RUU TNI, Pendidikan, dan Guru

90

Oleh: Ghina Rohadiatul Aisyi*

Pada 20 Maret 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Salah satu pasal kontroversialnya adalah memperbolehkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di 14 lembaga negara tanpa harus mengundurkan diri dari dinas militernya.

Lembaga-lembaga tersebut meliputi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut, Kejaksaan, Mahkamah Agung, Badan Intelijen Negara, Dewan Pertahanan Nasional, hingga Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Ketentuan ini langsung memantik kritik dari berbagai kalangan karena dianggap membuka kembali pintu dwifungsi ABRI, praktik politik Orde Baru yang telah dihapus sejak awal era reformasi (Tempo, 2025).

RUU ini disahkan dalam waktu yang sangat singkat. Prosesnya cepat, minim partisipasi publik, dan jauh dari pengawasan kritis. Kontras dengan itu, kebijakan untuk sektor krusial seperti pendidikan justru sering tertunda, terbengkalai, bahkan dilupakan.

Contohnya terjadi di Kabupaten Nias. Pada 22 Januari 2025, Komando Distrik Militer (Kodim) Nias menugaskan seorang prajurit TNI untuk mengajar di SDN 078481 Dusun III, Desa Laowo Hilimbaruzo. Sekolah itu kekurangan guru karena akses yang sulit ditembus. Meskipun niatnya baik, kehadiran tentara di ruang kelas mengungkap realita pahit: negara gagal menjamin hak pendidikan di wilayah terpencil (Metrotvnews, 2025).

Ironisnya, Indonesia justru tidak kekurangan calon guru. Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI), lebih dari 11 juta mahasiswa terdaftar sebagai lulusan sarjana pendidikan. Namun, banyak lulusan pendidikan memilih jalan lain. Salah satu alasannya: gaji guru, khususnya guru honorer, masih jauh dari layak.

Di daerah terpencil, gaji guru honorer bahkan hanya mencapai ratusan ribu rupiah per bulan. Di kota besar, upahnya sedikit lebih baik, sekitar dua hingga tiga juta rupiah—itu pun sering tanpa kepastian status kerja atau jaminan sosial yang memadai (Tirto.id, 2024).

Sementara itu, pengangkatan guru ASN dilakukan terbatas, dan distribusi tenaga pendidik pun tidak merata. Guru enggan ditempatkan di daerah terpencil karena fasilitas yang buruk, upah yang rendah, serta tidak adanya jaminan karier yang jelas.

Dalam situasi seperti ini, mengirim prajurit TNI ke sekolah bukan solusi jangka panjang. Tentara bukan dididik untuk mengajar, melainkan untuk mempertahankan kedaulatan negara. Mengalihfungsikan TNI untuk mengisi kekosongan struktural negara justru mencerminkan kegagalan perencanaan kebijakan sipil.

Terlebih, saat prajurit bisa merangkap jabatan sipil tanpa keluar dari dinasnya, kekhawatiran akan terjadinya konsolidasi kekuasaan militer menjadi masuk akal. Ruang sipil bisa terancam, pengawasan demokratis terhadap institusi militer melemah. Semua ini tidak sejalan dengan semangat reformasi yang berusaha membatasi peran militer hanya dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Mengapa negara begitu cepat bergerak saat menyusun dan mengesahkan RUU TNI, tetapi lamban dalam menyusun kebijakan untuk menyejahterakan guru dan memperbaiki pendidikan?

Pertanyaan ini relevan untuk direnungkan. Pendidikan adalah tulang punggung masa depan bangsa. Namun, selama ini ia seolah tak pernah dianggap genting. Pemerintah seakan-akan lupa bahwa tanpa pendidikan yang merata dan bermutu, tidak akan ada generasi yang mampu menjaga negara ini, apalagi membangunnya.

Apa jadinya Indonesia jika setiap sekolah yang kekurangan guru hanya dibiarkan diisi oleh militer? Apakah ini bentuk solusi atau sekadar penambal darurat dari sistem pendidikan yang kolaps?

Anak-anak di desa terpencil sama pentingnya dengan anak-anak di kota besar. Mereka berhak mendapat guru terbaik, ruang belajar yang layak, dan sistem pendidikan yang memanusiakan mereka. Tanpa guru dan pendidikan yang layak, apa jadinya Indonesia nanti?

Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jerman FPBS UPI

Comments

comments