Ephemeral Bagian Satu

186

Oleh: Dinan Anshary*

*) Mahasiswa Pendidikan Bahasa Perancis

Pagi hari itu Kara terbangun karena mendengar nada dering di handphone-nya berbunyi. Walaupun sebenarnya ia masih mengantuk, tapi ia paksakan untuk membuka mata.

“Ini siapa sih pagi buta begini udah nelpon?” ujar Kara bertanya pada diri sendiri.

“Hoamm……… ”

Dalam keadaan setengah sadar dan setengah tertidur, akhirnya Kara mengangkat telepon masuk itu. Di layar tertera nama sahabat dekatnya, yaitu Nakita.

“Halo, Ta….” ujar Kara sambil masih saja mengucek matanya.

“KARAAAAAAAAAA!!”

“Apa sih? Santai kali, Ta. Lagian masih pagi buta begini, ngapain sih kamu nelpon segala?”

“Karaaaa! Kebiasaan banget sih kamu, ihh!”

“Kebiasaan apa maksudnya? Hoam…”

“Kata siapa ini pagi buta, hey? Bangun dong, Kar.”

Sebenarnya saat itu sebagian jiwa Kara yang lain masih tertidur, ia baru tidur jam 3 pagi karena harus mengerjakan beberapa rancangan gaun pengantin dan gaun malam pesanan kliennya. Tapi di saat yang sama, Kara mencoba memahami kemana maksud arah pembicaraan Nakita. Selang beberapa saat, Kara menengok jam dinding di kamarnya. Jam dinding bercorak batu marmer itu sudah menunjukkan jam setengah 9 pagi.

“Ta, masa udah jam segini aja. Sial!”

“Harus berapa kali sih aku ingetin kamu buat pasang alarm, Kar.”

“Memang hari ini ada schedule apa, Ta?”

“Meeting Kar, jam 9. Di lobby hotel  anggrek. TEPAT WAKTU! Inget kan betapa bawelnya klien yang satu itu, Bu Deva.”

“Hah? Jam 9? Kenapa sih aku super pelupa?! Oke, Ta. Aku siap-siap sekarang.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, Nakita langsung menutup sambungan teleponnya. Kara sudah tau bagaimana disiplinnya Nakita terhadap waktu serta bagaimana cara sahabat karibnya itu selalu berusaha menyenangkan hati klien.

Diantara teman-teman Kara yang lain, Nakita lah teman yang paling dekat dengannya. Bahkan rasanya sudah tidak pantas lagi jika disebut teman, bagi Kara yang seorang anak tunggal dan sejak SMA sudah ditinggal orangtuanya ke Jepang, Nakita adalah figur kakak perempuan sekaligus sahabat yang sempurna. Kara dan Nakita sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku Sekolah Dasar hingga saat ini, sebetulnya dulu mereka memiliki satu orang lagi sahabat dekat, namun takdir berkata lain. Tuhan sudah terlebih dahulu menjemput sahabat mereka dalam sebuah kecelakaan hebat beberapa tahun lalu.

Bukan Kara namanya, kalau dia tidak lelet seperti siput. Jam sudah menunjukkan jam 8.50 tapi masih saja ia bersiap-siap didepan cermin, padahal lokasi pertemuannya yaitu Hotel Anggrek itu cukup jauh dari apartemen Kara. Bahkan, sempat-sempatnya ia masih berusaha mencari pasangan dari kaus kaki favoritnya, padahal bisa saja kan ia menggunakan kaus kaki yang lain dalam keadaan genting seperti itu.

“Ya ampun, aku harus segera tiba disana atau klien ku itu pasti akan mengomel,”  gumamnya pada diri sendiri.

Pagi hari itu, seperti biasa Kara berada dibalik kemudi setir mobil. Karena sudah sejak SMA ia tinggal di apartemen sendiri, sehingga otomatis ia terbiasa menjadi sosok perempuan yang mandiri, termasuk dalam urusan setir menyetir terlebih di kota tempat tinggalnya saat ini yaitu Jakarta. Walaupun Kara tahu betul bahwa ia memiliki sifat ceroboh serta tidak pandai dalam memacu kecepatan tinggi saat menyetir, namun disaat terjepit seperti ini Kara terpaksa melakukannya demi menghindari keterlambatan.

Setelah sekitar 30 menit menyusuri jalanan, akhirnya Kara tiba di lobby hotel yang dimaksud. Karena saat itu masih terbilang pagi, sehingga keadaan di lobby masih sepi hanya terlihat beberapa orang karyawan hotel saja. Kara sudah menyadari bahwa ia sudah terlambat, bahkan sangat terlambat sehingga ia berusaha menerima apapun konsekuensi yamg akan didapatkannya. Sempat beberapa saat Kara bingung karena tidak dapat menemukan Bu Deva di sudut manapun dalam ruangan yang cukup luas itu, ia hanya terpaku saja sambil memperhatikan ruangan yang dipenuhi warna merah dan warna emas.

