Meyakini Kemungkinan

464

Oleh: Nurul Yunita

Senja selalu indah setiap aku menatapnya. Langit yang memerah diam-diam larut dengan gemerlap sang malam. Diam-diam menenggelamkan keindahan temaram. Berganti menjadi sinar dalam kegelapan. Hari-hari ketika aku bersamamu ialah senja, indah. Tetapi harus berganti sesuai ketentuan-Nya.

“Sedang apa kamu disini?” tanyamu pada satu kali. Ketika senja itu belum meredup. Jelas aku lihat senyummu itu. Aku pun hanyut tersenyum.

“Mengapa kamu disini?” tanyamu pada hari lain. Aku tersenyum kembali. Kini, senja sudah mulai temaram. Sayup kulihat senyummu, mulai memudar.

“Mengapa kamu disini, lagi?” tanyamu. Nampaknya, hari ini begitu mendung. Senja tak tampak kemerahan lagi. Ia begitu pekat. Mendung ini tampak memancarkan auramu, penuh luka. Sisa tetesan air matamu mencerminkannya, jelas kulihat. Mungkinkah kau sedang bersedih?

Perlahan. Sejenak kemudian, di ujung taman ini, kurasakan titik air hujan mulai jatuh. Menyapa dedaunan, membumi dengan anggun, dan air kolam yang seperti biasa memantulkan kemerahan senja. Sayangnya, aku hanya bisa menatap air matamu yang perlahan ikut jatuh bersama hujan. Menyatu padu, alirannya senada. Hujan terasa membawa berkah bagi bumi, namun tangismu membawaku kedalam luka begitu pedih.

“Ka…. kamu siapa? Mengapa kamu mengikutiku?” tanyamu hari lain, lagi.

Diam. Ingin rasanya aku menjawab. Menyesal rasanya diciptakan seperti ini. Beruntunglah manusia sebelumnya telah membuat alat yang membantuku menerima rangkaian getaran bernada pada gendang telingaku. Sehingga setidaknya dapat aku dengar suaramu. Bunyi palilng indah yang pernah kudengar.

“Mengapa kamu tak pernah menjawab?” tanyamu kali itu.

Ke sekian kali aku tersenyum atas pertanyaanmu. Andai kamu mengerti. Saat engkau berjalan sendiri, selalu aku bantu menyeberangimu lewat jembatan yang menghubungkan taman sederhana ini dengan ruang kelas. Tak bisa aku biarkan kau berjalan dengan tongkat rusakmu itu. Aku tahu dari ceritamu sebelumnya.

Detik memutar waktu yang membuat setiap manusia perlahan berlalu dalam semu. Dengan sendirinya, kamu selalu menyadari hadirku. Mungkinkah atas langkah kakiku? Atau degupan jantungku? Entahlah. Aku tak pernah tahu. Yang aku tahu, aku menyukaimu yang seolah menatapku. Dan mengenaliku.

“Kamu tau bagaimana cara Tuhan mencintai kita?” tanyamu pada suatu senja. Kali ini seperti biasanya, aku tak bersuara. Namun, tetap tersenyum ke arahmu.

“Ia menciptakan bumi. Memang bukan untuk kita berdua saja. Ia menciptakan siang dan malam. Sebagai bagian yang saling melengkapi. Bagi mereka yang hidup dalam kaum mayoritas, mereka menyebut diri mereka normal. Padahal kupikir, bila mereka ialah siang, tentu kita ialah malam. Tak banyak disebut dan direbut, seringkali dilupakan. Namun, apa jadinya mereka tanpa kita? Tentu, sang malam ialah pelengkap. Pasangan bagi mentari, sebagai pelepas lelah sang manusia atas usahanya di siang hari. Tidakkah kamu merasa spesial? Malam sebetulnya lebih indah, kau tau. Mereka lebih beragam dengan taburan bintang. Sedikit manusia menyadarinya,” kisahmu padaku.

“Begitulah kurasa Tuhan mencintai kita,” ucapmu kemudian. Sejak pertama aku menatap senja yang sama di taman ini, aku belajar mengerti ucapmu. Melihat gerak dan perubahan air diparasmu, aku sedang mencoba memahamimu, dengan utuh. Sungguh tak kurang aku bersyukur, bahwa Tuhan dapat mempertemukanku denganmu.

