Press Release Bincang Isola ke-5
“Pendidikan haruslah memberikan kesempatan kepada setiap anak-anak anggota masyarakat buat mempelajari sesuatu yang digemari”- Tan Malaka
Bumi Siliwangi, isolapos.com? Pernyataan Tan Malaka tersebut sedikit mengusik benak kita tentang hakikat pendidikan apa yang sedang kita jalani sekarang. Banyak keluhan mencuat tentang sistem pendidikan yang kita anut sekarang. Penuh kekakuan, penuh diskriminasi, tidak kreatif, namun solusi seperti apa yang sebenarnya kita cari?
Teater Terbuka Museum Pendidikan Nasional Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kembali diramaikan oleh diskusi umum Bincang Isola, Jumat (29/04). Kali ini diskusi yang dirintis dan ditukangi oleh Unit Pers Mahasiswa (UPM) itu menyoroti isu Pendidikan Alternatif yang kurang mendapat perhatian lebih dari masyarakat khususnya pemerhati pendidikan dan pemerintah.
Hadir dengan judul “Kreatif dan Solutif di Pendidikan Alternatif” Bincang Isola ke-5 ini tampil dengan aura yang berbeda. Pasalnya narasumber yang datang pun “berbeda,” mereka merupakan perintis dan pengonsep sekolah dan komunitas pendidikan alternatif di Indonesia seperti; Warung Imajinasi (Akil & Noval), Pecandu Buku (Aldi), Sekolah Hijau Lestari (Ningsih), dan Bumi Matahari (Johan).
Aura semangat dan menggebu-gebu dari narasumber tersebut mampu memecah kedinginan yang diakibatkan hujan yang sempat mengguyur Teater yang disebut Teater Kerang itu. Misalnya saja Prapti Wahyuningsih (Mbak Ning) yang menggelorakan yel-yel Sekolah Hijau kepada penonton, wanita itu mengangkat tangan kirinya seperti seorang dirigen di atas pentas.
Mbak Ning memaparkan pengalamannya yang ketir sebagai seorang anak yang hanya lulusan Sekolah Dasar (SD), menurutnya sekolah di Indonesia hanya milik kaum idealis dan yang berduit saja padahal pendidikan bisa saja saling melengkapi satu sama lainnya, Mbak ning mengambil contoh beberapa tenaga pendidiknya yang hanya lulusan SD namun kapabilitasnya dalam mengajar juga tak kalah dengan pengajar yang punya sertifikasi, “Pendidikan itu berbagi,” tuturnya.
Metode Kreatif dan Keluwesan itu Perlu
“Pendidikan adalah pembebasan,” lanjut Mbak Ning seharusnya pendidikan dapat bekerja secara independen seperti yang tercerminkan dalam kurikulum belajarnya yang dia rumuskan sendiri berdasarkan asas Pancasila. Menurutnya generasi ini kurang sensitif terhadap berbagai persoalan maka akhirnya dia membangun Sekolah Hijau Lestari, “Dahulu pahlawan terusik lalu bertindak, sekarang kita terus terusik tapi tetap diam.”
Komunitas Pecandu Buku juga mengalami keresahan yang sama terhadap keengganan masyarakat untuk belajar, misalnya saja kini buku sudah tidak lagi menarik dan sudah dianggap usang. Berawal dari hal tersebut akhirnya mereka mendirikan sebuah komunitas yang mengenalkan kembali pentingnya sebuah buku.
Mengacu kembali pada kutipan Tan Malaka di atas, intinya adalah metode yang akhirnya menggugah kembali ketertarikan masyarakat terhadap pendidikan. Johan dari Bumi Matahari memaparkan kekakuan pendidikan formal secara rinci bahwa ternyata kini siswa terjebak oleh orientasi pada nilai. Sistem guru-siswa yang berkasta dan terlalu timpang juga membuat kegiatan belajar mengajar menjadi tidak dinamis lagi. “Sekolah di Indonesia anak yang bayar, anak yang dirampas keterampilannya. Namun, anak yang dituntut, anak yang dimarahi. Ketika nilainya jelek, kenapa anak dimarahi? Kenapa tidak gurunya?” katanya.
Johan juga mengangkat fenomena kebocoran soal Ujian Nasional yang menurutnya terjadi dikarena tuntutan nilai yang terlalu diistimewakan sehingga peserta ujian terdesak untuk melakukan kecurangan. Untuk membuktikan kesimpulannya tersebut Johan menantang para audiens untuk mengaku telah terlibat atau pernah menyaksikan secara langsung kasus kecurangan tersebut, dan ternyata hampir seluruh audiens mengangkat tangan dan mengaku.
Pendapat itu disetujui oleh Aria, seorang siswa SMA Labschool UPI yang ternyata merasakan hal serupa di kelasnya. Ketika di kelas siswa selalu dicekoki oleh subjek-subjek yang sebenarnya tidak mereka sukai, hal ini menurutnya membuat siswa berpikir dangkal dan terus menjunjung nilai sebagai tujuan hidupnya. Aria sebenarnya menyayangkan sistem tersebut yang pada akhirmya membuat siswa kebingungan dengan keharusan mereka mempelajari semua subjek tersebut padahal hanya beberapa saja yang akan berguna bagi setiap individu. “Apa yang saya dipelajari itu buat apa sih ke depannya? Nah, guru menjawab ya itu buat nilai kamu,” ucapnya.
Karena berbagai macam hal itulah yang juga membuat Warung Imajinasi termotivasi untuk membuat sebuah wadah pendidikan yang luwes dan dinamis dan berbeda dari pendidikan formal. Naufal, salah satu pengonsepnya berujar bahwa inti dari konsep Warung Imajinasi adalah “Akhlak dan Pikiran” yang harus bersinergi. Menurutnya karena pendidikan formal telah mengalami penyamarataan maka kedua aspek ini tidak terpenuhi, “Jika sebuah peradaban itu sudah sangat beradab, maka tidak membutuhkan Perda (Peraturan Daerah),” tambahnya.
