Lastri
Oleh: Yunita Ayu
Berdiam dalam kamar yang temaram ini membuatku bisa merasakan kesunyian. Detak jarum jam mengajakku menikmati malam. Aroma sisa hujan yang merembas pada sudut dinding kamar yang meninggalkan noda kekuningan, tercium. Aku bahkan dapat meresapinya ketika setiap molekul darah mulai membeku karena kulit yang menempel pada dinding itu.
Susah terlelap membuatku menemui berbagai hal yang ditangkap indra, terutama telinga. Kesunyian seketika hilang saat mendengar ingar bingar di kamar sebelah. Dalam benakku, ingar bingar itu mejelma ibu-ibu yang tawar menawar dengan tukang sayur yang tadi pagi datang. Bising dan tak penting untuk didengarkan.
Aku mencoba kembali memejamkan mata dan tenggelam di bawah lampu yang saat ini dipadamkan. Suara kamar sebelahpun mulai timbul tenggelam. Aku merasa tenang dan kesunyian kembali datang, tapi tidak sendirian. Kini, aku mendengar ingar bingar yang lain, suara jangkrik yang merambat di udara, menyusup lewat celah jendela kamar. Tubuh lelahku yang dilapisi selimut tebal kecokelatan hampir lelap. Namun, raungan kendaraan yang begitu memekakkan muncul dan mengingatkan kisah wanita di ujung jalan sana.
*
Setiap langit berubah jingga, aku selalu melihat seorang wanita yang umurnya sepuluh tahun lebih tua dariku duduk di ujung jalan gang. Aku sering melihatnya ketika pulang kuliah sore hari. Sorot matanya menyimpulkan harapan yang sudah cukup lama tersimpan. Aku tak begitu ingat sejak kapan wanita itu memulai rutinitasnya duduk di bawah pohon di ujung jalan ketika langit berubah kejinggaan.
Orang-orang sudah tak heran dengan tingkah wanita itu. Ada yang bilang dia setengah gila, bahkan gila. Aku tak tahu mereka benar atau tidak. Tapi, aku tahu sedikit kisahnya dari Bu Ani, pemilik warung yang tak jauh dari ujung jalan itu.
“Namanya Lastri. Sebulan lalu ia ditinggalkan kekasihnya, Yanto. Padahal, Lastri sedang hamil muda Neng,” cerita Bu Ani yang sedikit berbisik saat aku membeli telur untuk makan malam.
“Tapi, kenapa setiap sore dia selalu duduk di bawah pohon di ujung jalan itu?” tanyaku penasaran.
“Kata Ibu-ibu di sini, Neng, Yanto berjanji akan kembali pada Lastri untuk tanggung jawab. Jelas, Lastri percaya dan selalu menunggu Yanto setiap sore,” lanjut Bu Ani, juga sambil berbisik.
Aku melihat ke arahnya. Lagi-lagi ke arah matanya yang sendu dan sembab. Rambutnya sesekali tertiup angin sore. Sebenarnya, ia memiliki rupa yang menawan, tapi sayang, tubuh dan wajah eloknya sudah dilupakan oleh empunya.
Lama aku menatap Lastri. Padahal, tugas kuliah di dalam tas telah memanggil-manggilku untuk pergi pulang dan siap-siap begadang dengannya semalaman. Meskipun aku semakin penasaran pada Lastri, tapi aku putuskan untuk menemuinya lagi nanti, esok sore.
Tak disangka. Esok sore tak lagi ada untukku melihat Lastri. Hari itu, hari ketika aku bertanya kepada Bu Ani adalah hari terakhir aku melihatnya. Kini, ia tidak lagi menjadi penanti sang kekasih hati. Sehari setelah hari itu, ternyata ia dibawa oleh Ibunya pulang ke Surabaya, kampung halamannya. Sialnya, aku sedang di taman kota dan tak sempat melihat kepergiannya. Beruntung, Bu Ani bercerita padaku dengan sukarela esok harinya.
