Menanti “Presiden” Mahasiswa UPI
Pemilihan Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kian dekat. Kandidat calon “Presiden” dan wakil Presiden yang akan menduduki tampuk tertinggi mahasiswa UPI giat berkampanye serta debat secara terbuka. Tentunya untuk memperdengarkan visi mereka memimpin BEM Rema.
Kegiatan itu tak hanya dilakukan di kampus Bumi Siliwangi, tetapi juga di kampus-kampus daerah. Selain kampanye melalui penyampaian visi secara langsung, mereka menempel baligho dan pamflet untuk mempromosikan dirinya agar diketahui publik mahasiswa UPI. Tujuannya tak lain: meraih suara.
Lembaga tertinggi mahasiswa di UPI (BEM Rema) disebut sebagai representasi dari sekitar 30.000 mahasiswa UPI. Artinya, siapa yang terpilih dalam pemilu Rema UPI pekan depan, menjadi simbol dari seluruh mahasiswa UPI.
Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah sebutan tersebut masih pantas disandang?. Pasalnya, meski Presiden mahasiswa dipilih secara langsung oleh “semua” mahasiswa UPI, masih ada saja yang mengatakan Presiden BEM Rema terpilih tak mewakili kala berhadapan dengan kepentingan mahasiswa.
Apakah benar kenyataannya seperti itu? Jikalau ditemukan yang memilih tidak sampai setengah dari jumlah mahasiswa UPI, itu patut diteliti. Barangkali apatisme itu merupakan bukti BEM Rema tak lagi dirasakan keberadaanya oleh mahasiswa. Sebabnya bisa jadi karena kepentingan mereka tak terbela.
Memang, dalam sistem “demokrasi”, yang katanya diterapkan BEM Rema UPI, mahasiswa sebagai “demos” memiliki hak secara langsung dalam memilih wakilnya. Meskipun, terlalu naif kiranya jika selama ini dikatakan bahwa Rema UPI merupakan miniatur dari pemerintahan. Akan tetapi hal itu patut dipelihara, karena mahasiswa dicetak sebagai generasi pembaharu bangsa.
Yang perlu digarisbawahi, konsekuensi sebagai generasi pembaharu bangsa memang dituntut untuk dapat adil dan bertindak jujur. Karena, jika masih mau dikatakan seperti itu, jika sejak di tataran pemerintahan mahasiswa sudah tidak adil, pertanyaan yang tepat: Bagaimana nasib bangsa ini di hari depan?
Seorang terpelajar patutnya harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Begitu dikatakan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia. Hal itu perlu direnungkan oleh para calon kandidat yang akan menjadi “nahkoda” BEM Rema UPI. Pemimpin BEM Rema UPI harusnya jangan melulu belajar dari sejarah masa lampau, tapi juga harus menanamkan keadilan sejak dari pikiran.
Itulah kiranya hal utama yang perlu direnungkan oleh para kandidat calon Presiden dan wakil Presiden BEM Rema UPI. Fahami fungsi BEM Rema yang hakiki. Dalam artian, selama ini yang berjalan bahwa BEM Rema dikatakan hanya sebatas organisasi kemahasiswaan yang menyelenggarakan program. Itu tidak keliru, tapi ada yang jauh lebih penting yaitu untuk menjadi wakil dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan mahasiswa. Jangan sampai BEM Rema menjadi banci.
Memperjuangkan kepentingan mahasiswa, khususnya jika berkaitan dengan lembaga universitas, patutlah menjadi hal yang paling diutamakan. Jangan sampai dikatakan hanya “ikut mendo’akan” dan “lambat bergerak” saat mahasiswa memperjuangkan nasibnya (lihat: Enggan Aksi, Mahasiswa Sindir BEM Rema UPI)
Jangan sampai BEM Rema ciut nyali jika berhadapan dengan birokrasi kampus. Perlihatkan bahwa lembaga tertinggi mahasiswa ini merupakan lembaga independen yang tak terintervensi oleh kepentingan birokrasi kampus.
Itu harus dijadikan prioritas utama kalau BEM Rema ingin dirasa keberadaanya oleh mahasiswa. Hal ini bisa dikatakan krusial, jika BEM Rema tak dengan keras memperjuangkan hak-hak dan nasib mahasiswa, maka BEM Rema akan dianggap tak lebih sebagai organisasi mahasiswa biasa. Padahal, BEM Rema UPI merupakan lembaga tertinggi mahasiswa tingkat universitas yang juga bertugas untuk menjadi garda terdepan memperjuangkan hak dan nasib mahasiswa.
Tentunya, jika masih ingin dikatakan bahwa BEM Rema merupakan representasi mahasiswa UPI secara keseluruhan, maka lakukanlah tindakan yang mencerminkan hal itu. Jangan terkesan bahwa BEM Rema merupakan wakil dari sebagian golongan saja. Golongan yang sepaham dan sewadah dengan presiden BEM Rema terpilih. Harus adil sejak dalam fikiran, jangan memperlihatkan seolah kepanjangan tangan dari golongan “ekstra” kampus, tapi harus kepanjangan tangan dari seluruh mahasiswa UPI.
Juga, jika ingin dikatakan yang terpilih merupakan sosok yang intelek –sebagai ciri orang terpelajar– maka bertindaklah sebagai seorang intelektual. Seorang intelektual dalam bertindak dapat terlihat semenjak dari bagaimana cara ia meraih suara.
Seorang intelektual “dipilih” bukan “terpilih,” artinya dia dianggap pantas karena nilain intelektual. Maka dipertanyakanlah apakah merupakan seorang intelektual jika berkampanye menyuarakan visi-visi yang basi, tidak esensial dan realistis? Apakah seorang intelektual berkampanye dengan narsis memajang muka sendiri di seluruh penjuru kampus –melalui baligho, pamflet, dll.– yang memampang adegan pre-wedding photo?
Kepercayaan tentunya diperlihatkan melalui perbuatan, bukan dari apa yang dikatakan. Juga dari apa yang dipropagandakan. Artinya, posisi Presiden BEM Rema UPI adalah posisi kepercayaan. Jadi, kepercayaan itu harus dibangun sejak awal dengan perbuatan.
Tentunya, seluruh mahasiswa UPI berharap, BEM Rema kedepan mampu lagi menjadi pistol ampuh dalam meperjuangkan nasib dan hak-hak mahasiswa. Berharap bahwa sosok yang terpilih adalah sosok yang memiliki intelektual, cerdas dan adil sejak dalam pikiran juga perbuatan. Hidup Mahasiswa!