertaraf internasional di kota-kota besar, namun pendidikan dengan biaya yang terjangkau untuk masyarakat masih sangat sulit didapatkan. Pendidikan terasa semakin mahal. Itu juga membuat proses pencerdasan anak-anak bangsa terhambat.
Indonesia harus mengenal lebih dulu istilah World Class University (WCU)/Perguruan Tinggi Kelas Dunia (PT-KD) sebelum kemudian memilih bergabung di dalamnya. Istilah WCU dimunculkan pertama kali oleh UNESCO melalui program World Declaration on Higher Education for the Twenty –first Century: Vision and Action di Paris tahun 1998. Latar belakangnya adalah urgensitas peranan perguruan tinggi dalam mempersiapkan daya saing bangsa memasuki era persaingan global. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi kemudian meratifikasinya menjadi Program Jangka Panjang Pendidikan Tinggi atau yang biasa dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS). HELTS yang terbaru adalah HELTS IV (2003-2010), dimana program PJP diarahkan untukPeningkatan daya saing bangsa, Otonomi yang seluas-luasnya, dan Kesehatan organisasi.
Ini memperlihatkan, universitas di Indonesia lebih banyak diarahkan oleh asing. Kita hanya sebagai follower, bukan sebagai leadersehingga sulit memproses generasi bangsa ini menjadi generasi cerdas dan mandiri. Universitas lebih memenuhi kebutuhan pencapaian indikator daripada fokus terhadap solusi permasalahan yang dihadapi rakyat. Sebab, wacana WCU ini dipandang bukan lahir atas kebutuhan atau tuntutan rakyat, melainkan kepentingan pemerintah dan korporasi tertentu.
Martabat Tri dharma Perguruan Tinggi
Apakah tuntutan peringkat dunia semacam ini sejalan dengan visi perguruan tinggi yang ada di Indonesia?
Perguruan tinggi di Indonesia harus tetap berpijak pada ibu pertiwi, bukan semata-mata untuk menaikkan peringkat dan melupakan proses pencerdasan kehidupan bangsa. Landasan ini diaplikasikan dengan adanya tri dharma dalam perguruan tinggi (PT) di Indonesia, Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan, serta Pengabdian kepada Masyarakat. Bicara pendidikan, PT memiliki peran dan kewajiban memberikan banyak proses pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Harapannya, kompetensi dalam bidang-bidang tertentu dapat terakomodasi.
Penelitian dan pengembangan, PT pun diwajibkan untuk melakukan riset dan penelitian secara terus-menerus untuk menemukan suatu hal yang baru dan bermanfaat.
Pengabdian kepada masyarakat dilakukan ketika PT berhasil menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
Sebenarnya, jika PT unggulan tersebut dapat mengoptimalkan amanah Tri Dharma Perguruan Tinggi di atas, maka dapat dipastikan dunia luar juga akan melirik dengan seksama pada pendidikan kita. Akan tetapi, dibatasinya partisipasi kurikulum, sektor pembiayaan, dan partisipasi politik ini menjadikan semakin sulitnya langkah untuk merealisasikan dan memperbaiki Tri Dharma PT tersebut.
Penulis memandang sebenarnya untuk menjadi PT berkelas dunia itu bukan tujuan utama sebab hal ini dapat dicapai sejalan dengan tri dharma PT yang dilaksanakan dengan baik. Sesuatu yang jauh lebih penting adalah, bagaimana kita memikirkan esensi pendidikan “memanusiakan manusia” agar tidak hilang.
Hegemoni Kapitalis, Rakyat Nangis
Saat ini UPI menginginkan peringkat universitas di Asia pada kisaran 50–70 terbaik pada tahun 2015. Semangat untuk meningkatkan mutu PT memang perlu diapresiasi, bahkan didukung. Perlu diingat, hanya “semangat”. Tak ada yang salah dengan perjuangan memajukan mutu pendidikan.
Namun, di tengah arus kapitalisme dan liberalisme, institusi pendidikan terpaksa harus berjuang sendiri untuk menyejajarkan diri dengan institusi pendidikan berkelas dunia dan meraih predikat sebagai WCU. Apalagi berdasarkan General Agreement on Tariff and Services (GATS) pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa yang harus diliberalisasi. Dalam pandangan ala Kapitalisme—diungkapkan Prof. Dr. Sofian Effendi—“Pendidikan merupakan salah satu industri sektor tersier yang komoditasnya adalah jasa transformasi orang yang tidak berpengetahuan dan tidak berketerampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan berketerampilan”. Dengan demikian, pendidikan terkesan diperjualbelikan dan sangat bergantung pada kemauan pasar dan berorientasi profit.
Telah kita ketahui bersama, pemerintah mengaku belum mampu membiayai pendidikan secara optimal hingga akhirnya beberapa PT diubah statusnya menjadi BHMN dan terpaksa harus membiayai sebagian kebutuhannya sendiri. Inilah yang terjadi di kampus tercinta kita ini!
Pendidikan pun dijadikan komoditas korporasi. Para pemodal asing menjual ideologi, pandangan hidup, dan nilai – nilai serta memasarkan standar moral yang dianutnya melalui pendidikan yang mungkin saja tidak sejalan dengan karakter dan nilai – nilai yang selama ini dianut bangsa ini.
Penyediaan infrastruktur seperti modernisasi gedung, laboratorium, internet dan penunjang pendidikan lainnya dimaksimalkan guna memenuhi standar ranking. Pemerintah mulai lepas tangan terlihat dari rumusan HELTS yang menyatakan Dikti memberikan otonomi seluas-luasnya pada universitas termasuk dalam hal pendanaan.
Pada akhirnya, masyarakatlah yang akan terimbas karena pendanaan pasti diserahkan pada masyarakat. Terlebih lagi kuota 2,5% mahasiswa asing, mengurangi jatah mahasiswa domestic. Alhasil, beribu-ribu orang mengantri tiap tahunnya memperebutkan bangku kuliah. Ribuan lainnya bahkan tidak sanggup mengantri karena tidak memiliki dana untuk kuliah.
Dengan makin langgengnya kondisi ini, meski puluhan kampus di Indonesia sudah bertaraf internasional tak akan menjamin hal tersebut akan menjadi solusi pada permasalahan bangsa. Padahal, sangat terbuka kemungkinan besar kampus-kampus di Indonesia menjadi WCU “tanpa” melepaskan pijakannya dari tanah air. Lantas, kapan si miskin berhenti meringis dan menangis? Tunggu petaka-petaka lain dalam tren yang membelenggu ini!
* Mahasiswa Jurnalistik Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.