Karma dalam Lukisan

467
ilustrasi

oleh Ilham Mahendra *

“Kamu belum tidur juga?” suara itu membuyarkan lamunanku, mengendap-ngendap datang dari kegelapan. Ah, itu teguran istriku yang sebelumnya sudah terlelap dan entah melayang ke mana.

“Kamu tahu, ayam-ayam di luar sana sudah siap berkokok. Cobalah paksakan kedua kelopak matamu untuk memejam!” ia beseru.

“Aku tak bisa tidur,” jawabku santai.

“Apa yang membuatmu begini? matanya menatapku

“Aku tak tahu.”

“Sampai kapan kamu mau begini?” ia menunggu jawaban, namun aku tak menjawab.

“Budayakanlah mata merahmu itu! Kamu mau matamu memejam? Coba satukan kedua kelopak matamu, lalu kamu paku dengan ketukan palu!” lanjutnya dengan nada kesal, tak lama ia kembali tenang.

Aku tak bisa tidur, meski telah berguling-guling mencari posisi yang nyaman untuk melepas lelah. Gelisah selalu menggelayuti batinku setiap malam tiba, hampir dua bulan aku seperti ini. Detik-detik jam berputar meracau, merayap pada dinding di atas televisi. Aku tak tahu sekarang jam berapa, karena lampu kamar telah mati.

***

Angin berdesing di luar jendela. Daun dan debu memutar disapu angin. Bintang tak lagi memiliki tenaga, pertanda malam sudah begitu larut. Mataku tetap tak bisa memejam, meski telah berbaring di atas kasur yang cukup nyaman, kotak tidur berbahan jati dengan ukiran jepara, dan pendingin ruangan yang cukup menyejukkan.

Istriku asik memeluk guling di sebelah kananku, memakai piama putih bermotif kembang berwarna biru. Rambut panjangnya tergerai. Bola matanya yang indah telah ditelan kelopak matanya. Wajahnya jernih dan teduh, seperti embun yang menempel pada mawar. Mungkin sebelum tidur ia berdandan di meja rias yang posisinya tepat di sebelah kanan darinya. Memang, wanita selalu ingin terlihat cantik walaupun saat tidur. Ia selalu terbangun untuk mengigatkanku agar aku tidur. ”Aku tak bisa tidur,” selalu begitu jawabku.

Anak pertamaku keluar dari rahim wanita yang aku nikahi kurang dari tujuh tahun yang lalu. Aku jatuh cinta saat melihat kakinya yang mulus dan betis yang memesona, menyihir mata. Singkat saja aku berpacaran dengannya. Setelah itu, aku memutuskan untuk menikah karena tulang rusukku seperti memberi tanda, di dialah bagian dari tulang rusukku yang hilang. Keluarga kecilku menjadi keluarga yang sempurna saat Anila muncul ke bumi, menangis dengan darah yang menempel di tubuhnya yang kecil. Umurnya kini enam tahun. Anak yang tumbuh begitu pandai, memiliki bakat melukis yang juga aku miliki.

“Nak, aku tak mau matamu melihat dan telingamu mendengar. Kehidupan bukanlah kejadian yang terjadi. Jalan beraspal tak pernah hilang meski sudah jutaan rintik hujan menimpanya. Jalan itu selalu membawa pikiranku di masa pada lalu.”

***

Setelah lulus dari universitas di Jakarta, aku membuka galeri lukisan. Galeri itu tepat di sebelah kanan dari kediamanku, hasil warisan dari orang tua. Di sana berkumpul kawan-kawan dan para seniman amatiran. Bercicit bagai burung, berbincang hingga pagi, dan berdiskusi tetang karya masing-masing. Kegiatan itu terus dan terus berulang, seperti matahari yang diganti bulan dan bulan yang ditukar matahari.

Andi, kawanku yang melihat kehidupanku tak ada variasi setiap hari, mengajakku pergi. “Hidupmu tak selamanya ada di geleri, kau harus lihat dunia luar! Ayo Tam, ikutlah denganku!” begitu ucapnya. Sekejap perkataannya membuat aku menjadi bebek yang nurut digiring pemiliknya. Kami membelah malam, menunggang vespa tua milik Andi berwarna biru telur asin. Karat yang tersebar di beberapa bagian, suaranya cempreng seperti suara almarhum Ibu yang selalu tak bosan mengomeli dan tak tahu di mana ujungnya.

Kami berhenti di sebuah tempat yang remang, berhias lampu cabai yang berkelap-kelip. Musik berdetak kencang, ditambah suara cekikikan wanita-wanita yang nampak tak kedinginan memakai pakaian yang begitu minim, padahal angin malam menyetubuhi mereka. Aku masih samar menebak.

“Tam, kau pilih-pilih saja dulu. Kalau cocok langsung kau bawa ke kamar yang di belakang situ!” ajak Andi sambil menggiring telunjuknya ke arah sebuah kamar dengan gorden yang nampak kumal.

Aku masih bingung, sembari menebar pandang ke setiap sudut tempat ini. Para wanita terpajang seperti aksesoris dalam etalase toko. Tiba-tiba seorang wanita menghampiri. “Mila,” menyodorkan tangan dengan berani. “Aku di suruh bang Andi menemanimu,” ucapnya menggoda.

