Terpisah Karena Sejarah

155

 Judul                                  : PULANG

 Penulis                              : Leila S. Chudori

 Penerbit                            : Kepustakaan Populer   Gramedia (KPG)

 Tahun Terbit                  : Cetakan pertama,  Desember 2012

 Jumlah Halaman        : 552 Halaman

 

 

Awan hitam menggantung di atas langit Jakarta, keadaan politik mencekam. Semua yang berhu­bungan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu diamankan tentara. Adalah Dimas Suryo, seorang pemuda anggota redaksi kantor Berita Nasional yang tidak memilih menjadi bagian dari dua kubu yang ada di kantornya. Saat itu, kantor Berita Nasional terkenal memiliki dua kubu, kubu simpatisan PKI dan kubu anti PKI. Namun, Dimas memilih untuk tidak memihak pada ke- duanya. Menurutnya, dengan tidak memilih itu adalah sebuah pilihan.

Sayangnya, apa yang diyakini Dimas sebagai pilihannya membawa­nya untuk pergi jauh dari tanah air ya­ng amat dicintainya. Konstelasi po­li­tik tahun 1965 berubah seketika saat terjadi pembunuhan terhadap jen­de­ral-jenderal terbaik Indonesia. Pem­bu­nuhan ini diyakini sebagai tindakan yang dilakukan oleh PKI. Akibatnya, se­gala hal yang berbau PKI saat itu terkena imbasnya.

Sebut saja Hananto Prawiro, ia meru­pakan sahabat Dimas sejak masa kuliah, rekan kerja di kantor Berita Na­si­onal, juga lelaki yang akhirnya menikahi Surti Anandari. Perempuan yang pernah begitu dicintai Dimas. Selain Hananto, ada Risjaf, Nugroho dan Tjai. Namun, Han yang paling tidak beruntung diantara mereka. Hananto adalah seseorang yang memilih untuk berhaluan kiri. Ia menyadari konstelasi politik Indonesia berubah drastis tahun 65. Saat itu, seharusnya ia bersama Nugroho pergi ke Santiago, Cile untuk konferensi wartawan internasional. Na­­m­un, akhirnya Dimas yang diminta pergi menemani Nugroho.

Dimas belum menyadari sepenuh­nya apa yang telah terjadi di tanah air. Sampai akhirnya sepulang dari Cile, Dimas dan Nug menuju Peking, China. Sesampainya disana, mereka mulai menge­­tahui apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Indonesia. Sesuatu yang lebih penting dari itu, paspor me­re­ka dicabut. Ini berarti, mereka tak bisa pulang ke tanah air. Keadaan yang sangat mencekam ditambah mereka mendengar kabar bahwa Mas Han, begitu ia akrab disapa telah men­­jadi buron dan daftar pencarian orang-orang kiri. Tidak hanya Han, seke­lo­mpok pemuda ini juga ikut dalam daftar pencarian orang kiri.

Keadaan ini, akhirnya membawa Dimas, Nug, Risjaf dan Tjai terdampar di Paris pada tahun 1968. Setelah sebelumnya mereka terlunta-lunta di Peking selama tiga tahun. Selama itu pula, mereka selalu mencari jalan untuk bisa kembali ke Indonesia dan dan mencari kabar tentang keluarga mereka masing-masing, keluarga Ha­nan­to dan Surti. Khususnya Dimas, Ia selalu merasa ketakutan dan dihantui rasa bersalah. Pasalnya, Dimas yang bukan seorang PKI dan tidak memilih menjadi golongan manapun harus menerima imbasnya. Bukan terhadap dirinya, tetapi terhadap keluarganya di Indonesia yang dianggap sebagai simpatisan PKI.

Kedatangan Dimas di Paris berte­pa­tan dengan Revolusi Mei 1968, re­vo­lusi yang digerakan oleh maha­sis­wa Universitas Sorbonne dan bebe­­rapa universitas di Paris lainnya yang melawan pemerintah Perancis. Saat itu, Dimas bertemu seorang pe­rem­­­puan Paris bernama Vivienne Deveraux. Gadis bermata biru dengan tata­pan tajam ini berhasil memikat hati Dimas. Hingga  akhirnya, Dimas menikahi Vivienne. Dari pernikahan ini, Dimas dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Lintang Utara. Lintang tumbuh menjadi gadis cantik dan cerdas perpaduan sempurna Dimas dan Vivienne.

Lintang dewasa yang juga kuliah di Universitas Sorbonne, akhirnya akan menyelesaikan masa studinya pada bidang sinematografi. Ia mengambil topik tentang keluarga eksil tahanan politik PKI tahun 65. Dengan bantuan kekasihnya, Naryana, Lintang berhas­il mendapatkan paspor menuju Indone­sia, tanpa mencantumkan nama Suryo dibelakang namanya.

Jakarta 1998 yang sudah jauh berubah dari tahun 1965 kini ada diha­da­p­an Lintang, tanah airnya. Berbagai peristiwa ia alami selama di Indonesia. Lintang juga menjadi saksi mata ten­tang salah satu peristiwa besar da­lam panggung sejarah Indonesia. Reformasi Mei 1998 yang menjatuhkan rezim Soeharto yang telah berkuasa 32 tahun.

Alur yang disajikan dalam novel fik­si ini ialah alur campuran. Kita bisa merasakan, bagaimana penulis mam­pu mengajak pembaca untuk merasa­kan berbagai lompatan dalam setiap tulisannya melalui surat-surat yang dibu­at oleh para tokohnya. Tokoh yang disajikan juga sangat hidup dan  kita seperti terlibat dalam berbagai perg­olakan yang ada di dalamnya. Mem­­baca pulang kita diajak membuka mata melihat sejarah yang terbungkam, dan  menelusuri kota-kota di Prancis.

Namun dalam novel ini, pembaca sempat dibingungkan oleh kata ganti aku. Kata ganti aku yang terkadang berubah menjadi Dimas, Lintang dan Vivienne sedikit membingungkan pem­­baca dalam novel ini. Terlepas dari itu, novel ini mengantarkan pembaca hingga titik klimaks akhir cerita, baha­sa yang digunakan penulis pun mudah dipahami. Selain itu, melalui sosok Dimas, Leila menyisipkan ba­nyak makna dan pembelajaran dalam hidup, terutama akan sebuah pilihan. Selamat membaca, selamat membuka mata!

Comments

comments