Vandalisme, V for Vendetta, dan Banksy
Oleh: Reza A. Pratama*
*) Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2014 FPIPS UPI
Coretan di dinding membuat resah
Resah hati pencoret
Mungkin ingin tampil
Tapi lebih resah pembaca coretannya
Sebab Coretan dinding
Adalah pemberontakan kucing hitam
Yang terpojok di tiap tempat sampah, di tiap kota
Genjrengan gitar Iwan Fals mengalun bagai soundtrack film koboi menemani perjalanan seorang musafir. Nadanya menggertak. Liriknya memberontak.
Rasanya aneh tidak menemukan lagu ini di spotify, padahal lagu ini bisa jadi anthem para pemberontak pilox sebelum melaksanakan amalannya. Kalaupun bisa maka lagu itu akan mengalun di tiap sudut kota. Di tiap malam. Di kamar mandi. Di kampus-kampus.
Coretan dinding itu akhirnya mampir ke kampus saya. Pagi hari media sosial saya dibanjiri postingan mengutuk perbuatan vandalisme tersebut. Komentar panas macam “Nah ini anak mau kritis tapi ga punya otak,” bermunculan. Kejam memang. Ya begitulah… Di kampus ini diperbolehkan menghujat dengan kata pedas. Asal cukup di media sosial.
Lalu ada juga mahasiswa pemerhati keindahan lingkungan. “Perbuatannya tidak mencirikan mahasiswa, tidak elok sama sekali, kalau mau, bikin mural sekalian. Kan bagus.” Nah ini kritis yang membangun. Saran bagi pelaku untuk lebih banyak belajar mengenai seni rupa. Supaya hasilnya tidak berupa tulisan monoton saja. Sekiranya bisa, tambah ilustrasi yang dapat merepresentasikan tulisan. Entah karikatur atau seni abstrak.
Yang paling bikin kasian adalah mahasiswa prihatin. “Aduh fakultas saya itu, baru dicat sudah dikotori lagi.” Saya yakin mahasiswa ini yang paling gregetan. Kecintaannya terhadap kampus indahnya, harus diganggu tangan-tangan jahil.
Kalau masalah keelokan atau seni saya tidak mau komentar banyak lah. Toh seni banyak bentuknya. Seni adalah selera masing-masing orang. Banyak orang rela bayar milyaran untuk kanvas dengan lukisan biru polos. Banyak orang juga lalu lalang mengabaikan lukisan warna-warni jalan Braga.
Yang membuatnya mencolok adalah keadaan. Tulisan itu muncul begitu saja di tengah-tengah keteraturan. Sebuah bentuk disrupsi dari kehidupan kampus yang konstan. Saya jadi ingin membandingkan kejadian ini dengan V for Vendetta. Salah satu film favorit saya.
Komparasi ini bukan didasarkan kemiripan simbol yang dipakai protagonis V dengan simbol yang dipakai pencoret, melainkan karena sebuah keresahan akhirnya meluap dan tertuang pada medium yang tidak lazim dan maksud yang sama dari masing-masing simbol.
V adalah karakter fiktif yang digambarkan seorang diri melawan pemerintahan yang korup. Mempertontonkan eksistensinya dengan vandalisme, lalu menyisipkan kritiknya dalam setiap tindakan.
Pada suatu adegan sang protagonis membakar Old Bailey, gedung pengadilan masyarakat Inggris. Sebagai tanda perlawanan bahwa hukum telah mati dan dicidera. Protagonis berpikiran tidak perlu lagi ada simbol hukum di tengah ketidakadilan.
A building is a symbol, as is the act of destroying it. Symbols are given power by people. Alone, a symbol is meaningless, but with enough people, blowing up a building can change the world.
Bukan saya berpendapat bahwa tindakan vandalisme itu mulia. Bukan. Tolong jangan diartikan seperti itu. Memori saya hanya terpicu mengaitkan salah satu momen film favorit saya dengan kejadian di kampus. Hanya saja kok menarik gitu. Di kampus saya ada orang yang kepikiran sejauh itu untuk tampil dengan cara “berbeda”.
