[RESENSI] Kitab Omong Kosong: Sebuah Makna Suratan Takdir

1,560

 

Judul               : Kitab Omong Kosong

Jenis                : Novel

Pengarang       : Seno Gumira Ajidarma

Tebal               : 446 halaman

Penerbit           : Bentang Pustaka

 

Siapakah itu wanita yang terseok-seok di sebuah rimba? Begitu cantik wanita itu dengan rambutnya yang hitam lebat dan kulitnya yang kuning langsat yang begitu halus. Bagaimanakah takdir begitu teganya menempatkan seorang wanita—yang jika dibandingkan dengan ningrat manapun atau bidadari sekalipun tak mampu menandingi keelokannya—tersesat sendirian dengan keadaan mengandung? Lantas siapa yang dengan tega meninggalkannya sendirian di situ? Sementara siluman pun iba melihatnya.

Wanita itu ternyata istri Sri Rama yang tidak lain adalah Sinta. Nah! Bagaimana bisa seorang Sinta diceritakan bisa bernasib seperti itu, sementara dulu dia adalah wanita yang diperjuangkan Rama ketika diculik Rahwana?

Mungkin pembaca sudah pernah mendengar atau membaca kisah Ramayana yaitu kisah yang menceritakan perjuangan Rama-seorang titisan Batara Wisnu yang berusaha merebut kembali istrinya dari cengkraman Rahwana Sang Raja Raksasa. Singkat cerita biasanya berakhir dengan bahagia dimana akhirnya cinta mereka dipersatukan kembali dan Rahwana sebagai simbol kejahatan dapat ditaklukan oleh kebaikan dan ketulusan. Begitulah citra Rama yang agung dipersembahkan pada khalayak untuk dijadikan panutan baik.

Namun tidak begitu di buku karangan Seno Gumira Ajidarma (SGA) ini. Buku ini mempertanyakan apakah cinta yang dipertontonkan merupakan cinta yang hakiki sementara akhirnya Sinta menderita karena kedustaan cinta. Rama telah menjadi raja sekarang, yang harus memerhatikan rakyatnya dan melindungi keagungannya. Lalu akhirnya Sinta mempertanyakan lagi tentang kesungguhan cinta Rama ketika sebelumnya Sinta harus mengikuti upacara pembakaran diri. Dikisahkan untuk membuktikan kesucian dirinya, Sinta harus lolos dari api yang menjilatnya.

“O lelaki mana kiranya yang tidak bisa disebut rendah diri jika tiada pernah percaya betapa suci istrinya meski istrinya itu sudah begitu setia dalam cengkraman Rahwana yang kaya raya? Rama telah membakar aku dalam api unggun raksasa yang nyala apinya memerahkan langit demi kepercayaannya terhadap orang Ayodya bahwa Rahwana sungguh-sungguh tiada pernah menyentuhku apalagi menjamahku? Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima saja aku apa adnya, meski seandainya Rahwana telah memerkosa diriku? Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan jika aku telah berbuat seperti pelacur kepada Rahwana, yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah aku seperti apa adanya.”

Begitulah tragisnya kisah cinta Sinta dan Rama yang akhirnya membawa dunia pewayangan Ramayana kalang kabut. Rama tidak menemukan kedamaian lagi saat ditinggalkan oleh Sinta. Bahkan sepertinya kebijaksanaannya pun telah termakan oleh Gelembung Rahwana (pengaruh jahat Rahwana yang ditiupkan ke hati manusia). Akhirnya Rama mengambil keputusan untuk melakukan Persembahan Kuda. Suatu upacara yang membawa jutaan pasukan Ayodya untuk menjarah dan membumihanguskan segala daerah yang dilewati seekor kuda putih ajaib. Barangsiapa yang tidak tunduk pada pasukan tersebut maka dianggap menentang pada perdamaian.

Perdamaian? Itulah salah satu yang disindir SGA terhadap dunia pewayangan. Setiap juru tulisnya seperti dapat saja menentukan pihak mana yang baik dan yang tidak baik. Padahal jika dilihat secara normatif bahwa kedamaian yang dipaksakan bukanlah sesuatu yang dapat menjadi contoh kebaikan. Namun pada dasarnya Rama telah diciptakan sebagai seorang protagonis—karena hakikatnya seorang titisan dewa tidaklah pernah berlaku salah.

