Tausiyah untuk Rektor

95
isolapos.com
isolapos.com

Oleh Yoga Prayoga*

Dalam diskursus ilmu sosial, terutama tentang birokrasi, ada dua perkara yang dituding sebagai biangnya kebobrokan rezim, yakni structure dan person. Silang pendapat atas hal ini, secara otomatis, nantinya bermuara pada perbedaan solusi yang ditawarkan.

Mereka yang berkeyakinan bahwa penyebab kebobrokan rezim adalah struktur, biasanya akan menawarkan perbaikan struktur. Langkah konkretnya berupa, dan diawali dengan, perubahan regulasi, sehingga setting atau relasi kuasa intra lembaga maupun antar lembaga menjadi berubah, dengan harapan bisa mencegah penyelewengan.

Contoh paling mudah atas hal ini, bisa kita temui dalam kasus perubahan sistem kelembagaan, dari yang awalnya tanpa kontrol menjadi penuh kontrol. Misal, pada zaman Orde Baru, ketika pers dibungkam dan kontrol publik sama sekali nihil, kroni-kroni Soeharto bisa dengan leluasa menyelewengkan uang negara. Akan tetapi, pasca jatuhnya Orde Baru dan kran kebebasan pers dibuka, akhirnya kontrol publik hadir, sehingga koruptor jadi malu-malu. Jadi, yang menjadi fokus mereka bukan soal Soeharto-nya, melainkan sistem yang membelenggu kebebasan pers itu. Dengan kata lain, strukturnya, bukan orangnya.

Nah, lain halnya dengan mereka yang berkeyakinan bahwa biangnya kebobrokan rezim adalah person, biasanya akan menawarkan solusi berupa pergantian aktor atau orang. Oleh karena itu, yang mereka kampanyekan pun takkan pernah jauh dari wacana perlunya orang baik untuk memegang jabatan. Dalam kasus Orde Baru tadi, maka fokus mereka ada pada Soeharto-nya, dan bukan sistem yang membelenggu kebebasan persnya.

Lantas, pertanyaannya, mana yang benar di antara semua itu? Teori struktur-kah? Atau teori person-kah? Atau justru keduanya? Mari kita hubungkan antara dua hal di atas dengan sikap kita dalam konteks memperbaiki Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) agar jadi semakin keren.

Apabila kita meyakini bahwa akar bobroknya UPI –hingga tega mencutipaksakan mahasiswa, adalah struktur, maka sepatutnya yang kita desak untuk diubah adalah regulasi yang memayungi kebijakan tersebut. Adapun regulasi yang saya maksud, meliputi Undang-Undang Perguruan Tinggi (UU PT), Statuta UPI, serta aturan turunannya. Untuk bisa mengubah UU PT, maka sarana yang bisa kita tempuh adalah Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk bisa mengubah Statuta UPI, maka sarana yang bisa kita tempuh adalah Legislasi Review melalui Mahkamah Agung (MA). Dan terakhir, untuk bisa mengubah kebijakan-kebijakan yang lahir dari regulasi turunan statuta, maka sarana yang bisa kita tempuh adalah dengan menggugatnya melalui Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN).

Akan tetapi, adakah langkah-langkah di atas telah kita lakukan? Saya pikir NO. Kita masih berdiam diri tanpa upaya mengubah struktur.

Kemudian, sebaliknya, apabila kita meyakini bahwa akar bobroknya UPI, misalnya dalam kasus jual beli nilai, alih fungsi asrama menjadi hotel dan lain sebagainya, adalah person, alias orang, alias manusia, maka yang sepatutnya yang kita lakukan adalah mengganti rezim status quo dengan rezim baru yang kita anggap merupakan ‘orang baik’.

Namun, apakah hal itu telah kita upayakan dalam momen pemilihan rektor kemarin? Saya rasa tidak. Sebab, kita bahkan merupakan civitas academica yang tak punya hak suara, berdasarkan statuta yang kini berlaku.

So, baik bad system maupun bad people, sama sekali belum pernah coba kita berantas.

