Menjaga Tradisi, Melawan Stigma: Koeksistensi Syiah Sunda Kabuyutan di Gegerkalong

350

Oleh: Jennifer Norine dan Haura Nurbani

Gegerkalong, Bandung – Elsa (bukan nama sebenarnya) masih ingat betul suasana mencekam menyusul viralnya video ritual peringatan Asyura oleh kelompok Syiah Sunda Kabuyutan yang dituduhkan berlangsung di Masjid Nurul Falah, Gegerkalong, Kota Bandung pada 2023 lalu. Banyak sekali pesan berseliweran di platform WhatsApp yang diteruskan berkali-kali. Ada yang berupa informasi saja, tapi tidak juga sedikit narasi yang menakut-nakuti.

“Ada yang bilang dapet info dari tentara: di situ supaya hati-hati dan jangan jawab kalo ada yang nanya udah salat atau belum, soalnya tujuan mereka bukan mau ngajak buat ikut ke aliran mereka, tapi mau nyandra kita biar polisi ngelepasin temen-temennya yang udah ketangkep duluan. Terus juga ada bc-an yang bilang kalo ada yang ngetok pintu kosan jangan dibuka dulu dan dihimbau buat ga keluar kosan dulu,” tutur Elsa, salah seorang mahasiswa yang tinggal indekos di sekitar lokasi. 

Elsa sendiri mengaku belum pernah beribadah di Masjid Nurul Falah. Salah satunya memang karena rasa khawatir yang muncul akibat anggapan bahwa masjid tersebut merupakan masjid kelompok Syiah. Sejak video viral dua tahun lalu, dia bahkan merasa perlu berjalan lebih cepat setiap kali melewati masjid tersebut. Ada semacam “rasa takut”.

Tidak hanya Elsa, banyak mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kala itu membincangkan viralnya video ritual perayaan Asyura tersebut. Stigma negatif dan pelabelan sesat disematkan ke kelompok Syiah dan Masjid Nurul Falah. Bahkan hingga kini, dua tahun setelah peristiwa tersebut, stigma masih ada dan banyak ditemui di kalangan mahasiswa.

“Adik tingkat juga pada tau kejadian itu dan sama: nganggep juga kalo semisalkan masjid Nurul Falah tuh masjid Syiah,” ujar Elsa.

Yusuf Bachtiar, pupuhu Kabuyutan Dayeuh Luhur Gegerkalong yang akrab disapa Abah Yusuf, memastikan ada informasi keliru dalam video viral tahun 2023 tersebut. Kegiatan perayaan Asyura tidak dilakukan di Masjid Nurul Falah, melainkan di gedung yang terletak di depan masjid. Penolakan perayaan Asyura, menurut Abah, dilakukan setelah kegiatan selesai. Bukan seperti yang diklaim para oknum bahwa merekalah yang membubarkan perayaan tersebut.

“Teriak-teriaklah (mereka) pakai megaphone, ya mengundang kegaduhan masyarakat, supaya didukung masyarakat. Sedangkan masyarakat di sininya mah diem, ya gimana,” katanya. 

Menanggapi video viral yang menyeret nama Masjid Nurul Falah sebagai masjid Syiah, Ketua Bidang Idaroh DKM Nurul Falah, Nanang Saiful Anwar, secara tegas membantahnya. Mereka bukan merupakan bagian dari Syiah maupun Kabuyutan. Masjid Nurul Falah merupakan Ahlus Sunnah Wal Jamaah tanpa adanya taqiyah (penyembunyian keyakinan). Nanang menyayangkan persepsi salah yang beredar di media sosial. Bersama pengurus lain, ia terus berupaya untuk memberikan penjelasan kepada siapa pun yang datang bertanya.

“Kami ini murni segala jemaah. Bukan bagian dari Kabuyutan, bukan bagian dari Syiah,” ucapnya. 

Menanggapi pelabelan sesat, Wakil Ketua Umum MUI Kota Bandung Asep Saeful Muhtadi menegaskan bahwa MUI tetap mengakui bahwa Syiah sebagai penganut Islam dengan paham yang berbeda. Mereka tidak menetapkan bahwa Syiah sudah keluar dari Islam atau tidak.

“Tapi (kami) kan tidak mengklaim bahwa itu sudah keluar Islam atau tidak keluar Islam, nggak. MUI itu tetap saja mengakui bahwa itu sebagai penganut Islam, tapi Islam yang pahamnya berbeda,” tuturnya.

