Performance Art, Bentuk Lain Perlawanan
Bumi Siliwangi, isolapos.com–
Siang itu, udara yang panas tak menyurutkan niat dua mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) untuk melakukan performance art di sekitaran kampus pencetak guru itu. Sambil menenteng kertas, cat poster, kuas, korek api, pilox bening, dan bingkai kosong, Irnal Sugama dan Salsa Soli Nafsika berjalan dari arah gedung lama Fakulas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) menuju bagian belakang gedung FPBS baru. Dinding gedung yang terbuat dari batu alam pun, mereka jadikan tempat untuk beraksi.
Secara bergantian, dua pemuda Jurusan Pendidikan Seni Rupa ini memasang lakban hitam pada mulut masing-masing. Dengan lakban hitam dan double tape, Irnal menempel lembaran kertas berukuran A4 di dinding batu. Angin berhembus membuatnya kesulitan menempel kertas itu. Hingga tiga menit kemudian, kertas berhasil ditempel hingga membentuk persegi berukuran 1 x 1,5 meter.
Salsa yang akrab disapa Esa, mulai menaiki tangga disamping dinding batu sambil membawa korek api dan pilox. Tangan kirinya menggenggam korek api sementara yang lain memegang pilox. Kobaran api muncul ketika Esa menyemprot pilox ke langit sembari memantik korek. Sementara itu, Irnal menulis “WANTED DICARI TENAGA PENDIDIK/GURU SERIDHONYA !” dengan cat poster berwarna merah menyala. Kata “DUIT” ditulis Irnal memenuhi kertas itu.
Selesai Irnal menulis, Esa langsung menyemprotkan pilox ke arah kertas. Tulisan itu lenyap dalam kobaran api menandakan performance art telah berakhir. Aksi selanjutnya mereka lakukan di depan Koperasi Mahasiswa Bumi Siliwangi (KOPMA BS) UPI. Mereka memajang karton coklat di pagar labschool UPI yang menghadap ke arah KOPMA BS. Dengan lakban membungkam mulut, Irnal menulis kalimat yang sama. Kemudian, keduanya meninggalkan tulisan itu tanpa membakarnya. Aksi ini, sontak mengundang perhatian mahasiswa yang sedang menyantap makan siang di KOPMA BS.
“Mungkin tujuan aksi ini sebagai bentuk demo supaya guru dihargai pemerintah,” ujar Mahasiswi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Nopita yang saat itu sedang makan siang di KOPMA BS UPI. Semula, itu menduga apa yang dilakukan oleh Irnal dan Salsa adalah demo mahasiswa. Namun, ia heran ketika aksi itu selesai tak jua muncul massa yang berteriak-teriak seperti demonstrasi mahasiswa yang biasa dilihatnya.
Kepada isolapos.com, Irnal mengatakan bahwa aksi ini ditujukan sebagai bentuk kritik mereka terhadap kinerja sekelompok guru yang bekerja sebatas tuntutan profesi dan kebutuhan ekonomi. “Profesi guru sekarang hanya dijadikan sebagai mata pencaharian,” tambah Salsa, usai melakukan performance art. Mereka pun menyayangkan sikap guru yang hanya mengajar namun tidak mendidik. “Tulisan duit dibakar itu menandakan pendidik sekarang yang hanya membutuhkan uang,” tandasnya 27 November lalu.
***
Aksi performance art, yang dilakukan Irnal dan Salsa ini memang masih menjadi hal baru bagi sejumlah mahasiswa UPI. Meski begitu, kegiatan ini marak diperbicangan sivitas akademika. Seorang dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa UPI, Warli Haryana mengatkan bahwa performance art merupakan bentuk dari ketidakpuasan manusia dengan media seni dua dimensi. “Hal itu merupakan tanda bahwa seniman berusaha melewati batas dua dimensi,” papar Warli.
Hal lain disampaikan Dosen Seni Murni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Nandang Gumelar Wahyudi atau lebih dikenal dengan Nandang Gawe. Menurutnya, jika menilik sejarah masuknya performance art ke Indonesia, kegiatan ini awalnya bukan merupakan gerakan seni, melainkan gerakan-gerakan perlawanan seseorang.
Ditemui dikantornya saat matahari sudah menggelincir kea rah barat, Nandang menuturkan bahwa pada awal kemunculannya, performance art di Eropa merupakan bentuk perlawanan terhadap modernisme. Dan hal itu dilakukan oleh sejumlah kalangan diantaranya, dokter, pengusaha, termasuk seniman. “Performance art itu memang bukan hanya milik seni rupa,” ujar Nandang.
Nandang juga menambahkan, performance art adalah ruang abu-abu yang terbuka untuk semua kalangan termasuk mahasiswa. Bahkan di luar negeri, lanjutnya, seperti di Jepang ada festival performance art yang dilakukan masyarakat Jepang. “Mereka itu bukan dari bidang seni rupa tapi pedagang,” tuturnya.
Mengenai definisi pasti performance art, Nandang berpendapat, jika ada teori pasti mengenai performance art maka akan selalu ada pembanding lain terhadap pernyataan tersebut. Ia membandingkan performance art dengan performing art. Menurutnya, Performance art selalu terkesan natural, namun dalam performing art atau seni pertunjukan terkesan dibuat-buat. “Jika terluka, maka harus dilukai. Jika dia tua maka orang itu memang orang tua bukan rekaan atau riasan,” paparnya sore itu.
Nandang yang juga merupakan pelaku performance art mengatakan bahwa seorang seniman performance art harus memperhitungkan segala apa yang diperbuatnya dalam sebuah konsep. Sehingga, apabila terjadi hal yang tidak inginkan, maka orang tersebut tidak akan menyesal. “Di satu titik performance art memperbolehkan segala hal, namun tentu dengan memperhitungkan resikonya juga,” katanya. [Karolina Ketaren]