HIMA PKh Gelar Diskusi, Pertanyakan Klaim UPI Kampus Ramah Disabilitas
Oleh: Savitri Rahmadhanti dan Fathimah Ghaida Nafisa
Bumi Siliwangi, Isolapos.com– Rabu, (04/09) HIMA Pendidikan Khusus (PKh) Fakultas Ilmu Pendidikan Bidang Sosial dan Politik mengadakan SUNYI (Sumbang Solusi dan Opini) yang mengkaji dan mengkritisi pernyataan “ramah disabilitas” yang diklaim oleh TV UPI pada MOKA-KU 2024. Acara SUNYI ini mengangkat isu aksesibilitas yang masih harus ditingkatkan di UPI dalam menciptakan lingkungan yang inklusif untuk semua.
Pada diskusi kajian tersebut, Hani Afiqah selaku pemantik menyatakan bahwa dalam kegiatan MOKA-KU masih banyak mahasiswa disabilitas yang belum terjaring oleh pendamping khusus, pihak Humas UPI pun melakukan penjaringan dengan meminta data melalui HIMA Pendidikan Khusus. Hal tersebut bertolak belakang dengan pernyataan “ramah disabilitas” yang diklaim UPI dalam TV UPI, karena dari segi penjaringan dan pendataan pun belum dilakukan secara maksimal.
Monalisa, salah seorang mahasiswa Pendidikan Khusus angkatan 2024 menceritakan pengalamannya di hari Ke-2 MOKA-KU yang berada di lingkup Fakultas, “Saya sebaris dengan teman saya yang memiliki disabilitas, low vision dan totally blind. Pada saat itu diperintahkan bahwa yang memiliki pita hitam harus berada di belakang. Saat itu teman saya yang totally blind tidak bisa mengangkat tangannya karena dia nggak kelihatan. ”
“Panitia itu kan harusnya sudah tahu di mana aja, sudah survei dia diletakan di mana jika memang mereka sudah benar-benar survei kelompok siapa aja yang punya anggota disabilitas,” ucap Monalisa. “Saya juga bingung kenapa panitia nggak bersedia di belakang atau di depan mengawasi dia.” Tambahnya.
Siti, yang berkuliah di jurusan Tata Boga UPI, memberikan pendapat terkait hal tersebut dibantu oleh Juru Bahasa Isyarat. “Harusnya panitia itu harus tahu gitu ya, tempat posisi tuna netra atau tempat posisi tuli. Itu sudah diatur sedemikian rupa, supaya bisa diklasifikasikan disabilitasnya berdasarkan kebutuhannya masing-masing, jadi tidak asal dicampurkan dengan barisan mahasiswa umum”. Menurutnya, pihak panitia pun juga penyelenggara MOKA-KU bisa melakukan diskusi terlebih dahulu dengan melibatkan mahasiswa disabilitas agar dapat menunjang kebutuhannya selama MOKA-KU berlangsung.
Sejalan dengan itu, Ramdan yang merupakan pendamping tunanetra juga menceritakan pengalamannya saat mendapingi calon mahasiswa UPI dengan ketunanetraan dalam Seleksi Mandiri. “Ketika itu saya langsung ngobrol sama pengawas ruangannya, nanya bahwa ini teknis ujiannya gimana. Dia bilang ini ujiannya base paper, sedangkan teman-teman tuna netra ketika dikasih psikotest dan bentuknya base paper itu bagaimana cara mereka untuk mengaksesnya gitu.”
“Menurut saya bahkan bukan hanya MOKA-KU nya yang tidak ramah disabilitas, semuanya memang belum. Dari mulai penerimaan saja itu sudah ketahuan bahwa tidak adanya kesiapan untuk menerima di tahun sekarang.” Tutup Ramdan.
Tak hanya Ramdan yang mempertanyakan klaim ramah disabilitas. Naura, mahasiswa Pendidikan Khusus, menyebutkan motivasi hadirnya klaim seperti itu hanya karena UPI menerima mahasiswa disabilitas dan adanya jurusan Pendidikan Khusus. Apabila karena fasilitas, Naura merasa pengadaan sarana dan prasarana penunjang disabilitas belum sesuai dengan regulasi pemerintah.
“…Kalau misalkan kita lihat dari segi fasilitas, itu masih jauh dari kata aksesibilitas pun. Kalau misalkan ada guiding block, ada ram, ada toilet disabilitas, ataupun ada lift dengan lengkap suara dan braille. Tapi pengadaannya pun belum sesuai dengan regulasi dari pemerintah yang seharusnya sudah sesuai dengan standarnya,” jelasnya di dalam forum.
Selesai acara, Hima PKh mengeluarkan press release yang berisi tuntutan agar UPI benar-benar dalam menjalankan tugasnya. Adapun isi tuntutannya:
- Pengenalan inklusif, aksesibilitas, dan peran bagi mahasiswa disabilitas di lingkungan UPI.
- Unit Layanan Disabilitas yang benar-benar hadir dan berjalan di UPI.
Redaktur: Harven Kawatu