Logika Bengkok Pemerintah dan Aparat dalam Tanggapi Demonstrasi

79

Anarkisme yang meletus di tengah masyarakat menjadi bahasa tersendiri yang terlihat jelas di mata pemerintah. Namun, begitu sulit dipahami oleh mereka bahwa tindak anarkis merupakan luapan kemarahan dan kejenuhan rakyat. Sejak awal, demonstrasi dipandang sebagai ancaman, bukan jeritan hati rakyat yang lelah tak didengarkan.

Alih-alih memahami pesan di balik pengrusakan, pemerintah sering kali hanya melihatnya sebagai gangguan ketertiban. Alih-alih memahami alasan di balik kemarahan, yang pemerintah lakukan adalah represi melalui aparat. Alih-alih mencoba untuk mengevaluasi institusi, warga yang mengalami tindakan kekerasan direduksi sebagai korban kekhilafan aparat ketika bertugas.

Malam 1 September 2025 di Bandung menambah catatan kekerasan aparat yang sudah begitu banyak. Kampus Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Universitas Pasundan (Unpas) yang seharusnya menjadi zona aman justru menjadi sasaran tembakan gas air mata dan peluru karet oleh gabungan pasukan TNI dan Polri.

Insiden ini tidak hanya melukai puluhan mahasiswa, relawan medis, serta satpam kampus, tetapi juga nilai demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan akademik.

Fakta-fakta yang beredar dari berbagai sumber menunjukkan pola penyerangan yang sistematis. Mulai sekitar pukul 21.00 WIB, aparat dilaporkan mengepung kawasan Tamansari, tempat kedua kampus tersebut berada. Gas air mata ditembakkan berulang kali, bahkan hingga menembus ruang dalam kampus, memaksa mahasiswa berlarian sambil berteriak minta tolong. Video rekaman amatir memperlihatkan situasi mencekam.

Asap tebal menyelimuti halaman kampus, ambulans tertahan, dan akses keluar diblokir sepenuhnya.

Lebih ironis lagi, kampus-kampus ini bukanlah lokasi demonstrasi aktif. Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai posko medis bagi korban bentrokan di sekitarnya. Penyerangan ini memicu korban sipil yang tidak bersalah, termasuk mahasiswi yang dilaporkan dipukul hingga berdarah, serta warga sekitar yang terimbas di rumah-rumah mereka.

Pihak aparat melalui pernyataan Polda Jabar dan Kodam Siliwangi membela tindakan ini sebagai upaya menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan tuduhan bahwa massa provokatif melempar bom molotov ke arah petugas. Namun, narasi ini bertolak belakang dengan kesaksian lapangan yang menegaskan bahwa serangan dimulai tanpa alasan jelas. CCTV milik pemerintah kota yang dapat dipantau publik pun merekam dengan jelas bentuk provokasi aparat, sebelum akhirnya dimatikan dan tak bisa diakses.

Padahal, sejarah kita mencatat betapa sering klaim “provokasi” digunakan untuk membenarkan represi, mengingatkan kita pada tragedi-tragedi kelam seperti Semanggi atau Trisakti di masa lalu.

Di tengah janji presiden untuk menghargai aparat yang terluka dalam pengamanan demo, tindakan provokasi aparat justru memicu pertanyaan: apakah ada instruksi tersembunyi untuk melawan rakyat sendiri?

Oleh karena itu, peristiwa penyerangan kampus Unisba dan Unpas bukan sekadar insiden lokal; ia mencerminkan tren mengkhawatirkan ketika ruang akademik, simbol kebebasan berpikir, dijadikan target otoritas. Kampus sebagaimana diamanatkan undang-undang harus tetap menjadi ruang aman dan dilindungi dari tindakan kekerasan.

Tak hanya kampus, sebetulnya seluruh ruang publik pun harus bebas dari represi. Jalanan, taman, dan alun-alun yang seharusnya menjadi wadah ekspresi dan interaksi warga kian rawan diwarnai intervensi aparat, seperti pelarangan hingga pembubaran kegiatan tanpa alasan jelas. Masyarakat yang berkumpul untuk menyuarakan aspirasi atau sekadar menjalani keseharian berhak merasa aman, bukan dikejar ketakutan oleh tindakan aparat yang mengatasnamakan ketertiban.

Ruang publik adalah milik bersama dan menjaganya bebas dari represi adalah syarat mutlak.

Akan tetapi, apa yang terjadi di Bandung menunjukkan sebaliknya. Negara gagal menegakkan prinsip itu dan malah memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Pemerintah beserta aparat seakan selalu gagap menangkap makna mendalam dari keresahan kolektif yang telah lama terpendam. Mungkin karena logika bengkok mereka juga sudah lama tak pernah diluruskan.

You might also like