Kejahatan Seksual Tak Bisa Ditolerir

357

“Indonesia darurat kekerasan seksual”, tagline tersebut muncul setelah sejumlah kasus kekerasan seksual ramai terjadi dan diperbincangkan diberbagai media dalam kurun waktu terakhir. Hingga saat ini, kasus pelecehan hingga kekerasan seksual masih saja terjadi. Dilansir dari situs www.kpai.go.id, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat korban pelecehan seksual meningkat setiap tahunnya. “Dari 2013 ke 2014 itu naiknya 100 persen, baik itu mereka yang jadi korban atau pun pelaku,” ujar Sekretaris KPAI Rita Pranawati, Maret 2016 lalu.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam www.bbc.com mencatat pada tahun 2015 terdapat 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan -berarti sekitar 881 kasus setiap hari. Angka tersebut didapatkan dari pengadilan agama sejumlah 305.535 kasus dan lembaga mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus. Menurut pengamatan mereka, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat 9% dari tahun sebelumnya.

Kekerasan seksual termasuk bentuk kekerasan paling menonjol sampai sejumlah kalangan menilai Indonesia sedang berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Sebagian kasus terungkap, bahkan beberapa terjadi di dunia pendidikan. Seperti pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta Internasional School pada tahun 2014, kasus pelecehan Emon kepada anak dibawah umur di Sukabumi, hingga kasus pencabulan yang menimpa Yuyun dan Eno yang terjadi pada pertengahan Mei 2016 lalu. Ironisnya, dalam sebagian besar rangkaian kasus kekerasan seksual yang terjadi, pelaku dan korbannya adalah anak di bawah umur.

Menyikapi kondisi yang memperihatinkan ini, pemerintah tak tinggal diam. Presiden sendiri telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu tersebut salah satunya berisi sanksi tambahan bagi pelaku berupa kebiri. Namun hukuman kebiri bagi pelaku masih menjadi perdebatan berbagai pihak.

Reporter isolapos.com, Argia Fadillah dan Nurul Yunita, berkesempatan untuk berbincang dengan Dosen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Yusi Riksa Yustiana. Menurutnya, pelecehan hingga kekerasan seksual yang dilakukan oleh siapapun pada dasarnya tidak dapat ditolerir.“Kekerasan seksual dan kekerasan lainnya itu adalah hal yang tidak bisa kita tolerir dalam kehidupan bermasyarakat,”ujar Yusi disela-sela kesibukannya saat ditemui isolapos.com di kantornya, Rabu (08/06). Ia pun menuturkan pandangannya tentang faktor pemicu terjadinya penyimpangan sosial tersebut. Berikut petikan perbincangannya.

Faktor apa yang menyebabkan kasus kekerasan seksual terjadi? Bahkan beberapa kasus terjadi dalam dunia pendidikan.

Saya melihatnya dia (pelaku), kalaupun memiliki profesi di bidang pendidikan tetap dia sebagai individu yang melukan kekerasan seksual. Sebagai individu – dilihat dari kapasitas, kriteria, kompetensi yang ada pada seorang pendidik- tidak seharusnya orang tersebut melakukan perilaku seperti itu. Faktornya sih lebih pada dimensi pribadi dia.

Ada kemungkinan dia pernah mengalami tindak kekerasan seksual sebelumnya. Karena pada kasus-kasus tindak kekerasan itu menular, orang yang memperoleh satu tindak kekerasan seksual akan melakukan tindak kekerasan berikutnya. Kedua, mungkin memang dia tidak tersalurkan kebutuhan-kebutuhan seksualnya. Ketiga, memang sakit. Artinya dia memiliki penyimpangan bahwa dia memang ingin memenuhi hasrat seksualnya dengan cara-cara yang tidak sehat.

Bagaimana pengaruh lingkungan sosial pelaku?

Iya, saat ini banyak faktor dari lingkungan yang membentuk terjadinya kasus kekerasan seksual, dibandingkan dari dalam diri individunya sendiri. Karena orang yang punya hasrat seksual yang sangat tinggi itu hitungannya 10.000 banding 1. Ya malah lebih dari itu. Hanya 0,13 persen dari setiap 100.000 orang, berarti kan sedikit banget.

Indonesia “Darurat kekerasan seksual”, tanggapan Anda?

Indonesia darurat kekerasan seksual itu di keluarkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2014 karena jumlah kasus tindak kekerasan seksual sangat banyak sehingga memang dikatakan darurat kekerasan seksual. Tahun 2014 banyak sekali kasus-kasus kekerasan seksual pada anak-anak sehingga dikatakan darurat kekerasan seksual dan sampai sekarang 2016, itu belum copot malah sampai kemarin pemerintah harus mengluarkan Perpu ( Peraturan Pengganti Undang-undang,-red).

Menurut Anda, apakah tambahan pidana kebiri bagi pelaku akan membuat jera?

Saya sih masih gak paham tentang kebiri itu walaupun ada tahapan-tahapannya. Persoalannya adalah apakah lalu seseorang yang di kebiri menjadi tidak lagi memiliki hasrat seksual? Kalau dia sebenarnya masih punya hasrat seksualnya, yang diperlukan itu penghilangan hasrat seksualnya. Kalau misal alat kelaminnya tidak berfungsi, tapi tangannya masih berfungsi? ya tetap saja kekerasan seksual bisa dilakukan.

Jadi kalau saya sih harusnya hasrat seksualnya yang dihilangkan. Kebiri itu tidak menghilangkan hasrat seksual tapi hanya menghilangkan fungsi organ seksual. Kalau pelakunya adalah anak maka kita juga harus melihat dari perspektif anak, karena sebetulnya setiap anak punya dimensi baik. Artinya dia punya kesempatan untuk merecovery diri.

Lalu, untuk korban bagaimana penanganan yang semestinya dilakukan?

Satu, kebutuhan korbannya harus dipenuhi. Kemudian recovery sosial, recovery psikologis harus dipenuhi dulu. Setelah itu, dia juga harus memperoleh keadilan pada saat pelakunya memperoleh hukuman. Tapi yang jelas rehabilitasi itu sangat perlu untuk korban baik rehabilitasi fisik maupun rehabilitasi mental. Recovery dan rehabilitasi fisik, mental dan sosial itu penting sekali.

Apa yang bisa dilakukan mahasiswa UPI dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual?

Anda harus peduli membina masyarakat disekitar Anda. Membina anak-anak paling tidak Anda harus berani. Sekarang ini masyarakat kita permisif (serba membolehkan,-red). Di tempat-tempat gelap, anak cowok dan anak cewek nangkring berduaan, dibiarin aja.

Banyak yang bisa di lakukan. Sebagai mahasiswa ‘kan agen perubahan, sebagai mahasiswa UPI bukan hanya agen perubahan tapi agen terdidik. Kalau setiap mahasiswa UPI punya 10 aja anak binaan yang dibina dengan baik, cara pendidikannya yang benar. Melakukan aktivitas yang bisa mengajak masyarakat. Paling nggak Anda bikin perpustakaan kecil di depan rumah Anda, cari buku-buku yang bagus untuk anak-anak. Jadi, ayo dong peduli, peduli, peduli. Jangan nunggu KKN (Kuliah Kerja Nyata) doang.[]

Comments

comments