Apa Peduli Negara dengan Rambut Gondrong?

967

Oleh: Reza A. Pratama

Seminggu lalu, Senin, 14 Mei 2017, saya kembali ke tukang cukur langganan setelah sebulan lebih membiarkan rambut tumbuh tidak teratur. Beberapa helai rambut telah melebihi alis dan bahkan di belakang hampir menyentuh kerah kemeja. Keadaan itu cukup mengganggu sehingga ketika ditanyai “Mas mau dicukur gaya apa?”— tanpa pernah mempertimbangkan Poster Top Collection Era 90-an yang biasa dipajang — pertanyaan itu saya tutup singkat “Rapihkan saja.” Paham dengan kode tersebut, sang tukang cukur mulai memangkas.

Standar yang dipakai layaknya standar kerapihan rambut di sekolah formal: rambut siswa laki-laki adalah 1/5 cm di bawah, 1 cm di pinggir, dan 3 cm di atas. Sekalipun nampaknya angka tersebut cukup muluk-muluk, standar itu tidak berubah dari tahun ke tahun dalam mendefinisikan kewajaran seorang pelajar di Indonesia.

Sama seperti simbolisasi penggunaan setelan jas di kalangan borjuis, standar rambut pendek di kalangan pelajar pria telah melekat sebagai simbol intelektual dan kedisiplinan. Normalnya pria adalah manusia yang mesti berambut pendek—sekalipun pada kenyataannya Tuhan tidak pernah menghakikatkan pria berambut pendek.

Lantas simbol itu juga yang akhirnya memarjinalkan kaum yang tidak sepihak. Dengan kata lain menuduh yang berbeda sebagai tidak intelek dan tidak beretika. Setidaknya itu yang saya cermati ketika para eksekutor razia—yang bukan tukang cukur melainkan guru—biasanya mengibaratkan preman jalanan, anak jalanan, dan segala yang berunsur jalanan dan berambut gondrong sebagai kaum tidak terpelajar.

Gondrong di Indonesia memang terlanjur diasosiasikan sebagai pemberontakan terhadap kepatuhan. Tercatat di Era Orde Baru, pemerintah sampai rela turun tangan memburu para pria berambut gondrong. Adalah Jenderal Soemitro yang melakukan pelarangan secara tertulis pada 15 Januari 1972. Tidak lain dilakukan untuk membunuh tren Hippies yang dibawa pemusik barat seperti The Beatles dan Rolling Stones.

Tren tersebut boleh dikatakan sangat berpengaruh bagi kalangan muda saat itu. Hippies menjelma sebagai counter-culture dari kekakuan masyarakat terhadap peraturan. Identik dengan rambut panjang dan atribut berwarna-warni, budaya Hippies diniliai merupakan perlawanan terhadap kepatuhan. Maka perlu diambil tindakan untuk menertibkan perlawanan tersebut.

Ausaf Ali Athiyyah, penulis buku Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an mendefinisikan fenomena tersebut sebagai perseteruan orang tua dan anak muda. Orde Baru berusaha menanamkan wacana bahwa anak muda merupakan penerus bangsa yang harus mewarisi idealisme Orde Baru. Oleh karena itu pengontrolan orang tua terhadap anaknya wajib diterapkan sehingga tidak terjadi dekadensi moral.

Kecemasan orangtua pada anaknya yang gondrong baru-baru ini mencuat lagi. Berakhir dengan si anak protes tidak mau dicukur rambut. Tepatnya terjadi di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dilansir Tribunnews.com (04/05) sebuah gejolak protes digaungkan oleh Aliansi Mahasiswa Gondrong UMM yang menuntut agar kampus tidak diskriminatif, menyusul peraturan yang diberlakukan sejak 2007 yang melarang mahasiswa gondrong untuk mengakses perpustakaan dan mengikuti ujian. Menanggapi protes tersebut, Rektor UMM, Fauzan kekeuh bahwa hal itu merupakan pelanggaran terkait norma dan nilai di universitas.

