Potret Hawa di Kampus UPI
Oleh: Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi*
Dalam rangka memperingati “International Women’s Day” yang bertepatan hari ini, saya ingin berbagi pandangan potret perempuan di kampus tercinta yang secara spesifik dan lebih dalamnya terkait konteks pemimpin organisasi kemahasiswaan (Ormawa).
Pimpinan BEM Rema 2019 yang berjumlah 38 orang (termasuk presiden dan wakil presiden) dan sebanyak 14 orang (36%) yang terdiri dari empat orang sebagai menteri dan sepuluh orang sebagai direktur jenderal. Tak hanya di ormawa fakultas dan universitas, kampus daerah atau jurusan peran perempuan sebagai pemimpin tak bisa dilepaskan. Contohnya, di beberapa ormawa seperti jurusan PKN (HMCH), Psikologi (BEM), Kampus daerah serang (BEM) pernah atau sedang dipimpin oleh perempuan yang notabene komposisi mahasiswa perempuannya tidak lebih dominan PGPAUD/PKK. Belum lagi para ketua DPM dan UKM yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, bahkan organisasi ekstra yang ada di kampus ini pernah dipimpin seorang perempuan.
Namun di balik peran perempuan sebagai pimpinan atau pun pemimpin di kampus ini. Saya sangat menyayangkan ada penyudutan isu perempuan pada saat Pilpresma BEM Rema UPI 2020 yang dilakukan oknum tidak bertanggungjawab. Mereka melakukannya melalui akun twitter @upifess dan akun instagram melalui akun @upi_cantik, @info_upi dan @mahasiswi.bdg yang memuat konten penyudutan perempuan dalam memilih pemimpin. Sangat disayangkan pula cuplikan video salah satu ustadz yang tidak membolehkan memilih perempuan sebagai pemimpin dan ditambahkan kalimat “dengerin dulu baru milih pemimpin”. Padahal di sisi yang lain, salah satu ustadz ternama di Indonesia memiliki pandangan bahwa pemimpin perempuan. Menurutnya diperbolehkan secara perspektif agama islam ”setelah mengumpulkan berbagai dalil, selama pemimpin itu bukan khilafah (Big State Islam), pemimpin yang bisa dijatuhkan maka hukumnya diperbolehkan,” ungkapnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, Republik Indonesia pun pernah dipimpin oleh seorang presiden perempuan. Ketua DPR 2019-2024 juga seorang perempuan. Beberapa ketua umum parpol, kampus besar juga seperti Unpad dan ITB dipimpin seorang rektor perempuan. Serta beberapa kampus dipimpin presiden mahasiswa seorang perempuan.
Karena dari tadi kita membahas tentang pemimpin. Menurut saya hakikat kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku anggota, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan fungsinya. Artinya, dasar untuk menjadi pemimpin yang baik adalah “kapasitas dan kapabilitas” bukan gender yang dijabarkan melalui filosofi “Jari Pemimpin”. Jempol artinya pandai mengapresiasi, telunjuk artinya pandai memerintah, jari tengah artinya arif dan bijaksana, jari manis sebagai simbol kasih sayang artinya penyayang, dan jari kelingking sebagai simbol sakral artinya menanamkan nilai. Sama halnya menurut pakar Cyriel O’Dennell, kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum.
Kemudian dalam perspektif penyelenggaraan organisasi kemahasiswaan di UPI, secara prinsip ormawa harus terbuka, tidak diskriminatif, nirlaba, mandiri, adil, kekeluargaan, transparansi, dan akuntabel.
Dalam perspektif lainnya, Poin ke-5 Sustainale Development Goal’s (SDGs) ialah gender equality, mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua perempuan. Salah satu targetnya yakni mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap semua perempuan dimana saja. Serta memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama untuk kepemimpinan pada semua level pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi dan publik.
Dalam hal ini kita semua harus melakukan reduksi terhadap paham misoginis layaknya pemikiran bahwa perempuan tidak boleh berpikir kritis. Perempuan tidak boleh tampil di ruang publik, laki-laki lebih superior dari perempuan, atau segala bentuk perundungan berbau sexism dalam ranah politik, ekonomi, sosial dll. Perlu ditekankan hadirnya perempuan di ruang publik bukan untuk mengalahkan eksistensi laki-laki, namun setiap insan mempunyai hak yang sama.
Setelah penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa hawa memiliki kesempatan, dan peluang yang setara sama halnya dengan adam. Hawa bisa hebat, hawa mampu luar biasa selama hawa berusaha dengan menciptakan berbagai perubahan dan memiliki semangat progresif dalam kehidupan. Kita hidup pada abad 21 yang harusnya menonjolkan kemampuan atau skill; life and career skills, learning and innovation, and information, media and technology. Jangan masih membandingkan persaingan kodrati yang hakikatnya manusia tidak bisa meminta terlahir dengan jenis kelamin yang diinginkan.
Salam hangat untuk semua dari saya yang pernah kemarin terkena diskriminasi dan saya yang akan membayar betapa tidak murah kepercayaan mahasiswa UPI kepada saya untuk BEM Rema.[]
Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis yang bersangkutan
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini FIP UPI 2016