Kalah Di Tengah Borjuis Serakah
Oleh: Iled
*) Mahasiswa UPI angkatan 2020
Aku adalah nestapa di ujung kemiskinan.
Berlari di antara kelaparan yang nanar,
lalu terhempas disengat terik panas.
Aku benci menjadi manusia lemah yang berulang kali ditindas.
Bahkan oleh sesuatu yang mereka sebut “universitas”.
Suara Pak Rektor yang selalu menggema di setiap nurani mahasiswa,
tersebar di media sosial dan nasib sial mahasiswa,
menjadi pakaian yang menutupi kehinaan dan pengkhianatan.
“Saya pastikan tidak ada yang dropout karena tidak bisa membayar kuliah.”
Tapi nyatanya aku diperintah untuk menyerah.
Dipaksa berhenti secara sukarela dengan judul “cuti sementara”.
Oleh sekumpulan mesin buatan yang disebut “sistem birokrasi”
karya para birokrat. Atau mungkin rektorat?
Katanya karena engkau, Pak, tak mampu membiayai kuliahku.
Sebagai buruh tani, yang tak sulit hanyalah sesuap nasi
yang diambil dari sawah sendiri,
sebagian hasil yang seharusnya menjadi lembaran rupiah tak seberapa.
Lalu sialnya penghasilanku juga masih minim.
Gaji tiga bulan mengajar les hanya cukup untuk membuat SIM
ditambah pelicin bagi petugas agar SIM-ku bisa selesai tiga jam.
Sedangkan UKT-ku
nyatanya lebih besar dari penghasilan Bapak,
lebih mahal dari harga yang harus dibayar untuk melepas lapar,
dan lebih memeras dari para preman yang beringas.
Tuhan…,
ini dunia milik semua manusia,
tetapi kakiku diinjak-injak kuasa pejabat.
Lalu aku, hanya manusia sengsara yang tak punya apa-apa.
Tatkala ingin berjuang memperbaiki nasib,
mereka yang kuat selalu mempersulit.
Menempuh pendidikan dituntut ada uang
padahal bagi kaum miskin sepertiku, di situlah aku kurang.
Hari itu, di tengah surya yang terkadang malu menampakkan diri,
bersembunyi di antara deretan awan kelam
dan deru angin yang membiaskan sunyi
pada teriakan perlawanan,
banyak kawanku menyingkap sisi kelam di tulang punggung pendidikan
dan berteriak atas nama keadilan,
“Pendidikan ialah hak segala bangsa!
Tapi di sini, pendidikan ialah hak segala bangsawan!”
Tuhan…,
rasanya aku hanyalah serasah daun di tengah tumpukan sampah.
Atau mungkin kucing di sabana bersama kumpulan singa
yang menatap kosong
hanya berharap nyawaku benar-benar sembilan.
Lalu aku
hanya berharap tak harus kuliah sampai semester sembilan
karena di semster delapan
aku kalah oleh kebijakan kampus pendidikan
di gedung peninggalan masa penjajahan.
Bandung, 11 Agustus 2022