Menyinggung perseteruan tentang rambut tersebut, membuat pertanyaan saya mengakar pada: Apa peduli manusia akan rambut?

Mengutip tulisan yang dirilis Time.com, Merril Fabry mencoba menyingkap alasan rambut yang dapat merepresentasikan gender dan nilai. Mundur jauh ke belakang ke era Yunani dan Roma Kuno, berdasarkan penuturan arkeolog Elizabeth Bartman, sekalipun dengan munculnya tren filsuf Yunani berjanggut tebal dan berambut panjang, di zaman tersebut wanita memiliki rambut yang lebih panjang dibandingkan pria. Sementara itu di Roma, para wanita memelihara panjang rambutnya dan para pria terlalu takut apabila rambutnya dicemooh seperti banci.

Anthony Synnot pernah menulis bahwa rambut adalah simbol signifikansi sosial. Sementara itu Bible juga mencatat tradisi tersebut. Misalnya pada surat Saint Paul kepada Corinthians: “Doth not nature itself teach you that if a man have long hair it is a shame unto him? But if a woman have long hair, it is a glory to her.”

Diungkapkan juga oleh Kurt Stenn, penulis Hair: a Human History bahwa rambut sangatlah komunikatif dan dapat menunjukan pesan tentang kesehatan, seksual, agama, dan kekuatan. Rambut dapat menjadi ekspresi individu maupun identitas grup. Akan tetapi mantan professor patologi dan dermatologi itu lebih percaya bahwa alasan kesehatan merupakan faktor utama yang mengakar pada gaya-gaya rambut.

Untuk merawat rambut panjang bagi sebagian orang merupakan tugas yang cukup sulit. Ketidakpraktisan rambut panjang dapat menghambat kinerja seseorang. Tak heran di abad ke-20 gaya rambut pendek seperti bob digandrungi oleh wanita yang mulai sadar bahwa rambut harus dirawat.

Stenn berkata “Rambut panjang dapat menentukan status, utamanya ketika gaya rambut bertambah kompleks, maka anda memerlukan orang lain untuk mengurusinya, yang berarti anda membutuhkan harta untuk mewujudkannya.” Pria keturunan bangsawan terbiasa dengan gaya hidup seperti itu dan terkadang membiarkan rambutnya tumbuh panjang.

Logika tentang kesehatan merawat rambut itu nampaknya lebih dapat saya terima ketimbang sangkutpautnya dengan derajat intelektual dan dekadensi moral. Indonesia bukanlah negara dengan idola berambut cepak seperti Kim Jong Un yang membatasi 15 gaya rambut pria ke dalam peraturan sah negara dengan alasan irasional. Kebebasan bergaya rambut seharusnya merupakan permasalahan individu yang ditanggung sendiri.

Kalaupun negara kepalang serius mengurusi rambut warganya. Rasionalitas tentang kesehatan nampaknya lebih tepat diberikan pada golongan muda Indonesia ketimbang menuduh kaum berambut panjang sebagai pemberontak dan kumpulan orang tidak berguna. Karena bukan hanya pengamen jalanan dan preman jalanan saja yang tersinggung dengan stereotip tersebut. Akan tetapi pembesar dunia seperti Plato, Newton, dan bahkan nabi-nabi ajaran Samawi nampaknya juga tidak ingin dilabeli sebagai orang tidak berguna.

Kini kembali ke kursi tukang cukur yang sudah 15 menit saya duduki. Seorang pria umur 40-an datang membawa anaknya yang saya nilai masih duduk di bangku sekolah dasar. Kini anak itu duduk di samping saya. Kembali tukang cukur bertanya “Mas mau gaya rambut apa?” Bapaknya menyerobot “Rapihkan saja pinggirnya, sama depan yang nutupin alis, soalnya besok ada razia,” sambil tangannya membimbing. Terbesit di pikiran, kelak si anak akan berontak dari aturan. Menjadi mahasiswa baru berambut gondrong yang ujung-ujungnya dilabeli urakan oleh dosennya.

Hah. Apa peduli saya dengan rambut orang lain?

Comments

comments