“UKT Tak Naik, Golongan yang Diperluas”

143

Oleh: Fathimah Ghaida Nafisa, Reighina Faridah Solihah, dan Savitri Rahmadhanti*

*Reporter Magang Isolapos.com

Bumi Siliwangi, Isolapos.com,-Belum lama ini, sosial media diramaikan dengan gelombang protes dari mahasiswa di berbagai kampus terkait kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Protes ini dipicu oleh kebijakan beberapa perguruan tinggi negeri setelah adanya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi Negeri.

Menghadapi hal ini, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) memilih jalur yang berbeda. Melansir dari tempo.co, dalam berita yang berjudul “Alasan UPI Bandung Tidak Menaikkan UKT Mahasiswa Baru”, UPI memutuskan untuk tidak menaikkan UKT, melainkan memperluas kategori golongan, dari yang sebelumnya terdapat 8 golongan menjadi 11 golongan. 

Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI, Adinda Putri Chaniavatov, menyebut keputusan UPI yang menambah sebelas golongan UKT sebagai bentuk komersialisasi pendidikan melalui perluasan skema golongan. Menurutnya, keputusan tersebut tidak memperhitungkan perspektif mahasiswa yang terdampak. “Sementara, kami sudah sempat melakukan survei kepada mahasiswa baru SNBP terkait biaya ini, terkait kenaikan biaya UKT, dan ada 402 mahasiswa baru yang keberatan terhadap nominal UKT ini,” ungkapnya kepada tim Isolapos. 

Vatov juga menjelaskan bahwa penambahan golongan tersebut terjadi akibat ditetapkannya Permendikbudristek No. 2 tahun 2024. Ia menyebutkan, dalam peraturan tersebut, penetapan golongan UKT tidak lagi berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, melainkan mengacu pada Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) melalui skema konsultasi antara pimpinan kampus dengan pemerintah. Vatov menganggap dalam peraturan ini, biaya UKT sepenuhnya dibebankan kepada mahasiswa tanpa adanya kewajiban negara untuk memberikan subsidi.

“Ini sangat bahaya karena implikasinya adalah negara sudah mulai lepas tangan untuk memberikan subsidi UKT kepada mahasiswa, dan permen (peraturan menteri-Red) ini juga rentan diinterpretasikan secara mandiri oleh tiap-tiap perguruan tinggi yang ada. Maka, wajar muncul banyak protes dari kampus-kampus dan juga mahasiswa baru UPI selaku pihak yang terdampak dari kenaikan biaya golongan UKT ini,” ujar Vatov.

Endi Nurcahyo, ketua BEM Keluarga Mahasiswa FIP UPI periode 2023-2024, mengatakan penambahan golongan tersebut mungkin akan menjadi masalah karena tidak adanya transparansi penetapan golongan yang disesuaikan dengan penghasilan orang tua mahasiswa. “Misalkan, sebelumnya golongan 3 ini untuk pendapatan orang tua mahasiswa dengan kisaran 3 – 4 juta perbulannya. Nah, bisa saja upah orang tua mahasiswa yang semulanya itu 3 – 4 juta ada di golongan 3, bisa saja berubah menjadi golongan 4 atau 5. Nah, jangan sampai seperti itu gitu,” tutur Endi. Ia juga menegaskan bahwa Iuran Pengenbangan Institusi (IPI) yang dibebankan kepada mahasiswa jalur seleksi mandiri jangan sampai tidak disesuaikan dengan pendapatan yang dimiliki oleh orang tua mahasiswa.

Endi berharap penetapan golongan UKT yang dilakukan oleh UPI dapat disesuaikan dengan pendapatan orang tua mahasiswa agar tidak memberatkan. Ia juga berharap, ke depannya jangan sampai terjadi penggolongan ulang, karena dengan adanya penggolongan ulang tersebut menandakan bahwa ada hal yang tidak benar dari sistem penggolongan UPI saat ini.

Sementara Panji Mulkillah Ahmad, perwakilan dari Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis), menyoroti ketimpangan yang besar antara nominal UKT golongan 2 ke golongan 3, serta dari golongan 3 ke golongan 4, dan golongan 4 ke golongan 5. Hal tersebut, menurut Panji, sangat terlihat pada jurusan yang memiliki biaya operasional yang tinggi dalam penyelenggaraan belajarnya, terutama pada bidang saintek atau medika seperti kedokteran, farmasi, dan keperawatan. “Mestinya, ada subsidi dari negara yang memang membuat jurusan-jurusan tersebut bisa relatif sama harganya dengan jurusan-jurusan di sosial humaniora gitu,” ujarnya.

Tindak lanjut yang dilakukan oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim, dari adanya gelombang protes mahasiswa yang menolak kenaikan UKT adalah dengan diterbitkannya surat Nomor 0511/E/PR.07.04/2024 kepada Rektor PTN dan PTN-BH terkait pembatalan kenaikan UKT.

Namun, Panji menegaskan bahwa persoalannya bukan terletak pada naik atau tidak naiknya UKT, karena kenaikan UKT seperti ini juga pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. “Dan di tahun depan pun, bahkan Jokowi udah bilang bahwa itu akan naik. Jadi, ini hanya soal waktu aja bicara soal naik atau tidak naik, dan memang persoalannya bukan tentang naik atau tidak naiknya. Karena itu bisa naik sewaktu-waktu, bisa tidak naik sewaktu-waktu juga,” pungkasnya.[]

Redaktur: Harven Kawatu

Comments

comments