Mempertemukan Adat dan Ajaran Agama

Kelompok Syiah Sunda Kabuyutan adalah sebuah entitas keagamaan unik di Gegerkalong yang memadukan ajaran Syiah dengan tradisi budaya Sunda. Komunitas ini sudah ada sejak lama dan terdaftar sebagai masyarakat adat yang melestarikan kebudayaan Sunda di Dinas Kebudayaan sejak tahun 2017. Dipimpin oleh Abah Yusuf, generasi kelima Kabuyutan, kelompok ini menganut ajaran “12 karomah” atau “12 imam,” yang dalam Islam merujuk pada keyakinan Syiah Imamiyah Dua Belas Imam.

“Kalau agama leluhur adalah Muhammadin, jadi ageman ka Muhammad, ageman nya adalah 12 karamah, 12 imam, awwalun Ali wa akhiirun Mahdi,” tutur Abah Yusuf.

Pada video yang sempat viral 2 tahun lalu, kegiatan perayaan Asyura dilakukan oleh kelompok Syiah Kabuyutan bersama dengan Syiah Huseiniyah yang sama-sama berada di Gegerkalong, Bandung. Abah Yusuf menjelaskan bahwa terdapat perbedaan ritual peringatan Asyura yang dilakukan oleh kelompok Syiah Kabuyutan dan Syiah Huseiniyah. Perbedaan tersebut terletak pada ritual ratapan dan rangkaian kegiatan peringatan Asyura. Kelompok Syiah Huseiniyah yang ajarannya menginduk kepada Iran melakukan ritual ratapan dengan menepuk-nepuk dada, sementara kelompok Syiah Kabuyutan melakukan ratapan dengan debus sebagai bentuk kesedihan atas wafatnya Husein, cucu Nabi SAW, di perang Karbala.

Meskipun terdapat perbedaan ritual, doa yang dipanjatkan oleh kedua aliran tetaplah sama. Hanya, jemaah Syiah Kabuyutan menggunakan bahasa Sunda. Lagi-lagi ini menunjukkan akulturasi dengan budaya lokal, selain ziarah ke makam para leluhur sebelum perayaan. Kegiatan adat budaya yang dilakukan menjadi salah satu sarana bagi kelompok Syiah Kabuyutan untuk mengingat leluhurnya.

Meski terdapat perbedaan-perbedaan antara kelompok Syiah Kabuyutan dengan Syiah Huseiniyah, mereka tetap menjalin hubungan yang baik tanpa tindakan diskriminatif. “Ya dengan mereka biasa. Ga ada apa-apa, gak pernah gimana-gimana,” kata Abah Yusuf.

Upaya Menghadapi Stigma

Penolakan terhadap kegiatan peringatan Asyura yang viral di media sosial pada 2023 lalu bukanlah tindakan diskriminasi pertama yang dialami oleh Syiah Kabuyutan. Merujuk penelitian Sakinah Salma Zahirah yang berjudul “Model Akulturasi Budaya Kelompok Agama Minoritas dalam Menghadapi Stigma Sosial: Studi Etnografi pada Anggota Komunitas yang Beragama Islam Syiah di Kabuyutan Gegerkalong” yang terbit tahun 2019, diketahui bahwa tindakan diskriminasi berupa penggerebekan kegiatan pengajian muslim Syiah di rumah warga oleh aparat pernah terjadi pada tahun 2017. Keberadaan Syiah dianggap meresahkan warga.

Salah satu stigma negatif tentang Syiah yang kencang beredar di masyarakat di antaranya berupa anggapan bahwa kelompok ini menuhankan dan menyembah Ali bin Abi Thalib. Dalam penelitiannya, Zahirah (2019) menyebut stigma lain yang ditimpakan secara spesifik ke kelompok Syiah Kabuyutan adalah anggapan bahwa mereka bukan merupakan bagian dari Islam karena menggunakan kitab suci dan hadits yang berbeda.

“Jadi kalau kembali ke ageman, ada orang yang menuduh Abah ini Sunda Wiwitan, ada yang menuduh Syiah. Kalau agama leluhur adalah Muhammadin, jadi ageman ka Muhammad,” tutur  Abah Yusuf.

Komunitas Syiah Kabuyutan Gegerkalong tidak tinggal diam menghadapi stigmatisasi. Merujuk penelitian Zahirah (2019), mereka di antaranya memberikan penjelasan mengenai nilai-nilai ajaran Syiah Kabuyutan lewat diskusi dan dialog, menekankan persamaan saat berdakwah, meningkatkan visibilitas terkait pemahaman mengenai kemuliaan Ali bin Abi Thalib dengan cara memberikan contoh akhlak yang baik, serta melakukan taqiyah saat berada di lingkungan dengan mayoritas pemeluk Islam Sunni.

