Wejangan Manusia Indonesia
Oleh: Yazied Taqiyuddin Ahmad*
*) Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2015
Hiduplah banyak manusia di negara yang tidak sadar ‘tertinggal’ ini, Indonesia negaranya. Ditinggal negara tetangga yang dahulu sama tertinggal, mereka kini telah jauh meninggalkan Indonesia. Bukan salah negara pastinya, manusianya yang salah. Manusia lah yang menentukan hidup mati negaranya. Manusia Indonesia adalah mereka yang lahir dan menginjak kaki di tanah Indonesia dan menikmati segala yang ada di Indonesia.
Manusia yang menyebut dirinya orang tua lalu acuh kepada sakitnya Indonesia. Mereka yang menyebut dirinya rakyat menunggu cekokan kebijakan yang padahal mencekik mereka sendiri. Lalu lahir manusia dengan sebutan pemuda ingusan, kemarin sore masih bau sperma yang kerjanya ngompol dan merengek meminta apa yang menjadi tren manusia lain. Kemudian hadir seolah gagah manusia yang menyebut dirinya pemerintah dengan embel-embel perwakilan rakyat, mewakili rakyatnya merasakan senang, sejahtera dan makmur. Manusia Indonesia dan sakitnya Indonesia.
Natsir membisikan “damailah dengan sejarah…” ke telingaku, aku pemuda ingusan kemarin sore masih bau sperma yang kerjanya merengek. Dalam mimpiku setelah dibisik Natsir, aku bertemu banyak manusia Indonesia yang tidak sakit seperti yang aku sok mengetahui dan cepat menyimpulkan. Kedatangan mereka sepertinya akan memarahiku, pemuda ingusan kemarin sore masih bau sperma yang kerjanya merengek. ternyata bukan.
Manusia pertama yang menghampiriku adalah Kartini. “jangan keluhkan apa yang buruk dalam hidupmu, Tuhan tidak pernah memberikannya, kamulah yang mendatangkannya.”, maka seharusnya manusia adalah memperbaiki apa yang telah dibuat buruk oleh mereka sendiri. Kemudian Soekarno datang dan menggenggam pundakku lalu berkata “Tenagamu, tenagamu, tenagamu, jiwamu, semangatmu, kesediaanmu berkorban, laksana hendak kumasukan kedalam badanku ini, supaya aku sendiri mendapat kekuatan berjuang untuk melaksanakan cita cita kita!”. Bau sperma di tubuhku lama lama hilang. Sadar akan menjadi manusia Indonesia dengan sebutan pemuda.
Buya Hamka merangkulku dengan lembut berkata “bebanmu akan berat, jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!”. Sekilas aku membalas tatap dan senyum manusia lain. Aku lihat Kartini yang lusuh bajunya karena perjuangannya, Soekarno yang sepatunya kotor setelah berjalan jauh, Buya Hamka yang koko putihnya mulai kecoklatan. Mereka manusia Indonesia yang sadar akan sakitnya Indonesia, tapi tidak diam akan hal itu. Mereka berbenah dan menyembuhkan luka Indonesia. Lalu aku apa? aku terdidik tapi apa? aku pemuda lalu bagaimana?
Wejangan manusia Indonesia lainnya terus mengahampiri dan menyadarkan. Mereka menguatkan. Ada Tjokroaminoto, menitipkan surat kepada Natsir untukku, isinya “adalah dua perkara yang mesti ada padamu, sebagai daya upaya pokok guna mencapai kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat. Dua perkara ini adalah Agama dan Kepandaian Ilmu.” lalu Budi Utomo setengah berteriak dari belakangku “Negri kita kaya, kaya raya, saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia!”. Terdengar juga suara Muh. Hatta, Tan Malaka, Jendral Sudirman dan Manusia Indonesia lainnya yang terus berusaha menyadarkan dan membangunkan agar aku menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Aku untuk Indonesia, karena aku manusia Indonesia.
Aku untuk Indonesia. Aku ingin mengubahnya. Dimulai dari tidak ngompol dan merengek. Mengubah diri sendiri. Aku ingin semua manusia Indonesia sadar akan pentingnya Indonesia bukan sebagai negara saja tapi bangsa. Aku ingin Indonesia yang memanusiakan manusia, maka aku akan membuatnya seperti yang Kartini bilang. Aku untuk Indonesia.