Jelajah Imajinasi “Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-pohon?”
Oleh Yunita Ayu
Judul : Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?
Penuli : Eko Triono
Tebal : 260 hlm
Cetakan pertama: April 2016
Penerbit : DIVA Press
ISBN : 978-602-391-128-8
Eko Triono, seorang yang turut memberikan pengaruh terhadap perkembangan cerpen kontemporer ini memang tidak diragukan lagi kualitasnya sebagai cerpenis. Eko sering memublikasikan karyanya yang dikenal dengan kenyelenehannya di media massa. Kumcer (Kumpulan Cerpen) Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon? merupakan kumpulan kisah-kisah pilihan dari Eko Triono.
Kumcer tersebut berisi tiga puluh dua kisah. Cerpen pertama berjudul Kebahagian yang merupakan cerpen mini karena memuat cerita yang singkat. Cerpen tersebut berkisah tentang seorang pemuda yang kedatangan seorang anak kecil ke kamarnya. Ketika anak kecil itu masuk, ia mengatakan bahwa dirinya adalah anak pemuda itu di masa depan. Anak kecil itu menunjuk foto seorang wanita yang merupakan kekasih sang pemuda. Namun, pemuda itu tak sempat menanyakan kepastian Ibunya di masa depan kepada anak tersebut. Pemuda itu lalu bertanya kepadanya, “ada perlu apa?” Minta uang jajan?” dia menggeleng. Pemuda itu bertanya lagi, “Iuran sekolah?” menggeleng lagi. “Sepeda?” tetap menggeleng. “Lalu?” Anak kecil itu berbalik, mendekat, dan menatap pemuda yang merupakan ayahnya di masa depan dengan penuh kasih sayang. Ia berkata, “Aku cuma ingin tahu masa muda Ayah.” Pemuda itu langsung memeluknya dan mengusap rambutnya. Tidak seperti biasanya. Pemuda itu sangat bahagia dan tak ingin mati muda.
Sementara cerpen Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon yang dijadikan judul dalam kumcer ini sebenarnya sederhana, tetapi menjadi tidak sederhana lagi saat dikemas oleh Eko Triono. Cerpen tersebut berkisah tentang seorang lelaki yang duduk di sebuah bus. Ingatannya kembali pada waktu ia bersama dengan kekasihnya yang sekarang sudah memiliki anak dan bercerai. Saat itu, mereka duduk berdua. Sang wanita bercerita soal bulan yang sebenarnya tidak disukai lelaki itu karena alasan pribadi. Wanita itu terus bercerita tentang anaknya, Zafin yang menyebut bulan adalah matahari di malam hari. Kemudian, perbincangan mereka sampai pada pertanyaan, “apa pertemuan itu suatu kebetulan?” tanya wanita itu. “Kebetulan? Apa kebetulan itu?” jawab lelaki tersbeut yang merupakan seorang penyair. Merekapun larut dalam obrolan-obrolan yang menyatu dengan kenangan yang silih berganti menyembul dalam ingatan-ingata mereka. Tiba-tiba, wanita itu melontarkan pertanyaan kembali, “agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?” Lelaki itu menjawab, “kenapa memangnya?” Wanita itu kembali bertanya, “bukankah berbagai pohon dapat tumbuh di tempat yang sama dengan damai?”
Lelaki itu pun tahu maksudnya. Pernikahan dia dengan mantan suaminya memang berbeda agama. Kemudian, berpisah. Zafin, anaknya dibawa oleh mantan suaminya. Lalu, ia melanjutkan, “aku mengira, seandainya pohon-pohon beragama, hewan-hewan berideologi, dan para jin dan tuyul membuat undang-undang mengendalikan kekuasaan, hokum, dan juga politik, masihkah kita disebut sebagai manusia?”
Berbeda dengan kedua cerpen di atas, cerpen yang berjudul Filsafat Mencuci Piring berkisah tentang tokoh aku yang teringat pada Aan, temannya. Temannya tersebut memiliki sebuah piring seng. Aan juga suka merenung dan selalu membawa piring bermotif bunga sepatu itu saat berpergian. Tokoh aku sangat takjub pada Aan. Ternyata orangtua Aan tunanetra. Keluarga tidak setuju dengan pernikahan orangtuanya. Akan tetapi, cinta yang melihat dengan mata hati membuat keduanya berhasil menikah. Kondisi pahit membuat dermawan menolong kelahiran Aan di rumah sakit Panti Rapih. Saat itu, Ayah dan Ibunya belum pernah melihat wajah Aan, bahkan mungkin untuk selamanya. Dan pada kondisi tersulit Aan terpaksa dititipkan di panti asuhan. Di sana dia diberi piring seng, diajarkan: mengisinya dengantangan sendiri: “Pandang seolah itu adalah jiwamu sendiri.”
Buku ini sangat menarik untuk dibaca para penikmat sastra yang rindu dengan kesegaran-kesegaran cerita, gaya bahasa, dan gaya tutur yang berbeda. Kumcer ini memperlihatkan jelajah imajinasi Eko yang sangat tidak biasa: dari pilihan tema, eksplorasi ide, gaya bahasa, gaya tutur. Tidak hanya itu saja, beberapa cerpennya sarat dengan nilai-nilai filosofis yang dikemas dalam ide cerita yang mampu membuat pembaca terheran-heran dengan pemikiran penulisnya.