Kelompok Syiah Kabuyutan secara tekun menjelaskan makna tersirat yang terdapat pada setiap makhluk hidup ciptaan Allah. Selain itu, mereka juga menjelaskan nilai dan norma melalui penjelasan makna yang terdapat pada simbol-simbol sebagai upaya untuk membentuk dan membangun kesepahaman antar masyarakat. Nilai keagamaan yang dikaji dan dilebur dengan nilai kebudayaan merupakan upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi stigma dan perbedaan dari segi keagamaan, dan lebih menonjolkan nilai kesamaan pada segi kebudayaan.

Dijelaskan Abah Yusuf, tidak pernah ada tindakan intoleran atau pun diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar terhadap kelompok Syiah Kabuyutan. Kelompok Syiah Kabuyutan hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Tindakan intoleran biasanya datang dari luar masyarakat Gegerkalong. Termasuk dalam kasus viral penolakan peringatan Asyura pada tahun 2023. 

Selain menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar, kelompok Syiah Kabuyutan pun memiliki hubungan yang baik dengan umat lintasagama. Mereka kerap kali menghadiri undangan acara-acara yang diselenggarakan oleh umat-umat lintasagama. Begitupun sebaliknya, kelompok Syiah Kabuyutan selalu mengundang umat lintasagama untuk menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh Kabuyutan. Dengan begitu, terjalin hubungan timbal balik.

Wong Abah dengan berbeda agama juga biasa. Ada dengan Buddha, dengan Hindu, karena agama itu keyakinan di dalam,” ujar Abah Yusuf.


Syiah Kabuyutan dan Masjid Nurul Falah dalam Harmoni Beragama

Hubungan kelompok Syiah Sunda Kabuyutan dengan Masjid Nurul Falah memiliki akar sejarah yang cukup panjang. Keluarga Abah Yusuf merupakan salah satu pendiri masjid Nurul Falah. Ayah Abah Yusuf bahkan pernah menjadi ketua DKM Nurul Falah hingga sekitar tahun 2000-an, sebelum akhirnya Abah Yusuf memilih untuk tidak lagi meneruskan dan menduduki posisi tersebut.

Ikatan sejarah yang kuat membuat kelompok Sunda Kabuyutan masih tetap berkegiatan di Masjid Nurul Falah. Salah satu jejak peran Abah Yusuf  dan orangtuanya dalam membangun masjid Nurul Falah ditemukan dalam ukiran nama-nama 12 imam yang diyakini oleh Syiah Kabuyutan yang ada di pagar besi di lantai 2 masjid.

Ukiran nama salah satu Imam dari 12 Imam yang diyakini oleh kelompok Syiah Kabuyutan Gegerkalong (Isolapos/Zar)

Meskipun memiliki hak dan ikatan historis yang kuat dengan Masjid Nurul Falah, Abah Yusuf dan kelompoknya memutuskan untuk tidak lagi mendominasi pengelolaan masjid. Mereka hanya menggunakan masjid seminggu sekali, yaitu pada malam Selasa, untuk kegiatan pengajian dan tawasulan.

Kegiatan tawasul dimulai dari bada isya sampai sekitar pukul 22.00 WIB, diawali dengan kajian keislaman oleh pupuhu Kabuyutan Gegerkalong, Abah Yusuf Bachtiar. Menyusul kemudian, pembacaan salawat kepada Nabi serta tawasul. Pada tawasul ini, para Nabi, istri para Nabi, malaikat-malaikat, para Imam, tokoh-tokoh Islam, leluhur, serta para pahlawan Indonesia turut disebutkan. Setelah tawasul, dilakukan pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh Abah Yusuf, sebelum ditutup dengan makan bersama. 

Kegiatan tawasul di masjid Nurul Falah yang dilaksanakan setiap malam Selasa oleh kelompok Syiah Kabuyutan Gegerkalong (Isolapos/Jennifer)

Penggunaan masjid Nurul Falah sebagai tempat pelaksanaan pengajian dan tawasul setiap malam Selasa disebut sebagai “pinjam tempat”. Keputusan ini merupakan bagian usaha untuk menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar. Abah Yusuf menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi dari warga lokal terhadap kelompoknya. “Kalau warga di sini nggak pernah,” ujarnya. Ia juga menambahkan,

“Kalau sama warga masyarakat sekitar mah kayak berhubungan baik aja ya dengan biasa ya biasa,” tuturnya.