Tausiyah sebagai Jalan Satu-Satunya

Kini, meski pemilihan rektor telah usai, sesungguhnya kesempatan kita untuk menunaikan misi membuat UPI menjadi semakin keren masihlah ada. Pertama, mengenai Judicial Review, Legislasi Review pun hingga gugatan ke PTUN, atau dengan kata lain, melalui pendekatan struktur, pintunya masih tetap terbuka. Syaratnya hanya satu, asal kita berani dan punya segudang argumentasi yang elegan untuk bisa unggul di dalam persidangan.

Kedua, mengenai pendekatan personalitas. Meski rektor definitif telah terpilih, tapi toh para pembantunya kan belum. Dan ini, memang merupakan hak prerogatif sang rektor baru, yakni Prof. Dr. Furqon Ph.D. Akan tetapi, walau tak mutlak mampu ‘mengultimatum’ beliau, apakah salah bila kita sekedar memberi tausiyah, baik dalam bentuk usulan eksplisit berupa nama, maupun dalam bentuk implisit berupa kriteria dan lain sebagainya, melalui berbagai cara? Saya rasa ini tidak dosa-dosa amat. Bahkan justru berganjarkan pahala berlipat ganda, karena kebetulan sedang dalam hangatnya nuansa ramadhan.

Ya, kawan-kawan UPI Fans Club, dalam waktu dekat ini, saya rasa hal inilah yang paling mungkin untuk kita lakukan. Coba tengok ke waktu yang agak lampau. Ketika Joko Widodo dinyatakan terpilih sebagai presiden secara sah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang kurang memihak pada Kak Jonru, para relawan yang tergabung dalam Jokowi Center lantas menyusun Kabinet Usulan Rakyat (KAUR). Hasilnya apa? Kini kita punya Ibu Susi yang cetar membahana itu.

Atau, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, jika usulan nama dirasa kurang etis alias vulgar, mengapa tak kita usulkan kriteria saja, sehingga Pak Rektor punya rambu-rambu dalam memilah orang yang akan beliau perbantukan? Dan apabila saya sebagai anggota UPI Fans Club yang hampir mengontrak mata kuliah ‘skirpsi’ ini diminta untuk menyusun kriteria-kriteria tersebut, maka kira-kira usulannya adalah sebagai berikut :

REKOMENDASI

Kami seluruh anggota UPI Fans Club, dengan ini meminta kepada Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Dr. Furqon Ph.D, untuk memilih jajaran rektorat UPI mulai dari Wakil Rektor, Dekan, Direktur Kemahasiswaan, hingga jabatan lain yang sekecil-kecilnya, dengan penuh pertimbangan berdasarkan kriteria kecakapan sebagai berikut :

  • Visoner;
  • Jujur;
  • Rajin;
  • Mudah ditelepon; dan,
  • Murah senyum.
  • Atau yang dalam ungkapan keren kurang lebih yakni “Mampu memetakan masalah serta kreatif dalam mencari solusi atas segala permasalahan tersebut”.

Demikian rekomendasi ini disampaikan untuk didengarkan sebagaimana mestinya.

Sekian. Terima kasih.

Nah, kawan-kawan, cukup seperti itu. Tentu kalian mampu merumuskannya dengan kalimat yang lebih baik. Satu hal yang paling penting adalah ini dilakukan. Agar kita tidak terkesan diam. Apalagi dengan konsep ‘REPUBLIK’ yang tersemat dalam struktur organisasi paling agung dalam khazanah kemahasiswaan kita, yakni ‘REPUBLIK MAHASISWA UPI’. Seharusnya kita malu apabila spirit Republikanisme sebagaimana yang diajarkan oleh para mahaguru mulai dari Aristoteles, Cicero, John Locke, Montesqieu, Rousseau, Voltaire, hingga Hannah Arendt, justru nihil di dalam praksisnya. Dengan kata lain, jangan sampai nama resmi kita ini ‘Soleh’, tapi perilaku kita justru senantiasa ‘Salah’.

Maka mari kita lakukan tausiah itu sesegera mungkin dengan cara yang beragam, agar di waktu mendatang, dengan susunan rektorat berdasarkan kriteria yang kita tetapkan. Maka dapat kita pastikan bahwa kampus ini, kebenaran akan selalu dibela, kebaikan akan selalu diutamakan, sehingga  keadilan dapat terus-menerus menang.

*Yoga Prayoga, Mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah UPI Angkatan 2011.

Comments

comments