G 30 S, Tragedi dalam Sejarah Indonesia
Bumi Siliwangi, isolapos.com– “Gerakan 30 September 1965 adalah tragedi,” ucap Tito Wardhani, selaku pemateri dalam diskusi G30S yang diadakan Himpunan Mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah (Himas) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Rabu, (30/9) di Selasar Sekretariat Himas, Gedung Geugeut Winda(PKM) UPI.
Tito mengungkapkan situasi kala itu luar biasa rumit, ditandai dengan Ganyang Malaysia. Kondisinys, hanya Jendral Abdul Haris Nasution yang mendukung gerakan Gayang Malaysia dilaksanakan. “Kala itu yang mendukung keputusan Soekarno (Ganyang Malaysia-red) adalah PKI (Partai Komunis Indonesia-red),” ucap Tito. Selanjutnya Tito mengatakan, setelah itu, terjadi perang isu antara TNI maupun PKI, karena adanya mencurigai kubu lainnya. “PKI bilang, Dewan Jendral (bentukan TNI-red) adalah salah satu cara tentara untuk mengkudeta Soekarno. TNI bilang, angkatan perang kelima, yaitu persenjatai buruh dan tani adalah untuk mengkudeta Soekarno,” ucap Tito.
Puncaknya, 30 september 1965, Tito melanjutkan, Soekarno ingin mempertemukan jendral dan PKI mengenai isu Dewan Jendral dan persenjatai tani di Bandara Halim, namun gagal. Lalu, cakrabirawa (pengawal presiden) diminta untuk menjeput para jendral, sayangnya, Ahmad Yani menolak. Tito Menjelaskan kebiasan PKI dalam melakukan infiltrasi sampai ke cakrabirawa, sehingga intrik itu mengakibatkan terbunuhnya Ahmad Yani. “Karena satu sudah mati, kagok, (bunuh) semua,” ucap Tito.
Alija Izetbegovic, Mahasiswa Departemen Pendidikan Sejarah menyetujui hal tersebut, menurutnya, dimasa itu PKI memang tengah banyak berkonflik termasuk dengan golongan Islam, khususnya Nahdathul Ulama (NU). “Kalau PKI dulu punya CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), NU punya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), PKI punya Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), NU punya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia), semua seperti sejenis Cold War (perang dingin),” ucap Alija.
Tito menanggapi kembali, bahwa perang dingin antara PKI dengan Islam, itu pasti terjadi. pasalnya tahun 1965, entah mengapa, organisasi underbouw PKI melakukan klaim tanah sepihak, salah satunya tanah pesantren. “Ya jelas, mana mau mereka (golongan agama-red) diambil tanahnya, disitu konflik dimulai,” ucap Tito.
Dikusi ditutup dengan closing statement dari Tito, dalam membuat asumsi buruk tentang PKI dalam tragedi G 30 S, Orde Baru menjadikan Hari Kesaktian Pancasila sebagai sebuah cara untuk mendoktrinasi rakyat. “Semua tragedi pasti ada kambing hitam,” kata Tito.
Akhir diskusi, Kepala Bidang Pendidikan Himas, Dwi Nur Akbar, menyebutkan selain mengenang peristiwa G 30 S, tujuan diskusi ini untuk menambah wawasan mahasiswa. “Ini (diskusi) agar kita bisa memahami, memperjelas peristiwa sejarah,” ucap Dwi. [Faika Muhammad A]