Bagai anak kecil yang tak tahu apa-apa, aku mengikutinya. Dibawanya aku ke dalam sebuah kamar dengan lampu kuning lima watt yang menyala remang. Tangannya menghempas tubuhku ke sebuah kasur yang busanya bermunculan di tiap sudutnya, bagai jamur di batang pepohonan. Berikutnya hanya desah dan lenguh yang terdengar pada malam panjang. Malam makin bising di luar sana, suara musik makin keras.

Aku lekat pada nikmat yang gelap, bagai menikmati fermentasi anggur yang begitu memikat melewati tenggorokan dan memabukan otak. Hiruk pikuk kehidupan berubah. Kini setelah malam menampkan diri, aku bersiap menuju tempat yang Andi kenalkan, kemudian pulang dengan keadaan mabuk berat. Tak ada sesal, walau lukisanku terbengkalai. Mila, Rita, Ina, Masya, Wiri, Susi, Bella dan lainnya sudah aku hisap sari madunya. Hingga aku mulai mendapatkan tempat yang istimewa di sana.

Semakin lama aku merasa bosan. Rasa bosan itu bagai malaikat penyelamat diriku yang tercebur pada lumpur hisap dalam mencari oasis di padang berpasir. Berangsur-angsur aku kembali kekehidupan lama, sebagai seniman amatir. Satu bulan begitu berat. Dua bulan hanya berat saja. Tiga bulan lumayan terasa ringan. Tujuh bulan kembali kebiasa.

***

Terdengar kokok ayam dari kejauhan. Istriku bangkit dari kasur. Mukanya nampak datar dengan rambut yang terlihat masai. Melangkah menuju kamar mandi yang berada dalam kamar tidur kami. Dua bulan kebelakang, aku tak merasakan kecupan ucapan selamat pagi darinya. Sungguh aku sangat rindu kecupannya.

       Minggu yang cerah. Semburat cahaya matahari tampak bagai senyum bayi yang telanjang dijemur ibunya sambil menyusu. Aku beranjak menuju serambi rumah. aku tak merasa mengantuk, meski semalaman aku tak memejamkan mata.

Si kecil Anila muncul. Matanya sembab, memeluk boneka kelinci kesayangannya. Rambut keritingnya makin terlihat kusut.

“Kamu sudah bangun, Nak?” aku tersenyum padanya.

Ia hanya mengangguk.

“Mandi dulu sayang, setelah itu sarapan!”

Ia hanya mengangguk.

“Minggu ini cerah. setelah siap mulailah berlatih naik sepeda lagi!”

Ia hanya mengangguk. Mengapa ia selalu dingin menghadapiku? Ia melihatku seperti orang lain. Tak lama Anila berlari masuk ke dalam rumah.

Matahari perlahan meninggi, udara terasa semakin hangat. Aku teringat galeri lukisku, sudah lama aku tak mengunjunginya. Setelah delapan anak yang aku lukiskan terpajang, aku meninggalkannya. Setelah lukisan anakku tergantung pada dinding kamarnya, aku semakin meninggalkannya.

Tanpa mandi aku menuju pagar dan membuka pagar rumah yang berwarna hijau. Istriku yang memilih warna catnya, saat ia memiliki waktu lengang seperti sekarang. Dulu ia adalah wanita yang tak betah di rumah, entah apa yang ia kerjakan? Aku menuju samping rumah, di sanalah galeriku. Terlihat tamannya tak terus, ilalang dan tanaman liar tumbuh sesukanya. Cat berwarna kopi susu mulai terkelupas dibeberapa bagian, mungkin terserang cuaca.

Aku masukan kunci, sangat kesat setelah berbulan-bulan terabaikan. Kunci itu terlihat berkarat, seperti sebuah noda yang melekat pada kenangan. Pintu menjerit, langkahku mendalam. Galeriku telah dihuni kecoa, laba-laba, dan semut. Lantainya kusam, langit-langitnya berpulau, dan debu nampak seperti pasir di pantai. Aku melihat anak-anak yang menagis dalam lukisan yang berdebu. Mereka begitu indah, seperti sekelompok kupu-kupu berwarna  diimajinasiku. Terbang ke sana kemari, mencari manis pada bunga.

Pada pojok kanan galeri, terpampang lukisan 40×40 cm dengan gambar anak kecil yang mengusap air mata dengan tangan kirinya. Tak nampak kedua matanya. Rambutnya cepak dan warna kulitnya seperti warna kulitku yang sawo matang. Anak itu mengenakan baju warna biru, ukurannya tak sesuai dengan ukuran badan kecilnya. Di sebelahnya lukisan gadis kecil yang cantik dengan pipi merah merona. Ingusnya keluar dari lubang hidung yang nampak seperti lubang pohon yang dipatuki burung pelatuk. Bajunya berwarna merah jambu bermotif polkadot. Rambutnya dikepang dua. Gadis yang manis sehabis menangis. Matanya tak bulat segar seperti tomat ceri, layu mirip mataku

