Naluri
Oleh Prita K. Pribadi
Wahai kasih, apakah kamu tahu cerita tentang sang Katak dan Kalajengking? Jika kamu tidak tahu, aku akan ceritakan sedikit tentang mereka.
Pada suatu hari, Katak dan Kalajengking sedang berada di pinggir sungai. Kalajengking itu ingin menyebrang sungai tersebut. Ia pun meminta bantuan kepada sang Katak dan berkata, “Hai Katak! Aku ingin ke tepi darat sana. Bisakah kau antarkan aku menyebrangi sungai ini dengan punggungmu itu?” Sang Katak awalnya ragu untuk menuruti keinginan si Kalajengking karena ia tahu bahwa itu akan menyakiti Katak dengan sengatan perih dari ekornya. Tapi ia berubah pikiran setelah mendengar janji si Kalajengking, “Aku berjanji tidak akan menyengatmu, Katak. Aku akan menahannya,” kata Kalajengking meyakinkan Katak.
Mereka pun mulai menyebrang sungai itu dengan Katak yang menggendong Kalajengking. Tapi apa yang terjadi? Di tengah perjalanan mereka, Kalajengking malah menyengat Katak. Katak pun kesakitan dan sempat bertanya, “Mengapa kau mengingkari janjimu saat aku sedang berusaha melawan takut dari kekuatanmu itu,” katanya merintih. Walaupun begitu, tetap saja pada akhirnya cerita mereka menyedihkan, sang Katak tenggelam bersama aliran sungai karena kesakitannya. Begitupula makhluk darat itu yang ikut tenggelam dengan Katak.
Kau tahu mengapa Kalajengking itu menyengat sang Katak? Apa kau dapat memahaminya bahwa ia tidak bisa menahan naluri alaminya itu? Ya, naluri alami. Karena sekeras apapun ia ingin menahannya, tetapi kenyataannya adalah bukan Kalajengking jika ia tidak menyengat dengan ekornya itu. Sudah “kodratnya”. Lalu bagaimana dengan naluri alami yang aku miliki terhadapmu? Seperti naluri alami, sudah “kodratnya”. Tidak bisa ditahan oleh apapun dan siapapun bahwa aku sudah terlanjur jatuh terlalu dalam terhadapmu, sudah seperti obsesi saja.
Sekeras apapun aku menyangkal
Sekeras apapun aku menghindar
Kenyataannya, aku selalu ingin menjadi kekal
Terhadapmu, aku selalu ingin mengejar
Sedangkan Katak, entah ia terlalu polos atau sekadar nurani yang murah hatinya itu, tetapi ia hanya mempercayai apa yang ia lihat dan apa yang ia dengar. Padahal ia sudah tahu bagaimana perihnya sengatan dari si “naluri alami” itu. Apakah hal itu terlalu bodoh? Jika iya, jangan menertawakan Katak. Apa kau tahu bahwa ada yang lebih bodoh dari hewan yang tidak dibekali akal oleh-Nya itu? Apa kau tahu ada satu hal yang terkesan tertawaan padahal itu jangan. Ia adalah jatuh cinta. Ya, seperti itulah bila manusia yang sedang jatuh cinta. Aku. Aku yang dibekali akal pun sudah seperti lebih dari hewan saja. Tapi inilah perbedaannya: sepenggal cerita hewan yang menderita dengan sepenggal cerita manusia yang memiliki cinta. Tentu saja aku tidak ingin menjadi sia-sia hanya tenggelam dan mati begitu saja seperti mereka. Agar tidak sia-sia kau dapat memiliki cinta seperti apa yang rasa hatiku ini sita. Harapanku, tak ada akhir yang menyedihkan seperti mereka, yang ada adalah keindahan bak bunga yang sedang merekah.
Cerita ada derita,
cinta juga ada derita
Walau derita tetap saja cinta,
itulah cinta dalam cerita.
Wahai cinta,
Sungguh terlalu liar untuk mencinta
Dalam tenggelam,
dalam genggam
Walau dengan kesempatan yang bahaya
Aku ingin tetap menyatu
Walau dengan menjadi sakitnya
Asal aku tenggelam dalam hanyutanmu
Aku rela mengangkut
Aku rela melawan takut
Dengan keegoan… aku ingin menjadi Katak, asal kau Kalajengkingnya, Kasih.
Prita Kartika Pribadi
Mahasiswa Departemen Administrasi Pendidikan UPI ’14