Namun itulah yang terlupakan Walmiki, penulis Ramayana. Terkadang seorang penulis terlalu terfokus pada tokoh-tokoh besarnya sehingga mengabaikan nasib peran kecil. Maneka adalah seorang pelacur yang terjebak dalam kesengsaraan takdir penokohan. Tanpa sengaja wanita tersebut dilahirkan dengan tato Kuda Putih di punggungnya. Hal itu yang membawanya terus dirundung kesialan. Maneka pun berusaha mencari Walmiki untuk menggugat nasibnya tersebut. Akhirnya Walmiki harus dibuat pusing dengan tokoh-tokoh lainnya yang mengikuti jejak Maneka, beberapa ingin pamit untuk meninggalkan dunia dongeng, juga ada yang meminta ditulis ulang riwayatnya. Nah!

            Menjual Ramayana di jalanan

            Matahari tenggelam di persawahan

            Menjual cinta dan peperangan

            Siapa sudi bercerminkan wayang

            Mengapa harus mencari jawaban

            Atas pertanyaan tanpa jawaban, o!

Berikut adalah penggalan sajak yang disuntikan SGA dalam jeda ceritanya, hal yang jarang ditemukan dan inovatif dalam sebuah novel. Suntikan kata-kata indah itu dapat menggiring pembaca untuk menghayati kisahnya atau sekadar menikmati penuturan SGA seperti dalam pertunjukan wayang ketika dalang berkisah dengan sajaknya.

Selain dihiasi oleh sajak yang indah, tidak dapat dipungkiri SGA adalah penutur deskripsi suasana yang ulung. Bagi pembaca setia buku-buku SGA mungkin sudah tidak asing dengan kata “Senja.” Entah kenapa deskripsi senja tak pernah absen dalam karya-karyanya, terkadang memainkan peran penting atau terkadang hanya menjadi latar saja. Kegemaran SGA menulis tentang senja terlukiskan oleh kisah tentang Walmiki yang selalu pergi menuju senja. Tidak disebutkan apa alasannya tetapi senja memiliki peranan yang cukup penting di buku ini.

Terlepas dari istilah “Senja”, pemilihan kata “Omong Kosong” di buku ini pun memiliki kedalaman makna sendiri. Dikisahkan bahwa akhirnya Maneka terjebak pada pencarian sebuah kitab bernama Kitab Omong Kosong. Kitab itu dipercaya dapat mengembalikan keterpurukan ilmu yang disebabkan kehancuran peradaban yang dibawa oleh Peristiwa Persembahan Kuda. Namun mengapa disebut Omong Kosong? Apakah isinya cuma Omong Kosong belaka? Pertanyaan itu banyak melintas sampai akhirnya banyak penjelasan tentang keomongkosongan tersebut. Salah satunya dalam dialog menarik antara Satya dan Maneka.

              “Jadi semua hal yang kita ketahui ini omong kosong saja?”

              “Sebetulnya memang omong kosong saja, tapi manusia berusaha membuat segala sesuatu bermakna.”

              “Supaya apa?”

             “Supaya tidak merasa sia-sia.”

Selain itu, banyak di buku ini dikisahkan cerita-cerita tentang suratan takdir. Bahwa akhirnya manusia adalah makhluk yang sudah ditentukan akhir ceritanya sehingga pada akhirnya segala yang mereka lalukan di hidupnya merupakan “omong kosong”. Seperti halnya kisah Sinta yang ditakdirkan harus menderita karena cinta, Mahakala yang tiba-tiba menjadi baik sekalipun berniat menjadi jahat, ataupun kisah Siwaratrikalpa yang mengisahkan pemburu penuh dosa yang akhirnya diangkat ke surga karena ketidaksengajaan.

Seperti yang SGA sering singgung bahwa interpretasi pembaca akan berbeda-beda terhadap sesuatu. Namun novel Kitab Omong Kosong ini seperti menekankan bahwa hidup ini terdiri dari kumpulan takdir. Seseorang hanya perlu menjalankan “omong kosongnya” sementara berusaha mencari makna agar semua tidak terlihat sia-sia. [Reza A. Pratama]

Comments

comments