Mendukung pernyataan dari para narasumber pendidikan alternatif tersebut?Ketua Departemen Pendidikan Luar Sekolah?Jajat Sudrajat sedikit memaparkan pengetahuannya tentang pendidikan alternatif. “Kita bermitra dengan fenomena pembelajaran alternatif yang terjadi di masyarakat. Bagaimana pendidikan membangun kesadaran, bahwa murid berhak membangun potensi. Teori belajar berbasis pengalaman, maka belajar bukan hanya guru tapi juga siswa,” imbuhnya.
Pendidikan Masih Diskriminatif
“Penyamarataan tidak melihat potensi,” begitu ucap salah satu Guru SMAN 9 Bandung, Iwan Hermawan yang ternyata juga kurang nyaman dengan kekakuan di sekolah formal ia mengambil contoh di sekolah yang tertib dengan berbagai peraturan seperti tata berpakaian namun luput dari fokus pengawalan belajar.
Iwan melanjutkan bahwa masyarakat masih memandang pendidikan alternatif dan pendidikan formal sebagai dua hal yang berbeda. Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 5 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa pendidikan nonformal yang diselenggarakan ditujukan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Yang perlu digarisbawahi di ayat tersebut adalah kesetaraan yang dimiliki oleh pendidikan alternatif sebagai sistem pendidikan yang mempunyai tujuan sama seperti bentuk pendidikan lainnya.
Kesetaraan itu juga ditegaskan lagi pada UU No. 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat 6 yang berbunyi:
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Merujuk pada ayat tersebut Iwan menggarisbawahi bahwa harusnya pernyataan di di UU tersebut bisa bernada lebih tegas lagi karena menurutnya pendidikan formal adalah harus dihargai bukannya dapat dihargai. Karena fakta yang ditemukan di masyarakat menunjukan bahwa mayoritas masyarakat masih memilih pendidikan formal dikarenakan mereka menganggap pendidikan alternatif bukanlah pilihan. Dengan masih berlakunya sudut pandang tersebut, Iwan menduga bahwa telah tejadi diskriminasi dalam pendidikan.
Diskriminasi itu terjadi pada lulusan pendidikan alternatif yang dipandang sebelah mata dan kalah saing dengan lulusan pendidikan formal. Iwan juga menilai sertifikasi ijasah pendidikan alternatif kurang disetarakan dengan pendidikan formal. “Sertifikat tidak payu (laku) untuk bekerja, hanya sebagai pendukung,” tambahnya.
Aria, siswa SMA Labschool mengutarakan pendapatnya mengenai pentingnya pengakuan pendidikan alternatif sehingga pada akhirnya masyarakat punya pilihan dan tidak terjebak pada opsi tunggal. “Pendidikan formal adalah alasan cita-cita saya dibunuh. Saya dijunjung tinggi oleh nilai. Saya masuk di kelas unggulan. Masalah di pendidikan formal adalah penjunjungan tinggi nilai. Jika nilai kamu gak tinggi, nanti kamu akan bisa ke mana- mana. Pendidikan alternatif kurang pengakuan. Saya ingin kejar cita-cita bukan nilai,” pungkasnya.
Pemerintah Harus Lebih Perhatian
Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan (GMPP) yang diwakili oleh Hari Santoni menyatakan bahwa bahwa negara selalu telat membaca keadaan. Menurutnya pemerintah gagal dalam memberikan regulasi unutk perkembangan fenomena yang tumbuh di tengah masyarakat. “Proses kreatifitas di masyarakat tidak bisa terwadahi. Selain itu, pendidikan masih mahal,” tuturnya.
Menurutnya Wali Kota Bandung terkesan enggan memperhatikan pendidikan alternatif, sehingga akhirnya pendidikan terkesan menjadi objek politik. “Jangan sampai masyarakat hanya menajdi komoditas saja untuk kepentingan politis. Pendidikan alternatif adalah pembangkangan terhadap pendidikan formal,” tuturnya.
“Bagaimana cara mengeksplor passion anak-anak? Jangan sampai pendidikan formal meruntuhkan itu semua. Pemerintah harus serius merespon ini semua. Ilmu basic diperlukan, namun jangan sampai eksplornya ketinggalan,” tambahnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Bandung, yang diwakili Eem Sukaemah menukas pernyataan masyarakat yang menuding bahwa pemerintah tidak perhatian terhadap kegiatan pendidikan alternatif. Dia mengaku bahwa pemerintah telah mendukung pendidikan dengan baik dan aturan mengenai pendidikan alternatif telah terstruktur dan terencana oleh pemerintah. “Siapapun yang punya kebutuhan khusus, Dinas Kota Bandung mengakomodir siswa untuk belajar sesuai kebutuhannya. Pemerintah memberikan solusi sesuai UU. Baik formal dan nonformal. Jika anak-anak tidak sesuai dengan pendidikan formal, maka mereka bisa memilih pendidikan alternative,” tuturnya.
Akhir kalimat, Ketua Divisi Dikmas dan Seni Budaya itu pun meminta supaya masyarakat bisa turut menyukseskan pendidikan secara bersama. “Masyarakat Indonesia juga harus belajar, bukan hanya yang formal saja, tapi juga nonformal. Pendidikan soal perubahan sikap dan perilaku, bukan hanya soal nilai. Pendidikan utama adalah di keluarga. Pendidikan harus melibatkan semua kalangan,” pungkasnya.