Melihat Pemberangusan Buku Lewat Film “The Attorney”

34

Oleh: Nabil Haqqllah

Judul film: The Attorney

Tahun rilis: 2013

Sutradara: Yang Woo-suk

Pemeran: Song Kang-ho, Kim Young-ae, Oh Dal-su, Yim Si-wan, Kwak Do-won

Durasi: 127 menit

Berlatar di Korea Selatan pada tahun 1981, “The Attorney” menceritakan seorang mantan hakim bernama Song Woo-seok (Song Kang-ho) yang pindah ke Busan untuk mendirikan sebuah firma hukum. Kedatangan Woo-seok ke Busan dipandang rendah oleh pengacara-pengacara lain karena ia hanya lulus sekolah advokat tanpa berkuliah. Meski begitu, firmanya tetap laku karena ia mengambil klien dengan urusan real estate dan pajak, ketika biasanya pengacara lain tidak mengambil klien seperti itu. 

Di sisi lain, otoritas keamanan memerintahkan Cha Dong-yeong untuk memata-matai sebuah klub baca mahasiswa di Busan dan menangkap mereka dengan tuduhan komunis. Salah satunya adalah Park Jin Woo (Yim Si-wan), seorang aktivis mahasiswa yang tergabung dalam sebuah klub buku. Park sendiri adalah putra dari nyonya Soon-ae (Kim Young-ae), pemilik restoran langganan Woo-seok sejak lama. 

Ditangkapnya Park Jin Woo dan teman-temannya dengan cara diculik dan tanpa surat penahanan, membuat Woo-seok memutuskan untuk mengambil kasus ini. Woo-seok sendiri belum pernah menangani kasus UU Keamanan Nasional yang dipakai untuk mengadili Jin Woo dan aktivis mahasiswa lainnya. 

Woo-seok pun harus menghadapi proses pengadilan yang tidak seimbang. Hal itu terlihat ketika hakim dan jaksa penuntut terlihat kongkalikong. Kemudian, terduga pelaku masuk ke ruang sidang dengan kondisi diikat dan tidak disediakan kursi untuk duduk. Selain itu,  para keluarga mahasiswa dicegah untuk hadir di dalam ruang sidang. 

Meski peradilan tidak seimbang karena diwarnai intimidasi dan ancaman, Woo-seok tetap mencoba membuktikan bahwa para mahasiswa tidak melanggar undang-undang. Mulai dari membuktikan bahwa tuduhan jaksa tidak berdasar karena menyatakan barang bukti berupa buku “What is History” karya E.H Carr—buku bacaan wajib mahasiswa sejarah semester 1— sebagai buku komunis. Tuduhan Jaksa bahwa E.H Carr seorang komunis karena ia tinggal di Uni Soviet. Hal tersebut memberikan celah bagi Woo-seok untuk membalikkan keadaan. Kemudian, Woo-seok menunjukkan surat balasan dari kedutaan besar Inggris yang menyatakan bahwa E.H Carr adalah orang Inggris yang pernah bekerja sebagai diplomat dan bukunya adalah buku sejarah.

Woo-seok ingin membuktikan bahwa pasal UU Keamanan Nasional yang digunakan oleh jaksa tidak dilanggar oleh Jin Woo. Sebaliknya, negara justru telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terhadap warga sipil ketika para aktivis klub baca tersebut terus disiksa dan dipaksa mengaku sebagai komunis. 

“The Attorney” sendiri mengangkat kisah nyata dari kasus Burim yang terjadi di Busan. Kasus Burim merupakan kasus penangkapan sewenang-wenang terhadap 22 orang anggota klub baca. Atas nama UU Keamanan Nasional, mereka dianggap melakukan makar dengan barang bukti berupa buku-buku yang mereka baca dan diskusikan. Buku-buku yang disita dianggap sebagai buku komunis dan anggota klub baca juga dituduh menganut dan menyebarkan komunisme.

Saat itu, Korea Selatan di bawah rezim otoriter Chun Doo Hwan menurunkan banyak agen intelijen untuk memata-matai para aktivis, termasuk kalangan mahasiswa. Sejak terbunuhnya Presiden Park Chung Hee dan diambil alihnya pemerintahan oleh Jendral Chun Doo Hwan, rakyat menentang keras dan melakukan gerakan protes di Gwangju. Mereka menginginkan transisi secara demokratis. Salah satu cara agar gelombang protes ini berhenti adalah dengan mengekang kebebasan berkumpul dan berserikat serta menuduh orang-orang yang terlibat aksi protes sebagai komunis.

Pemberangusan buku tidak hanya terjadi di Korea Selatan, tetapi juga negara-negara lainnya. Biasanya kerap terjadi di negara-negara yang tengah dipimpin oleh rezim otoriter. Mereka takut jika beberapa buku bacaan tersebut membuat banyak orang melakukan perlawanan dan gerakan protes menuntut agar rezim otoriter segera turun.

Di Indonesia, aturan pelarangan peredaran buku dimulai ketika UU No. 4/PNPS/1963 disahkan tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum. Selain itu, sempat ada UU No. 5 Tahun 1991 yang memberikan Kejaksaan Agung memiliki wewenang untuk melarang peredaran buku. Kemudian, pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut UU No.4/PNPS/1963 setelah UU tersebut digugat karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 

Meski begitu, pada Desember 2018, kembali terjadi razia buku kiri yang dilakukan oleh aparat di beberapa kota. Selain itu, ormas-ormas juga kerap melakukan razia dan penyitaan buku. Bahkan, baru-baru ini viral video pembakaran buku Najwa Shihab oleh seorang pengguna TikTok bernama Yoga Kevan. Ia melakukannya karena tidak sependapat dengan Najwa, salah satunya menyoal gerakan protes “Peringatan Darurat” pada Agustus lalu. 

Mengkritik dan tidak sepakat, ya, sah-sah saja, tetapi membakar buku itu sudah lain soal. Jelas, apa yang terjadi dalam Kasus Burim, seperti di film “The Attorney” dan juga kasus-kasus pemberangusan buku yang pernah terjadi pada masa lalu jangan sampai terjadi lagi, apalagi di negara kita sendiri.[]

Redaktur: Amelia Wulandari

Comments

comments