Tak sengaja matanya melihat sekilas kearah sofa warna merah bata dekat meja kopi. Kara masih berusaha memfokuskan pandangannya pada orang-orang disekitar situ. Di sudut sofa tersebut ada seorang wanita paruh baya dan seorang wanita lainnya yang terlihat usianya sebaya dengan Kara. Yap! Ternyata itu adalah Bu Deva dan seorang lagi itu kalau tidak salah adalah asisten pribadi merangkap sekretarisnya. Kara menyadari bahwa mereka sudah tiba lebih dahulu dibandingkan dirinya. Berada di posisi seperti itu Kara menjadi dilema, disatu sisi ia harus segera menghampiri Bu Deva dan asistennya sebelum keadaan bertambah menjadi lebih buruk lagi, tapi di sisi lain ia juga tidak mau mendekati mereka berdua karena membayangkan omelan Bu Deva saja sudah malas. Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, Kara tidak mempunyai pilihan lain selain menghampiri Bu Deva.

“Ya sudahlah, mungkin ini salah satu hari sialku. Terbukti aku sudah mampu melewati hari-hari buruk sebelumnya. Semangat Kara!” ucapnya memberi dukungan dan semangat pada diri sendiri.

Kara berjalan perlahan mendekati sudut lain dari ruangan itu, ia berjalan menuju sofa yang ditempati Bu Deva. Posisi Bu Deva saat itu membelakangi Kara, sehingga saat ia sudah sangat dekat dengan sofa, asisten Bu Deva lah yang menyapanya terlebih dahulu.

“Selamat pagi, Bu Kara!”

Sebenarnya Kara benci dipanggil ibu oleh siapapun, terlebih karena ia masih berusia 21 tahun.  Kara merasa masih belum cocok jika harus dipanggil ibu. Tapi ya sudahlah, ini kan dunia professional, ia berusaha harus menerima jika ada orang-orang yang memanggilnya ibu. Terlepas dari jabatannya di rumah mode miliknya sendiri saat ini, sebenarnya dengan posisi strategis itu Kara sudah sangat layak dipanggil ibu.

“Selamat pagi!” ujar Kara ragu-ragu.

“Perkenalkan, nama saya Lulu, saya asisten Bu Deva. Silahkan duduk disebelah sini Bu.” ucap Lulu sambil menunjuk pada tempat kosong untuk Kara duduk disana.

Bu Deva masih dalam kondisi membelakangi Kara, ia tidak berkata sepatah apapun apalagi harus repot-repot berdiri untuk sekadar meyapa, bertegur sapa atau bahkan berjabatan tangan dengan Kara. Bu Deva memang bukan tipikal orang yang hangat, tapi ia sangat professional dan disiplin sehingga sangat banyak membantu mengembangkan bisnis rumah mode milik Kara. Jadi Kara terima-terima saja atas sikap Bu Deva yang dingin itu.

Akhirnya Kara memutuskan duduk disamping Lulu, dihadapannya jelas sudah ada Bu Deva yang mungkin sudah menunggunya dari tadi. Kara belum berani memandang matanya, hingga Bu Deva membuka percakapan.

“Pagi, Kar. Thank you udah datang lebih awal.” Bu Deva berucap seperti itu dengan santainya.

Tepat waktu? Seingat Kara, tadi pagi sewaktu Nakita meneleponnya, ia mengatakan bahwa meetingnya itu jam 9 pagi. Padahal ini sudah lewat setengah jam, Kara lupa bahwa Nakita kerap menggunakan cara jahil ini dalam rangka memaksa agar Kara terburu-buru dan datang tepat waktu. Untungnya, meeting hari itu berjalan lancar dan lumayan cepat seperti biasanya. Bu Deva hanya berdiskusi mengenai rancangan gaun, rencana penyelenggaran pekan fashion dan ia hanya menanyakan beberapa hal. Setelah itu, mereka berjabatan tangan dan melanjutkan kembali ke aktivitas masing-masing.

Akhirnya Kara memutuskan untuk pergi ke kantor seperti biasanya. Di rumah modenya itu, pasti sudah ada Nakita bersama beberapa orang karyawannya. Kara sudah tidak sabar untuk bertemu Nakita dan langsung ngomel-ngomel atas tindakannya yang sudah membuat ia ngebut di sepanjang jalan menuju hotel dan yang lebih buruk lagi membuat Kara menggunakan pakaian yang seadanya karena ia tidak punya cukup waktu untuk berpikir agar ia bisa berpenampilan well-dressed.

