[FAIKA MUHAMMAD A]
Bali, isolapos.com,-Bali, sebuah provinsi yang terletak di sebelah timur Pulau Jawa ini merupakan satu daerah yang memiliki karakter khas. Di era modernisasi seperti sekarang, Bali masih menjaga nilai adat istiadat leluhurnya.
Sebagai contoh, Kampung adat Panglipuran di Kabupaten Kintamani. Kampung ini memiliki keunikan tersendiri dibanding kampung lain di Bali. Sesuai dengan namanya, kampung ini diberi nama Panglipuran karena berasal dari kata “Pengeling Pura”, yang berarti tempat suci untuk mengenang leluhur.
Masyarakat Panglipuran percaya pada falsafah “Tri Hitakarana”. Falsafah ini mengajarkan agar masyarakat menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dan tuhan, dan manusia dan sesamanya. Untuk menjaga hubungan keharmonisan itu, masyarakat Panglipuran memiliki cara tersendiri. Hal itu diutarakan Kepala adat Panglipuran, I Wayan Supat, ketika ditemui Redaksi isolapos.com pada 15 Mei 2015. “Karena di desa kami, kami percaya bahwa pada dasarnya tetangga adalah saudara terdekat,”tutur I Wayan Supat.
Ia menambahkan, nilai kearifan lokal itu merupakan warisan yang mereka jaga dari para leluhurnya. Hal ini nampak tercermin pada tata pemukiman warganya. Setiap rumah disusun secara simetris saling berhadapan. Selain itu untuk semakin menjaga keharmonisan antar warga, mereka sengaja membuat jalan khusus dibelakang rumah untuk saling berinteraksi satu sama lain.
Di Kampung Panglipuran semua masyarakat harus beragama Hindu. Karena, jika sudah bukan lagi Hindu, maka tidak diperkenankan lagi tinggal disana. Seperti halnya kampung adat yang lain, Kampung Panglipuran pun memiliki ritual keagamaan yang tetap dijaga hingga kini. Semisal upacara Ngusabe. Ngusabe adalah upacara yang bertujuan untuk menyambut Hari Raya Nyepi. Dalam upacara ini, masyarakat membuat kue bantal sebanyak-banyaknya untuk dipersembahkan kepada dewa yang mereka yakini melalui pura desa. Pura itu dikenal dengan nama Pura Penataran yang dipercaya masyarakat tempat singgahnya para dewa.
Selain Ngusabe, setiap 15 hari sekali, masyarakat disana bersembahyang di setiap pura yang ada di desa. Hal ini juga diakui oleh warga setempat sebagai ajaran yang diwariskan leluhur mereka. “Ya ini sudah ada dari sejak kakek saya dulu,”ucap I wayan Supat.
Tak hanya dalam penataan fisik pemukiman dan ritual keagamaan, kearifan lokal dalam tatanan kehidupan sosial pun turut mereka perhatikan. Kampung adat Panglipuran memiliki budaya dan tradisi untuk menghormati wanita. Masyarakat menerapkan peraturan yang melarang pria berpoligami (berpasangan lebih dari satu,-red).
I Wayan Supat menuturkan, peraturan tersebut adalah tradisi leluhur untuk menghormati baik pria maupun wanita. Meskipun dalam agama Hindu tidak dilarang. Ia menegaskan, ini usaha untuk saling menghormati semua jenis kelamin. “Karena pada dasarnya, semua kami pandang sama,” ujarnya.
I Wayan pun menambahkan bahwa bagi siapapun yang melanggar peraturan itu akan diasingkan ke sebuah tempat terpencil di ujung desa. “Yang pasti gak ada yang maulah de,”pungkasnya.