Mendidik di Bawah Bayang-Bayang Penjara: Negara yang Gagal Melindungi Guru

51

Oleh: Muhammad Nasrul Rojab*

Setiap 25 November, Indonesia merayakan Hari Guru untuk mengakui peran dan pengorbanan para pendidik dalam membentuk generasi penerus bangsa. Perayaan ini seharusnya menjadi momen kebanggaan, tetapi di tengah berbagai persoalan yang mendera guru-guru di Indonesia saat ini, perayaan ini terasa penuh ironi. Dalam beberapa waktu terakhir, kita disuguhi berita tentang guru-guru yang berakhir di kursi terdakwa atau bahkan dipenjara karena tindakan disiplin yang mereka lakukan dalam menjalankan tugas profesional. Kasus-kasus ini, seperti yang dialami oleh Ibu Supriyani yang didakwa karena dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya yang kebetulan anak seorang polisi, hingga Pak Zaharman Guru SMAN 7 Rejang Lebong mengalami kebutaan setelah diketapel orang tua murid pada Selasa, 1 Agustus 2023 lalu karena murid tersebut ketahuan merokok di kantin sekolah. Hal ini menggambarkan betapa rentannya posisi guru di tengah ketidakjelasan perlindungan hukum.

Pada saat yang sama, ancaman kriminalisasi ini datang dengan konsekuensi yang luas. Tidak hanya bagi individu guru, tetapi juga bagi ekosistem pendidikan secara keseluruhan. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana pembentukan karakter bangsa kini berubah menjadi ruang ketidakpastian ketika para pendidik bekerja dalam bayang-bayang ketakutan akan tuntutan hukum. Para guru harus menimbang-nimbang setiap tindakan disiplin yang mereka lakukan, khawatir bahwa tindakan tersebut dapat dilaporkan sebagai kekerasan dan berujung pada pidana.

Fenomena ini menjadi lebih kompleks ketika kita melihat aspek kesejahteraan guru yang masih belum terselesaikan. Di Indonesia, banyak guru, terutama yang berstatus honorer, harus bertahan hidup dengan gaji yang jauh dari layak. Mereka menghadapi beban ganda, di satu sisi, mereka diminta menjalankan tugas mendidik dengan penuh dedikasi. Di sisi lain, mereka hidup dalam tekanan ekonomi dan ancaman hukum yang terus menghantui. Kesejahteraan yang minim ini menunjukkan ketidakseriusan negara dalam menempatkan guru pada posisi terhormat yang layak mereka peroleh. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa negara masih gagal melindungi serta menyejahterakan guru meskipun regulasi dan kebijakan telah ada? Tanpa langkah-langkah konkret untuk mengatasi berbagai masalah ini, Hari Guru hanya akan menjadi perayaan tahunan yang penuh dengan janji-janji kosong, sementara kenyataan di lapangan tidak berubah.

Paradoks Perlindungan Hukum

Secara normatif, perlindungan hukum bagi guru telah diatur. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1554 K/PID/2013 menyatakan dengan jelas bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan tugas profesionalnya dan mendisiplinkan siswa. Selain itu, pada 2020, PGRI dan Polri menandatangani nota kesepahaman untuk melindungi guru dari tuntutan hukum yang tidak proporsional, tercatat sebagai NK/26/VIII/2022 di kepolisian. Bahkan, Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, khususnya Pasal 40, menegaskan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan dari negara dalam melaksanakan tugas mereka.

Namun, kenyataannya, perlindungan ini kerap tidak dirasakan. Kasus seperti Ibu Supriyani, yang dipenjara karena dituduh memukul muridnya, anak seorang polisi, memperlihatkan bagaimana hukum cenderung memihak pada yang lebih kuat dan terkesan abai terhadap perlindungan yang dijanjikan. Di sisi lain, kasus Pak Zuharman yang kehilangan penglihatannya setelah diserang orang tua murid adalah contoh nyata bagaimana penegakan hukum tidak berjalan seimbang. Meski regulasi ada, tidak ada jaminan bahwa penegak hukum memahami dan menerapkannya secara adil.

Ketidakberdayaan Sistem Hukum dan Penegakan yang Lemah

Salah satu masalah utama dalam melindungi guru adalah lemahnya implementasi hukum di lapangan. Nota kesepahaman antara PGRI dan Polri serta putusan Mahkamah Agung, sering kali tidak dijalankan dengan konsisten. Hal ini mengakibatkan banyak kasus guru yang dituntut secara pidana tanpa mempertimbangkan konteks dan substansi tindakan yang dilakukan. Penegak hukum di tingkat daerah sering kali tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kebijakan perlindungan guru atau enggan menerapkannya karena tekanan sosial dan politis.

Contoh kasus yang mencolok adalah Pak Sambudi ketika 2016, seorang guru yang dipenjara tiga bulan karena mencubit muridnya yang enggan salat. Hukuman ini dijatuhkan tanpa mempertimbangkan bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam rangka pendidikan disiplin. Pengadilan lebih memilih pendekatan legalistik sempit, tanpa mempertimbangkan konteks pendidikan yang lebih luas.