Jemaah yang turut menghadiri kegiatan tersebut datang dari berbagai kalangan usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.  Beberapa di antaranya, karena datang dari jauh, sengaja menyewa kendaraan.

“Saya bukan orang sini, sengaja ke sini nyewa angkot, rombongan bareng yang lain, rutin ikut tawasul di sini. Kalau nanti hari Minggu ini sama anak-anak yang lain mau ikut silat di Padepokan Kabuyutan. Katanya mau dirutinin lagi jadi sebulan sekali,” ucap salah satu jemaah.

Sudah sejak lama komunitas Sunda Kabuyutan dikenal memiliki padepokan bela diri yang aktif. Berbagai kalangan masyarakat umum ikut berlatih. Padepokan ini menjadi salah satu daya tarik komunitas, dengan kegiatan yang ramai dan partisipasi yang luas. Filosofi silat Kabuyutan tidak untuk dipertandingkan, melainkan untuk menjaga diri dan mendekatkan diri kepada Allah.

Demikianlah di  Gegerkalong, di tengah beragam dinamika dan stigma negatif yang beredar luas, kelompok Syiah Kabuyutan tetap menjalin hubungan baik dengan masyarakat. Termasuk  memberikan bingkisan lebaran kepada fakir miskin dan umat yang rajin bersalawat.

Di sisi lain, DKM Nurul Falah terus berupaya menjadi pusat kegiatan Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang aktif dan inklusif. Mereka menyelenggarakan berbagai program keagamaan, mulai dari pengajian rutin, zikir, hingga pendidikan DTA. Termasuk program-program bagi anak-anak dengan menggandeng para mahasiswa UPI sebagai relawan pengajar.

Stigma negatif dari media sosial yang mengaitkan masjid Nurul Falah dengan Syiah masih menjadi tantangan. Namun, DKM Nurul Falah dan kelompok Syiah Sunda Kabuyutan menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan tidak harus berakhir pada konflik. Masjid Nurul Falah adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan masyarakat dapat tetap hidup berdampingan dengan damai. 

Hak Konstitusional

Ketua Bidang Kampanye dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Fariz Hamka Pranana, menyoroti jurang antara regulasi yang sebenarnya telah memadai dengan minimnya penegakan hukum di lapangan. Secara hierarkis, dasar hukum kebebasan beragama di Indonesia sudah sangat kokoh, dimulai dari Pancasila, UUD 1945 Pasal 28E ayat 1, hingga Undang-Undang HAM Pasal 4. “Yang menjadi PR itu adalah dalam hal proses penegakannya,” ujarnya.

Menurut Fariz, kelompok minoritas, termasuk komunitas Syiah, kerap merasakan minimnya perhatian hukum. Mereka seringkali berpikir dua kali untuk melaporkan kasus diskriminasi atau penggiringan opini publik karena khawatir akan dampak negatif yang lebih besar. Hal ini kemudian menjadi indikator bahwa pembelaan terhadap hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)  masih jauh dari ideal.

LBH Bandung mengkategorikan stigmatisasi, seperti pelabelan sesat  terhadap komunitas Syiah Kabuyutan, sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Akar masalahnya terletak pada ketidaktahuan masyarakat  yang cenderung mudah dipengaruhi opini, terutama di media sosial sehingga dengan mudah melakukan penghakiman sesat.

Fariz menekankan bahwa negara tidak seharusnya bersikap pasif  terhadap tindakan diskriminasi. Justru ia harus lebih aktif menandingi narasi negatif yang disebarkan oleh oknum atau kelompok mayoritas, alih-alih mengintervensi langsung kegiatan keagamaan. Untuk mencegah stigmatisasi dan intoleransi, edukasi masyarakat adalah tugas fundamental negara.

Secara khusus Fariz menyoroti Jawa Barat yang berdasarkan data masih menjadi salah satu provinsi dengan tindak intoleran terbanyak. Pemerintah daerah harus memberikan atensi serius melalui edukasi masif di sekolah-sekolah dan dinas terkait. LBH sendiri juga berkontribusi melalui kampanye toleransi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak beragama.

“Seharusnya negara tidak boleh berat sebelah tapi melakukan (kebijakan) netral,” tuturnya. “Netral dengan apa? (Dengan) Melihat pada konstitusi yang ada, kan gitu.”

***

Liputan ini dibuat oleh Jennifer Norine dan Rahmah Azzahrah sebagai luaran dari kolaborasi Isolapos.com dan BandungBergerak dalam program Pelatihan Jurnalisme Inklusif Bagi Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda bersama dengan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID).

***

Redaktur: Tri Joko Her Riadi

You might also like