Hanya saja aku berpikir, bagaimana caranya hati kita dapat berjumpa? Padahal indera kita tak saling bertemu. Matamu tak dapat melihatku, dunia ini. Sedang aku, hanya mampu mendengar tak mampu berucap. Kadang turut aku merasakan, kamu pasti penasaran bagaimana warna-warni dunia ini. Sama sepertiku yang ingin sekali tahu bagaimana nada bibirku sendiri.

“Aku suka udara sore di taman ini, sejuk. Aku pasti akan merindukannya,” ujarmu pada satu sore.

Sesaat aku ingin sampaikan kepadamu. Aku rasa, aku menemukan cara agar kamu dapat memahamiku. Lewat surat yang aku tulis dengan hurufmu. Ibu guru membantuku mempelajari huruf itu, braille. Ia tahu, sejak aku datang ke sekolah luar biasa ini, aku selalu menatapmu.

Entah kamu untukku atau bukan. Aku memang tak berpegang pada kepastian, tak juga kutanggapi pengharapan. Namun, aku meyakini kemungkinan. Mungkin saja kamu adalah salah satu ketidakmungkinan yang mungkin saja dimungkinkan.

Seperti senja biasanya, aku menunggumu. Siang tadi, hujan begitu deras. Sisa-sisa air hujan menutup tanah, membuat kubangan kecil di sudut-sudut taman. Aku masih menunggumu, seperti biasanya. Bahkan ketika senja tak hadir dan malam menjelang. Aku masih di taman yang sama. Kupikir, hari itu karena hujan, kamu tak ada. Ironi, hari yang aku lewati selanjutnya ialah menunggumu.

“Kamu tak tahu? Ia sudah pergi. Ibu kira kamu sudah tahu,” ujar bu guru saat selesai aku gerakkan jemariku. Satu-satunya cara aku berbicara untuk mengetahui keberadaanmu.

Akhirnya, aku temui diriku meragu atas keyakinanku pada kemungkinan. Tidak aku gerakan lagi jemariku, tak ingin aku tahu kamu pergi kemana atau untuk berapa lama. Aku yakini: mungkin kamu akan kembali.

Pernah satu kali, aku merasakan pipiku basah karena air mata. Aku menemukanmu dalam lelap. Lambat, hanya melihat bibirmu perlahan bergerak. Kamu menghujaniku dengan kisah-kisah yang membuat diriku mampu bersyukur pada Tuhan. Tidak aku sadari bahwa itu hanya bunga tidur. Kamu tersenyum, dan menatapku. Tatapanmu kali ini berbinar.

“Ruang kelas dan sekolah ini berwarna putih. Jembatan penghubung antara ruang kelas dan taman berwarna abu, tak ada pembatas antar pinggir kolam dan jembatan. Pantas kau membantuku. Taman ini penuh rerumputan warna hijau. Dedaunan itu berwarna coklat. Karena angin, ia berguguran. Air kolam itu tak begitu keruh, hingga pada sore hari kamu dapat melihat pantulan matahari dari situ. Jingga! Hmm…. aku pikir lebih tepatnya kemerahan. Ya! Senja yang kemerahan. Pantas saja kamu selalu kesini, indah sekali,” ujarmu dengan bergitu detail.

Aku hanya tersenyum, entah untuk keberapa kalinya.

“Tentu, akhirnya aku melihat senyummu. Jauh lebih indah dari yang aku bayangkan,” tegurmu. Aku tersenyum lagi. Kemudian kamu membalasnya.

Benarkah ini hanya bunga tidur? Maka, tak bisakah kali ini saja aku bersuara? Ketika suaraku tak juga terdengar, bayangmu justru menghilang.

Hingga kemudian, di hari-hari berikutnya, tak aku temui kau kembali. Engkau hanya ada di dalam pikiranku. Ingatanku tentangmu dan hari-hari lalu tersimpan disana, dalam senja. Jika dengan kata dan jumpa tidaklah aku temui cintaku, maka dengan rindu akan aku sampaikan. Dengan hembusan angin bersama sepi tanpa tepi ini, aku selalu merindumu. Senyummu, kata-katamu. Lamban laun, aku mulai menyadari. Senja yang selalu aku temui setiap hari. Entah mengapa, membuatku semakin merindumu, sekali, dua kali, bahkan beribu kali.

Kamu, ialah ketidakmungkinan yang ingin aku mungkinkan. Dalam doaku. Hingga akhirnya, pada senja aku kembali. Tak sanggup mungkin aku ceritakan pada diriku sendiri. Mungkinkah ada senja yang lebih indah yang kini sedang kau tatap disana?[]

Comments

comments