Membandingkan G30S/PKI dengan Film Korea

325

Oleh: Syawahidul Haq*

*) Mahasiswa Departemen Bahasa Sunda 2013

Entah ini tulisan keberapa sejak situasi negara riuh dengan berembusnya kabar kebangkitan PKI atau lebih kerennya—menggunakan bahasa TNI—Komunisme Gaya Baru. September, setiap tahunnya, selalu menjadi bulan-bulanan para oposisi penguasa untuk mengontrol situasi politik di negeri ini. Entah untuk menumbangkan rezim, entah demi mendapuk kekuasaan dengan cara licik, entah agar doktrinasi Orba terus melekat di hati rakyat. Entah.

Memasuki Oktober, tepat pada tanggal 1, negara ini menjadikan tanggal tersebut sebagai hari kesaktian Pancasila. Ya, saking saktinya, dapat membuat—entah—ribuan atau jutaan rakyat hilang nyawanya. Dalihnya: PKI! Pembangkang negara! Atheis! Istriku, istrimu dan istrimu, istriku! Dosa! Laknat!

Pro dan kontra turut menghiasi pertarungan berdialektika. Sebagai contoh, kejadian tersebut menurut kesaksian para penguasa memang tidak menjadi masalah apa-apa, itu merupakan kewajaran yang dilakukan negara demi tidak runtuhnya sistem negara yang sudah ideal dan menjaga kestabilan negara. Terserahlah, semua punya pendapat masing-masing. Namun, saya kira, luka ini tak seharusnya berputar dalam lingkaran setan, butuh penyelesaian yang pasti dari pihak-pihak terkait yang bertanggungjawab atas kejadian berdarah ini.

Saya bukan akan membahas secara historis tentang pembantaian massal yang telah dilakukan negara 40 tahun silam. Saya bukan ahli sejarah. Pun, kabar simpang siur beredarnya isu genosida, sampai sekarang masih menuai kontra menjadikan saya takkan terlalu ikut campur di dalamnya.

Namun, saya hanya akan—sepertinya—hampir mirip meresensi film. Setidaknya, sedikit mencocokan dan menghubungkan keterkaitan film Penumpasan Penghiantan G30S/PKI karya Arifin C Noer dengan Anarchist From Colony karya Lee Joon-ik. Karena ada sedikit persamaan yang sedikit menononjol dengan gerakan penghianatan yang dilakukan Park Yeol dan Fumiko Kaneko, aktivis anarkis Korea pada 1923 silam dengan gerakan penghianatan yang diusung PKI.

***

Semua sepakat. Tak ada yang menentang bahwa dalam konten film besutan Arifin C Noer sarat dengan kebenciannya terhadap partai terlarang itu. Pola narasi yang dibangun dari film tersebut, seluruhnya memuat kekejian para PKI yang menjagal para jendral revolusioner Indonesia saat itu. Penyiletan, penembakan, pemukulan, bahkan sampai pembuangan pada satu lubang yang kini disebut lubang buaya, mendukung narasi bahwa PKI adalah partai kejam. Kemudian militer, menjadi satu-satunya pahlawan dalam penumpasan kekejian yang dilakukan para—tertuduh—pemberontak.

2017 menjadi tahun pemutaran kembali film tersebut, setelah berhenti tayang 19 tahun lalu. Tepat setelah tumbangnya rezim Soeharto pada masa Orde Baru. Penghentian ini bukan tanpa sebab, menurut Juwono Sudarsono, Menteri Pendidikan saat itu mengungkapkan keinginannya untuk memberi informasi yang berimbang bagi siswa terkait peristiwa kelam 40 tahun silam itu. Juga meminta para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA saat itu. (https://tirto.id/mempropagandakan-film-seram-g30s-pki-cxsV)

Hal ini, setidaknya mengindikasikan bahwa film yang terlanjur tayang beberapa hari kemarin di televisi maupun di sudut-sudut kota Indonesia, merupakan sebuah upaya pemerintah melanggengkan suatu kebohongan dan kebencian buta terhadap satu partai.

Lalu, apa hubungannya dengan film Korea itu?

Dalam narasi pembuka Anarchist From Colony dikatakan, film tersebut berdasarkan kisah nyata yang dialami Park Yeol dan Fumiko Kaneko, juga beserta kawan-kawan aktivis anarkis dalam tindak-tanduknya melawan pemerintahan kolonial Jepang yang menduduki Korea. Saya kira, mereka merupakan Berkman dan Goldman versi asia.

Meski saya menilai film ini memuat konten yang ringan, bahkan sepertinya dikemas secara menggemaskan dan lucu, tetapi, narasi yang coba disampaikan Lee Joon-ik benar-benar tersampaikan. Pola-pola pemerintahan Jepang dalam menutupi kekejiaannya terhadap genosida besar-besaran, membuat Park Yeol, seorang aktivis Korea menjadi kambing hitam dalam kasus tersebut.

Setelah gempa Kento, keputusan irasional mantan Menteri Dalam Negeri Kekaisaran Jepang, Mizuno, dalam menetapkan darurat militer menjadi pelatuk pada masalah yang sebenarnya. Ia memerintahkan status darurat militer demi mencegah terjadinya gerakan 1 Maret 1919 terulang kembali, yang membuat setidaknya 7000 orang tewas oleh tentara dan polisi Jepang. Atas dasar asumsi bahwa para warga Korea telah meracuni sumur dan mencoba membunuh Pangeran. Lantas, warga Korea menjadi bulan-bulanan sipil Jepang. Pembantaian di mana-mana. Yang selamat hanya karena cepat ditangani para polisi Jepang.

Tentu, jika mencari benang merah atas peristiwa ini, para warga Korea yang terbunuh atas dasar patriotisme dan chauvinisme warga Jepang yang membabi buta itu dapat pula disamakan dengan PKI dan masyarakat yang tertuduh PKI. Tak perlu pilih-pilih, dewasa, tua renta, remaja, anak-anak, selagi dia Korea, dihabisi. Kemudian, apa pula peran Park Yeol?

Ia menjadi kambing hitam kekaisaran Jepang atas peristiwa yang terjadi. Seolah untuk menutupi genosida dari pihak Internasional, alih-alih Park Yeol dijadikan sebagai penghianat bangsa. Pola ini, sama halnya dengan para PKI yang dihalalkan darahnya oleh pemerintah untuk segera dihilangkan dari Nusantara. Menjadi kambing hitam dan juga diterapkan dalam sebuah TAP MPRS yang bunyinya pelarangan atas ide-ide komunisme.

Saya takkan terlampau banyak bercerita soal peristiwa 1965 maupun pembantaian di Korea, tetapi, mungkin dengan ini, masyarakat bisa cerdas dalam menilai kebenaran mana yang direkontruksi pemerintah dan bukan. Persoalan cara kekaisaran Jepang dalam menutupi kasus genosida itu, mungkin pula diterapkan pemerintah kita 40 tahun silam.

Mengutip puisi berjudul Anjing Sialan karya Park Yeol dalam film tersebut, ia katakan:

Aku hanya seekor anjing sialan.

Menggonggong pada langit.

Menggonggong pada bulan.

Aku hanya seekor anjing sial tak berharga.

Aku hanya seekor anjing sialan.

Dari selangkangan bangsawan,

Sesuatu yang hangat keluar dariku saat mandi,

Dan aku tuangkan segelas air panas ke selangkangannya.

Aku hanya seekor anjing sialan.

Comments

comments