Sambil mengemudi menuju kantor, Kara baru teringat bahwa dari tadi pagi ia belum menerima asupan makanan apapun. Bahkan ia pun melewatkan kebiasaannya meminum teh dicampur sedikit madu favoritnya, padahal Kara melakukan ritual itu setiap pagi, kadang-kadang ia juga mencampurkan lemon pada tehnya. Namun karena Kara merasa hari itu sangat hectic, sehingga ia baru meminum beberapa teguk air putih saat tadi masih meeting bersama Bu Deva dan Lulu. Sebelum tiba di kantor, ia memutuskan berhenti didepan sebuah kedai kopi yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya.

Kara merasa sedikit takjub dan terkesan dengan semua hal yang terdapat didalam kedai kopi tersebut. Pada pengalaman pertamanya memasuki tempat itu, entah mengapa untuk beberapa alasan Kara merasa bahwa ia tidak begitu asing dengan tempat itu. Tempat yang cukup mungil itu dihiasi dengan warna putih dan abu-abu dengan beberapa aksen marmer di furniture-furniturnya. Terlepas dari obsesi Kara terhadap warna putih dan motif marmer, Kara merasa bahwa ia begitu merasa disambut hangat berada di kedai tersebut. Jaraknya yang cukup jauh baik dari apartemen maupun kantor Kara lah yang mungkin menjadi penyebab ia tidak pernah berkunjung ke tempat secantik itu.

“Aku harus kesini lagi bareng Nakita,” ujar Kara bersemangat.

Dalam hatinya ia mendeklarasikan bahwa kedai kopi yang ternyata bernama Memento ini akan menjadi tempat favoritnya, mungkin untuk bertemu klien, nongkrong dengan Nakita, bahkan menikmati kopi sendirian sambil mendengarkan lagu-lagu favorit milik Bryson Tiller pun Kara tidak akan keberatan asal ia berada ditempat ini. Kara berjanji akan mengunjungi Memento sesering mungkin yang ia bisa.

Terdengar riuh rendah suara obrolan kecil para pengunjung dari beberapa sudut ruangan. Mereka juga sama seperti Kara, terlihat nyaman berada di kursi empuknya masing-masing, hanya saja mungkin Kara sudah terlanjur terlalu nyaman dibanding pengunjung yang lain. Sebelum akhirnya Kara memutuskan duduk di ujung ruangan yang dekat dengan jendela.

Selang beberapa saat, ketika Kara sudah nyaman dengan tempat duduknya, ada seorang pelayan berpakaian santai bernuansa coklat menghampiri Kara.

“Selamat pagi. Silahkan, ada yang mau dipesan?” ucap pelayan itu.

Kara memang adalah orang yang suka hal-hal baru, pengalaman baru, tempat baru bahkan orang-orang baru, namun berbeda lagi soal makanan atau minuman favorit, jika ia sudah merasa cocok maka ia akan segan untuk memesan makanan atau minuman yang lain. Termasuk soal kopi favoritnya.

“Aku pesan vanilla latte satu ya,” jawab Kara

“Baik, ada pesanan lain?”

“Air mineral tanpa es nya satu, itu saja.”

“Baik Kak, ditunggu sebentar ya.”

“Terimakasih.”

Kara memang selalu memesan air mineral tanpa es dimanapun, kapanpun.

Karena ia tidak membawa laptop atau perlengkapan yang biasa digunakan untuk menggambar desain pakaian, sehingga sambil menunggu minumannya diantar, Kara membuka emailnya dan membaca satu persatu email yang masuk. Rutinitas itu sebenarnya biasa dilakukan Kara ketika baru bangun dari tidur, namun karena pagi harinya kacau jadi ia baru sempat melakukannya sekarang. Untuk beberapa menit Kara memutuskan untuk konsentrasi membalas beberapa email yang berhubungan dengan bisnisnya. Hingga akhirnya, kopi yang dipesan Kara pun tiba.

Ditengah-tengah aktivitasnya membaca dan membalas email, Kara tak sengaja melihat ke salah satu sudut di kedai kopi tersebut. Kara melihat sesosok pria misterius, Kara yakin bahwa ia tidak mengenali pria itu. Bahkan karena sosok pria itu membelakanginya, Kara hanya dapat melihat punggungnya dan sedikit sekali profil wajahnya bagian samping. Pada saat itu, Kara merasa bahwa ia sudah tidak sopan dengan cara memperhatikan orang lain secara berlebihan. Pria misterius itu hanya duduk sambil menikmati secangkir minuman dihadapannya. Kara memutuskan untuk kembali fokus membalas email yang masuk dari klien.

“Drttttt..” tiba-tiba handphone Kara bergetar.

Bersambung…..

p.s: ephemeral adalah sebuah istilah didalam bahasa inggris yang artinya adalah hanya sesaat atau sementara

Comments

comments