Braga

182

Oleh Dedi Sahara

 

Di hitam trotoar seorang perempuan tua terkapar,

aroma plastik terbakar. Lalat-lalat bertikai

di jendela kaca restoran Korea, dua-tiga remaja

sempoyongan mengutuk cakrawala.

 

Di bangku-bangku berdebu, di tengah cahaya biru

turis-turis bergaun tipis meracau tentang kemarau,
pantai, atau barangkali Merapi yang terperangkap

dalam lukisan moi indie tergantung di pagar besi.

 

Wangi whiski dan sarah lovely berbaur di udara basah,

betapa kurindu tungkai kakimu yang lincah

dan periang seperti ilalang pagi, bergoyang-goyang

tanpa henti, merayu embun pertama musim semi.

 

Di antara gedung-gedung tua

secangkir kopi tanpa gula dan senja tak ada.

Aku teringat tatkala salju menggigil di rabuku

dan kau datang sebagai lagu,

 

kucium ujung jari manismu di bawah bulan mentega,

di pinggir tanah tandus—yang kini menjelma hotel

bintang lima—kau tersenyum manis seperti kurma

semoga kau mengingatnya, perempuan bianglala!

 

Dedi Sahara, lahir di Bandung 02 Desember 1992. Beberapa karyanya dimuat dalam buku antologi puisi bersama Nun (2015), Ritus Kesunyian (2015) dan media cetak. Mengasuh kolom esai di Meta Ruang (metaruang.co).

Comments

comments