Di dinding pojok sebelah kiri tergantung lukisan yang tak begitu besar, bergambar lelaki kecil dengan kepala mengenadah ke atas sambil memegang ranting pohon. Rambutnya lucu, berponi rata. Terlihat jelas bulir air menetes pada matanya. Hidungnya mirip dengan hidungku. Hidung yang cukup besar, seperti jambu air yang warnanya sedikit merah. Di sebelahnya lukisan wajah anak tambun yang menangis terisak. Mulutnya terbuka lebar dengan gigi yang tumbuh tak lengkap. Rambutnya pendek kira-kira 2cm. Pipinya tembam, seakan menyimpan dua buah bola kecil di antara gusi dan pipi bagian dalam. Bibirnya yang tebal mirip dengan bibir yang melekat di wajahku.

Pada samping lukisan bocah tambun, tergantung lukisan wajah perempuan imut. Kedua matanya tertutup seperti anak yang berjaga dalam permainan petak umpet. Rambutnya pendek, memakai baju hijau bergambar katak di atas teratai. Wajahnya tirus, mirip dengan wajahku. Lalu di antara dinding kanan dan kiri tergantung sebuah lukisan anak kembar laki-laki saling berangkulan. Bajunya terlihat sama. Baju kodok berwarna biru kusam. Rambutnya belah dua, potongan rambut itu membuat keningnya yang jenong terlihat jelas, seperti keningku yang seakan menyimpan dua bukit.

Tepat di seberangnya terpampang sosok anak kecil yang bercucuran air mata. Jari telunjuknya menunjuk tegas seperti menyalahkan diriku jika aku memandangnya. Wajah dan warna kulit yang mirip dengan anakku dan wajah masa kecilku, bahkan nampak sama.

Anak-anak yang aku lukisan itu berasal dari mimpi, setelah tujuh bulan meninggalkan dunia yang gelap. Entah kenapa, selalu tentang anak kecil yang menangis tersedu. Mereka seakan memarahi, mengomeli dan menuntutku.

“Mereka bagai bunga-bunga kertas yang gugur, terseok di atas jalan yang berkerikil. Sementara burung-burung yang terlintas hanya lewat, tak membawa hidup yang berguguran ke atas pohon pinus yang menentang tinggi ke langit. Agar mereka dapat melihat bahwa bumi ini memang pasti.”

***

Aku ingat lukisan anakku tentang orang dewasa yang bengis, entah siapa mereka? Mereka bukan temanku, bukan ayah dari teman anakku, dan bukan guru-guru di sekolahnya, atau mungkin mereka teman istriku? Istriku tak pernah mau melihat, walau hanya menolehkan wajah. Lukisan itu terpajang pada kamarnya, lima wajah orang dewasa yang tak ia kenal. Seperti yang aku rasakan dulu, hanya kenal dalam mimpi.

Di dekat meja belajar tergantung satu lukisan wajah dengan kumis tipis, matanya melotot, alis terangkat, dan rambutnya yang terlihat klimis. Di sampingnya tergambar wajah bengis lainnya, matanya sipit tajam. Alis tebal, dan rambut yang tipis. Kemudian, di depannya tergantung lukisan seseorang dengan kumis tebal, dagu berjanggut, alis terangkat, hidung yang besar, dan rambut kriting beruban. Di sampingnya orang dengan rambut setengah botak, wajah layu, matanya belo, bibir hitam legam, dan banyak bekas jerawat di pipinya.

Semua lukisan itu selalu bermuka jahat, bengis, dan galak. Ia tak pernah takut meski lukisan itu memandangi dan mengikuti gerak-geriknya. Anila bertemu dengan mereka dalam mimpi, sikap mereka dingin menghadapi anakku. Begitulah ceritanya padaku meski tak banyak.

Satu lagi wajah berwatak jahat dalam lukisan anakku, ia pajang dekat potret dirinya saat belajar merangkak. Rambut, mata, hidung, alis, bentuk wajah, kening, bibir, dan warna kulit yang sangat mirip denganku. Semua lukisan-lukisan itu, membuat aku gila. Membuat aku tak bisa tidur. Entah pertanda apa dan apa maksudnya?

***

“Kamu akan tetap menjadi seniman amatir, suamiku. Seorang seniman seharusnya bisa peka terhadap sesuatu yang terjadi di sekelilingnya. Aku akan berusaha menina-bobokan dirimu pada setiap malam gelap. Lekaslah lepas sisi amatirmu, sebab semua manusia pasti pernah atau akan luput dari apapun. Memilih untuk mencintaimu adalah pilihan untuk tak menjadi jalang. Semua telah terjadi, lekaslah tidur!”  ucapku dalam hati, saat terbangun mengingatkannya agar tidur. [*]

 

Bandung, 11 Mei 2013

 

Ilham Mahendra*, lahir di Jakarta pada tanggal 6 juni 1992. Tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Kini bergiat dalam komunitas sastra Cengos Si dan CD Teater. Pendatang baru dalam dunia Sastra Indonesia, karyanya tersiar di media massa. Penulis dapat dihubungi di alamat email ilhammahendra6692@yahoo.com

 

Comments

comments