Apatis Bandung Gelar Aksi Somasi Terhadap Negara Soal Mahalnya Biaya Kuliah

84

Oleh: Maisie Juanita Rahmah
Bumi Siliwangi, Isolapos.com- Senin (03/06), Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) bersama Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) menyuarakan surat somasi terbuka dan petisi kepada Presiden Republik Indonesia dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek). Aksi ini dilatarbelakangi masalah kebijakan biaya pendidikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pembangunan Institusi (IPI). Hal ini dinilai karena pendidikan berada di bawah imperialisme dan dianggap tidak memberikan hasil yang sesuai dengan apa yang dijanjikan sebelumnya.

Hal yang melatarbelakangi somasi ini adalah dampak adanya kasus kenaikan biaya UKT dan penambahan golongan yang dirasakan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 

“Somasi ini tuh, dia berangkat dari case, di mana banyak case mahasiswa baru itu yang terdampak dari kenaikan biaya UKT lewat skema pelebaran golongan UKT sampai 11 golongan. Kenaikan biaya UKT ini atau golongan ini ada karena adanya Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 yang mengatur soal pembiayaan atau penetapan UKT,” ujar Adinda Putri Chaniavatov, Ketua Umum UKSK sekaligus koordinator aksi somasi dengan Apatis. 

Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 menetapkan golongan UKT berdasarkan konsultasi antara pimpinan perguruan tinggi negeri dan pemerintah sesuai dengan Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT) dan menghapuskan penetapan tarif UKT berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa.

Kebijakan pendidikan saat ini dinilai jauh dari kata berhasil. Banyak program yang terlalu berorientasikan pada pasar bebas dan profit bukan pada kebutuhan pendidikan yang sebenarnya diharapkan oleh para pelajar di Indonesia. Melihat hal ini, Vatov memberikan pandangannya, ”Kami itu percaya bahwa pendidikan itu tujuannya untuk memajukan tarif pikiran pemuda mahasiswa dengan lebih maju dan untuk terbebas dari kebudayaan terbelakang, hanya saja memang kebijakan pendidikan hari ini tidak berlandaskan atau berorientasikan untuk memajukan taraf pikiran tersebut”.  

Menurut Vatov, pendidikan yang dikomersialisasikan hanya menghasilkan ajang jual-beli, tidak ilmiah, dan tidak demokratis. Fokus pendidikan yang berubah menjadi pemenuhan kebutuhan pasar dan bukan lagi untuk meningkatkan kecerdasan serta pengembangan pengetahuan membuat pendidikan terasa lebih elitis dan eksklusif sehingga hanya dapat dijangkau oleh mereka yang mampu membayar biaya tinggi. 

Banyak kampus yang mengecam kebijakan  ini dan pada akhirnya respon yang diberikan oleh kemendikbud adalah mengeluarkan surat pembatalan kenaikan UKT. Dalam surat tersebut, diberitahukan bahwa pimpinan PTN dan PTN-BH wajib untuk mengembalikan uang yang sudah dibayarkan secara berlebih oleh para mahasiswa baru. Akan tetapi, dari pihak Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai informasi pengembalian tersebut dan belum ada informasi mengenai perubahan golongan yang seharusnya sudah kembali normal tanpa adanya pelebaran lagi. 

“… seharusnya kalau misalkan Kemendikbud sudah mengeluarkan pembatalan itu, ya, UPI juga harus patuh dan tunduk pada edaran tersebut untuk meniadakan golongan UKT tadi,” ucap Vatov menanggapi persoalan kebijakan UPI terhadap surat edaran pembatalan UKT yang seharusnya sudah ditindaklanjuti. 

Pembatalan kenaikan UKT tersebut dianggap sebagai langkah yang tidak cukup efektif, meskipun tindakan ini memberikan sedikit kelegaa. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa langkah ini hanyalah penyelesaian masalah jangka pendek dan menyelesaikan akar masalah yang lebih mendasar. “Pembatalan itu bukan berarti menegasikan kenaikan UKT di masa yang akan datang karena sebetulnya sumber kenaikan UKT itu dari Permendikbudristek tahun 2024 ini, dialah yang kemudian mengatur penetapan UKT yang tidak ada dasar kemampuan ekonomi mahasiswa tadi,” tutur Vatov memberi tanggapan terhadap pembatalan kenaikan UKT dan langkah apalagi yang perlu diambil.

Vatov berpendapat, jika pemerintah memang betul-betul menolak komersialisasi maka mereka harus mencabut Permendikbudristek tahun 2024 tersebut. Bukan soal pembatalan UKT saja. Namun, Permendikbudristek-nya pun masih harus banyak melakukan tinjauan sehingga langkah yang dapat  kita ambil untuk saat ini adalah tetap menolak segala bentuk komersialisasi pendidikan.

Dengan dilayangkannya somasi dari Aliansi Pendidikan Gratis yang serentak dilakukan diberbagai kota di Indonesia ini, diharapkan pendidikan di Indonesia dapat  kembali mengutamakan peningkatan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat secara inklusif dan merata. Pendidikan harus menjadi alat untuk membebaskan masyarakat dari ketertinggalan dan kebodohan, bukan hanya untuk mencetak tenaga kerja upah murah.

Redaktur: Haura Nurbani

Comments

comments