Adat Masa Lalu dan Pemikiran Masa Kini

124

Oleh: Yunita Ayu

Judul      : Puya ke Puya

Penulis   : Faisal Oddang

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

Terbit     : Oktober 2015

Tebal      : 215 Halaman

ISBN     : 978-979-91-0950-7

Puya ke Puya karya Faisal Oddang membawa budaya lokal Toraja ke dalam karyanya. Novel yang mengangkat lokalitas tersebut menjadi pemenang IV sayembara menulis DKJ 2014. Kisah Puya ke Puya berawal dari kematian Rante Ralla, seorang ketua adat Kampung Kete, Toraja yang juga keturunan bangsawan. Konflik dimulai saat keluarga Ralla mengadakan rapat. Allu Ralla yang sedang berkuliah di Makasar juga pulang ke kampungnya dan memimpin rapat tersebut. Ia mengatakan akan memakamkan Rante Ralla, ayahnya di Makasar. Keluarga besar Ralla menentang. Mereka ingin rambu solo, pemakaman khas Toraja untuk Rante Ralla agar jalannya menuju Puya (surga) mudah.

Allu berpikir bahwa rambu solo sudah pasti akan menghabiskan banyak biaya. Tak hanya itu saja, Allu tahu alasan mereka yang tetap ingin mengadakan rambu solo hanya untuk nama baik dan gengsi keluarga Ralla. Bukan demi sang ayah.

“Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak, dan saya pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan,” (hal 20).

Begitulah pikir Allu. Perdebatanpun terjadi. Mereka tetap ingin agar rambu solo digelar. Paman Marthen, adik Rante Ralla sangat emosi mendengar pendapat dan keinginan Allu tersebut.

“Apa yang kau pikirkan?” Paman Marthen menudingku dengan telunjuknya yang bengkok. “Apa yang sudah racuni pikiranmu? Kau kuliah untuk ini?”

“Saya kuliah sastra bukan kuliah gengsi, dan seharusnya Paman, atau siapapun orang Toraja berpikir seperti saya. Kalau tidak bisa, ya kenapa dipaksa, toh yang jelas Tuhan tidak pernah marah soal itu,” (hal 22).

Rapat ditunda untuk sementara. Paman Marthen memberikan solusi agar Allu menjual tanah tongkonan-nya (rumah) ke perusahaan tambang. Hasilnya bisa digunakan untuk rambu solo ayahnya. Perusahaan tersebut sangat ingin membeli tanah milik Rante Ralla, karena tanah dan tongkonan itu menghalangi akses jalan perusahaan. Allu menolak dan sangat marah dengan sikap pamannya yang bekerja sama dengan Pak Soso dan orang-orang tambang.

Hal yang tak terduga terjadi. Allu bertemu dengan Mallena, wanita yang sangat ia cintai sejak SMA. Mallena, seorang anak kepala desa membuatnya jatuh cinta kembali. Mereka berdua berencana menikah. Allu tidak tahu bahwa Mallena bersekongkol dengan Pak Soso dan Mr. Berth.

Dalam adat toraja tidak baik digelar rambu tuka ? upacara kesenangan seperti pernikahan sebelum digelar rambu solo sebagai upacara kesedihan. Allu tahu tentang itu. Keteguhan hatinya untuk tidak menjual tanah warisan sirna. Rambu solo akan ia gelar demi menikah dengan Mallena. Namun, hasil penjualan tanah tentu tidak cukup untuk membiayai semuanya.

Rapat keluarga Ralla kembali dilakukan. Allu memberitahu keluarga besarnya bahwa ia akan membuat rambu solo. Rapat berjalan lancar. Akan tetapi, masalah kembali menimpa keluarga Ralla, khususnya Allu. Pihak perusahaan tambang akan meratakan tongkonan milik Rante Ralla untuk segera dibangun jalan sebagai akses jalan truk-truk tambang. Allu panik. Hal itu tidak sesuai dengan kesepakatan. Pak Soso dan Mr. Berth tentu tahu bahwa tanah warisan akan dikosongkan setelah rambu solo usai. Keluarga Ralla emosi dan akan melawan. Sementara itu, Ibu Allu tak henti-hentinya menangis. Ia merasa telah dikhianati oleh anaknya.

Keluarga besar Ralla kembali berkumpul untuk membicarakan tanah dan tongkonan. Kali ini, Ibu Allu yang angkat bicara dengan air matanya yang terus bercucuran. Ia membongkar rahasia penyebab kematian suaminya. Ia sedih dan kecewa terutama kepada Allu yang telah menjual tanah warisan peninggalan leluhur. Tanah yang sangat diperjuangkan oleh ayahnya hingga berujung maut.

“Rante meninggal karena diracun Soso dan bule keparat itu. Rante diracun, mereka sakit hati, mereka mau tanah dan tongkonan ini….” (hal 188).

Keluarga besar Ralla marah, tak terima. Kerabat dan warga Kampung Kete mulai menyusun strategi pembalasan. Mereka sepakat untuk membakar lokasi penambangan. Pihak tambang dan warga Kampung Kete kini berseteru. Konflik antara mereka tak terbendung lagi.

Faisal Oddang sangat apik menghadirkan interaksi antara dunia nyata dan dunia arwah. Meski tidak terjadi interaksi ataupun percakapan secara langsung, tapi terdapat keterjalinan antar keduanya. Selain itu, Puya ke Puya memberikan kesegaran baru terhadap kesusasteraan Indonesia. Ide yang mengangkat lokalitas, tipe penceritaan yang unik dan alur yang menarik membuat novel ini tidak akan bosan untuk dibaca. Pembaca juga diajak berkenalan dengan budaya Toraja yang memikat.[]

Comments

comments