
UKT Mencekik, Kebijakan Bikin Bergidik. Mahasiswa UPI: Pendidikan Hanya untuk yang Berduit?
Oleh: Amelia Wulandari dan Jennifer Norine
Bumi Siliwangi, Isolapos.com,-Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan agenda rutin kegiatan diskusi Selasaan pada Selasa, (13/08). Yang berbeda kali ini adalah, membahas polemik uang kuliah tunggal (UKT) di UPI. Kegiatan ini dipantik oleh perwakilan dari (UKSK) UPI, Front Mahasiswa Nasional (FMN) UPI, Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (Hima Satrasia).
Dalam diskusi, Adinda Putri Chaniavatov merupakan ketua umum UKSK UPI sekaligus salah satu pemantik yang menjelaskan bagaimana Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UPI ditentukan. Ia menyinggung Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri yang menjadi dasar penentuan UKT di UPI.
“Tapi yang jelas peraturan itu mengatur untuk penentuan UKT itu tidak didasarkan lagi dari kemampuan mahasiswanya,” kata orang yang kerap dipanggil Vatov itu.
Selain permasalahan penentuan UKT di UPI yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi mahasiswa. Fyan, pemantik dari FMN UPI mengatakan pihak UPI sendiri tidak mengatur kebijakan penurunan golongan UKT atau peninjauan ulang tarif UKT sehingga mahasiswa yang terkendala hanya diarahkan untuk mengikuti cicilan atau cuti kuliah.
“Padahal, pada Permendikbud No 2 Tahun 2024 pasal 17 disebutkan bahwasannya PTN dapat melakukan peninjauan kembali tarif UKT,” kata Fyan.
Fyan juga menyoroti komersialisasi kampus yang terjadi di UPI. Ia mengatakan skema cadangan pada penerimaan mahasiswa baru 2024 jalur seleksi mandiri menggambarkan UPI melakukan komersialisasi secara terang-terangan. Menurutnya, hal tersebut menjadikan pendidikan hanya untuk orang yang bisa membayar saja. Ia mengatakan hak untuk pendidikan seakan diobral oleh pihak UPI bagi siapapun yang sanggup membayar, dan yang tidak memiliki uang dianggap tidak layak untuk menginjak bangku kuliah.
Selain itu, Vatov menyayangkan waktu cicilan yang singkat membuat mahasiswa yang telah lulus jalur seleksi mandiri reguler harus secepatnya membayarkan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) jika tidak ingin dialihkan kepada mahasiswa cadangan.
“Jadi yang lebih parah itu adalah si pencicilannya itu diberikan dengan waktu yang sangat singkat. Jadi kan mau gamau kalo buat mahasiswa baru yang mereka gapunya informasi apapun soal pembayaran di upi ketika diancam kalo ga bayar ukt bakal dialihkan ke yang lain kan, mau gamau mereka harus bayar gimanapun caranya,” ujarnya.
Pengakuan lainnya datang dari Davina selaku advokat Hima Satrasia menceritakan pengalaman dalam mengadvokasi mahasiswa di jurusannya yang terkendala membayar UKT untuk meminta keringanan. Ia mengatakan terdapat beberapa mahasiswa baru yang tidak dapat membayar UKT sehingga akhirnya mahasiswa tersebut memutuskan untuk mengundurkan diri dan tak dapat melanjutkan mimpi untuk berkuliah di UPI.
“Cuman tidak ada solusi, balik lagi hanya itu pencicilan, penangguhan, mau turun nominal atau golongan itu kayaknya hal yang mustahil. Mau kita mohon-mohon kaya gimana pun juga sulit,” ungkap Davina.
Salah satu mahasiswa baru angkatan 2024 yang menghadiri kegiatan diskusi tersebut adalah Maudy dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, ia membenarkan bahwa ada beberapa mahasiswa yang mengundurkan diri dan keluar dari grup mahasiswa baru dan terpaksa mengundurkan diri sebagai mahasiswa baru UPI karena tidak sanggup membayar biaya pendidikan yang tinggi. Maudy berharap UPI bisa memberikan keringanan bagi mahasiswanya yang kesulitan dalam biaya pendidikan.
“Lebih mengerti keadaan mahasiswa. Apalagi kita di sini bukan numpang belajar doang, tapi kita juga pasti punya tujuan untuk sama sama membangun dan memberikan citra baik untuk UPI,” keluh Maudy.
Vatov memaparkan mengenai upaya yang bisa dilakukan sebagai mahasiswa dalam menanggapi kendala perkuliahan yang menyangkut birokrasi terutama persoalan UKT. Menurutnya, mahasiswa harus melakukan investigasi atau riset terkait polemik yang terjadi dan membuat kajian komprehensif sehingga didapatkan data yang bisa digunakan untuk menekan pihak birokrat.
“Mungkin step by step nya harus berangkat dari investigasi atau riset minimal harus tau berapa mahasiswa yang terdampak dari kebijakan UKT ini dari mahasiswa lama maupun mahasiswa baru, angka ini akan menghasilkan kesimpulan semisalnya dari total mahasiswa UPI ada sekitar 20% yang keberatan, dari situ boleh diulik kebijakan yang ada di UPI maupun nasional, apakah ada yang kontradiksi antara peraturan yang nasional dengan peraturan yang ada di upi, utamanya yang berkaitan dan berurusan dengan haknya mahasiswa buat bayar kuliah” terangnya.[]
Redaktur: Dini Putri Rahmayanti