Dampak Sosial: Kriminalisasi yang Menyudutkan Guru

Kriminalisasi guru bukan hanya menghancurkan kehidupan pribadi para pendidik, tetapi juga mengubah iklim pendidikan menjadi penuh ketidakpastian. Guru kini bekerja dalam keadaan tertekan. Takut jika tindakan disipliner yang dilakukan akan berujung di pengadilan. Ketakutan ini menimbulkan efek domino yang menghambat pengembangan karakter siswa dan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Jika guru merasa terancam setiap kali mengambil langkah mendisiplinkan maka proses pendidikan yang seharusnya melibatkan ketegasan dan penanaman nilai moral akan terganggu.

Di sisi lain, kriminalisasi ini menciptakan stigma negatif pada masyarakat. Guru yang seharusnya dihormati dan dipandang sebagai panutan, malah dianggap sebagai pihak yang rentan melakukan kekerasan. Stigma ini merusak relasi antara guru, siswa, dan orang tua, serta mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan itu sendiri.

Kesejahteraan yang Terpinggirkan

Di tengah ancaman kriminalisasi, kesejahteraan guru di Indonesia juga berada pada titik yang memprihatinkan. Guru honorer, misalnya, masih bergulat dengan upah yang jauh di bawah standar kelayakan hidup. Mereka dituntut bekerja dengan kualitas yang sama dengan guru berstatus PNS, tetapi dengan bayaran yang tidak memadai. Hal ini semakin menguatkan kesan bahwa profesi guru tidak mendapat perhatian yang sepatutnya dari negara.

Ketika kesejahteraan rendah, semangat dan dedikasi guru untuk mengajar juga berkurang. Ditambah lagi, ancaman pidana yang membayangi hanya menambah beban psikologis. Bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk mengajar dengan sepenuh hati ketika negara sendiri gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka dan melindungi mereka dari ancaman hukum yang tidak adil?

Membebaskan Guru dari Bayang-Bayang Penjara

Hari Guru seharusnya menjadi momen refleksi kritis, bukan hanya seremoni penuh ucapan terima kasih yang terkesan formalitas. Peringatan ini harus dimanfaatkan untuk menilai sejauh mana negara dan masyarakat benar-benar mendukung dan melindungi para guru sebagai sosok yang menjadi fondasi pembentukan generasi penerus bangsa. Di Indonesia, meskipun telah ada berbagai regulasi, seperti putusan Mahkamah Agung dan nota kesepahaman antara PGRI dan Polri yang bertujuan memberikan perlindungan kepada guru, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perlindungan ini seringkali hanya menjadi teks hukum tanpa implementasi yang nyata. Ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam menjamin rasa aman bagi para pendidik yang menjalankan peran krusial mereka.

Ketidakmampuan negara dalam memberikan perlindungan yang efektif bagi guru bukan hanya persoalan teknis, tetapi cermin dari kegagalan memahami pentingnya peran mereka dalam membangun peradaban. Jika guru harus selalu khawatir akan kemungkinan tuntutan pidana ketika mendisiplinkan siswa maka ruang mereka untuk mendidik dengan integritas dan otoritas akan terus menyempit. Akibatnya, proses pendidikan menjadi sekadar rutinitas tanpa roh pengembangan karakter. Ketakutan ini berimbas pada keberanian guru dalam menerapkan disiplin dan prinsip pendidikan yang sejatinya bertujuan mempersiapkan generasi yang tangguh dan bermoral.

Negara harus hadir lebih dari sekadar dalam bentuk upacara atau dokumen formal. Perlindungan hukum bagi guru harus diimplementasikan dengan pengawasan yang ketat dan kerja sama antarlembaga, termasuk penegak hukum yang mengerti konteks pendidikan. Aparat penegak hukum harus dilatih untuk memahami bahwa peran guru berbeda dengan pelaku kekerasan; mereka bertindak dalam kerangka mendidik, bukan menganiaya. Kegagalan memahami hal ini membuat guru rentan terhadap kriminalisasi yang tidak proporsional dan merusak semangat profesional.

Di sisi lain, peningkatan kesejahteraan guru, terutama yang berstatus honorer, harus menjadi prioritas nyata. Gaji yang layak bukan sekadar hak, tetapi prasyarat bagi kualitas pendidikan yang lebih baik. Guru yang dihargai secara finansial akan lebih termotivasi, memiliki kebebasan psikologis, dan dapat mengerahkan dedikasi penuh dalam mengajar tanpa harus memikirkan pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. John Dewey pernah berkata, “Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup tapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” Jika demikian, kehidupan para pendidik harus dipastikan layak agar mereka dapat menjalankan perannya dengan sepenuh hati

Tanpa langkah-langkah konkret yang melindungi dan menyejahterakan guru, peringatan Hari Guru akan tetap menjadi perayaan yang kosong, penuh dengan janji manis yang tidak diiringi tindakan nyata. Negara harus berkomitmen untuk mengubah wacana menjadi kebijakan efektif, yaitu guru merasa aman, dihormati, dan dihargai. Dengan begitu, pendidikan Indonesia dapat maju bukan hanya secara formalitas, tetapi secara substansial menuju kualitas yang diimpikan.

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Profesi Guru Institut Pendidikan Indonesia Garut, yang aktif dalam isu-isu pendidikan dan sosial. Memiliki latar belakang di bidang pendidikan, ia tertarik pada topik-topik yang berhubungan dengan hak asasi, kebijakan pendidikan, dan perlindungan guru di Indonesia.

Comments

comments