“Lastri ngamuk saat diajak ibunya pergi, Neng. Ia lari ke ujung jalan dan langsung memeluk pohon itu. Semua warga berkumpul ke sana untuk membantu. Ibunya Lastri menangis terus meilihat kondisi anaknya,” jelas Bu Ani dengan menggerak-gerakkan kedua tangannya penuh semangat.
“Terus, gimana akhirnya Bu?,” tanyaku tak kalah semangat.
“Lastri pingsan, kelelahan. Hampir dua jam warga membujuk Lastri untuk pergi. Nahas, semua cara yang dilakukan gagal, Neng. Lastri meraung-raung dan menyakiti tubuhnya. Pingsanlah dia. Warga langsung membawanya ke mobil.”
Lastri, wanita dengan segudang teka-teki yang menarik simpatikku. Tidak tahu apa dan kenapa. Sekarang, tak ada lagi Lastri yang duduk di ujung jalan setiap sore menjelang. Lastri yang malang. Sekali lagi, aku melihat lamat-lamat ujung jalan dan ada yang hilang dari pandangan. Langit yang berubah kejinggaan, tak lagi ditemani seorang wanita yang penuh harapan akan sebuah penantian di sana. Lastri telah pergi. Entah kapan ia kembali, ke ujung jalan sana dan menatap dengan syahdu langit jingga penanda senja.
Penasaranku pada Lastri memuncak saat Bu Ani menjelaskan kronologi kepergiannya hari itu. Ada hal yang belum terjawab tentang Lastri, tentang alasannya selalu menunggu Yanto ketika senja tiba. Bisa saja ia menunggu Yanto saat pagi, siang atau malam. Namun, Lastri hanya menanti Yanto pada waktu senja. Hanya saat senja.
Rasanya jawaban yang aku inginkan ada di sana, bawah pohon ujung jalan itu. Aku tinggalkan warung Bu Ani dan melangkah menuju ke sana. Sesekali aku menoleh ke arah warung dan melihat Bu Ani yang keheranan menatapku. Tidak butuh waktu lama, aku sudah berada di tempat Lastri biasa duduk.
Ada perasaan aneh menyeruak saat aku duduk di bawah pohon itu. Aku tidak tahu bagaimana dengan Lastri, apakah dia juga merasakan hal yang sama denganku? Entahlah. Begitu termangu kulihat langit. Langit yang merah menyala, angin yang seolah berbisik di telinga, dan daun-daun yang sedikit basah karena sisa hujan tadi siang jatuh mencium tanah lembab. Ku alihkan pandangan pada pohon yang kokoh di belakang. Ada dua nama yang terukir tajam di sana. Nama Lastri dan Yanto yang terbaca olehku. Mungkin itulah alasan Lastri selalu menunggu Yanto di bawah pohon yang bertuliskan nama mereka. Aku tidak tahu pasti kenangan macam apa yang sudah terekam di antara Lastri, Yanto, Senja dan pohon itu.
Langit yang memerah kembali mencuri perhatian. Damai. Aku pejamkan mataku dan kuhirup oksigen yang begitu segar masuk ke dalam paru-paru. Ternyata, ketenangan sangat kentara di tempat ini. Mungkin itulah yang dirasakan Lastri. Setidaknya, aku yakin ketenangan di bawah pohon di ujung jalan saat langit berubah jingga ini bisa mendamaikan kepiluannya.
Hanya Lastri yang tahu pasti alasannya. Aku harap dia masih bisa melihat langit kejinggaan dengan Yanto dan anak mereka kelak.
*
Aku beranjak dari tempat tidur menuju kotak panjang di sebelah kiri ranjang dan membawa segelas air untuk penghilang dahaga. Kenangan kisah Lastri sudah aku tinggalkan. Ia akan tetap menjadi bagian dari kenangan kisah di ujung jalan. Sayup-sayup paduan suara jangkrik yang merdu, perlahan-lahan mengundang rasa kantuk. Sekarang, aku siap terlelap dengan cepat.[]