Tampil “berbeda” pada situasi yang tenang menandakan ada ketidakberesan yang terselubung. Banksy, seorang seniman graffiti misterius Inggris yang menorehkan karyanya secara acak pada dinding-dinding kota. Karyanya dapat tiba-tiba muncul di rumah kumuh, di susuran trotoar, atau puing-puing dari sisa penghancuran gedung usang. Semua graffitinya mempunyai nada serupa. Kritik satir terhadap pemerintah dan masyarakat. Tanpa ada pemicu Banksy seolah-olah yang berperan menjadi pemicunya.
Gambar paling terkenalnya adalah perempuan kecil yang kehilangan balon berbentuk hati. Masyarakat Inggris resah dengan perbuatannya. Beberapa kali karya Banksy dihapus karena dituduh merusak pemandangan.
Praktek yang dilakukan pencoret kampus, V, dan Banksy ini memiliki satu kemiripan. Anonimitas. V menyembunyikan identitasnya menggunakan topeng Guy Fawkes. Sementara Banksy hanya meninggalkan aliasnya saja tanpa menampakan wujudnya. Pencoret kampus ini juga sampai sekarang masih tidak diketahui. Satu hal yang pasti, ada simbol Anarchy di setiap akhir tulisannya.
Banyak yang bilang itu kelakuan tidak bertanggung jawab. Lempar batu sembunyi tangan. Apa iya begitu? Menurut saya justru dengan menyematkan simbol dan alias berarti si pelaku ingin dituduh bertanggung jawab. Ingin menunjukkan eksistensi bukan dalam wujud fisik, melainkan dalam bentuk ideologi dan makna.
Kalau Banksy mau, mungkin ia tidak akan mencantumkan namanya. Pada akhirnya karya-karyanya hanya akan bersesakan dengan kumuhnya kota dan tulisan lain. Tanpa makna dan nama. Banksy mungkin berniat untuk menunjukkan pola kritiknya, sehingga ada masyarakat yang sadar akan konsistensi maksudnya tersebut.
Sama halnya dengan pencoret dinding kampus ini. Tidak satu kali saya menemukan lambang serupa. Tulisan dengan nada menjatuhkan pemerintah dan simbol itu selalu hadir di tempat-tempat terjadinya konflik keadilan. Pada pilar Jembatan Pasoepati ataupun Lapangan Gasibu.
Saya ingin mengutip lagi kata-kata V yang menurut saya sangat keren. Ketika itu V akan ditembaki polisi. Begini bunyinya:
Beneath this mask there is more than flesh. Beneath this mask there is an idea, Mr. Creedy. And ideas are bulletproof.
V selalu teguh dengan konsep tersebut. Menurutnya sebuah nama dan identitas diri itu tidak penting. Ia menggunakan topeng untuk menanamkan gagasannya. Ketika seseorang mati maka ia akan pergi bersama gagasannya. Kecuali gagasan tersebut tertanam pada sebuah simbol. Maka simbol-simbol akan memperbanyak diri dan kekal.
Oke. Saya tidak mau spoiler kebanyakan tentang film ini. Ada bagusnya Anda menonton sendiri. Saya jamin deh rekomendasinya. Kecuali Anda sekalian alergi dengan film pemberontakan yang ada agenda politiknya. Saya sarankan tonton Avenger 3 saja.
Akhir kata. Tulisan ini tidak aktual sama sekali. Kejadian itu sudah berlalu seminggu yang lalu. Lagian kampus pun sudah adem lagi. Adapun lamanya saya bereaksi juga dikarenakan saya harus nonton lagi biar pembahasannya komprehensif.
Sampai saat ini pihak kampus berkata pelakunya belum ketemu. CCTV-nya tidak becus mengambil gambar. Masa penuh memori. Katanya juga kalau malam CCTV-nya kabur menangkap gambar. Padahal kejadian semacam itu kan normalnya terjadi malam. Ah sudahlah, lagian katanya kejadian vandalisme ini juga baru terjadi di kampus ini. Mungkin antisipasinya memang belum maksimal.
Tapi apa benar baru terjadi sekarang? Lalu tulisan-tulisan yang saya temukan di wc kampus itu berarti bukan vandalisme ya. Nada satir dan kelakar bertebaran. Kritik pemerintahan Jokowi dan pemerintahan kampus bersandingan. Apakah pelakunya sama? Ataukah masing-masing dari kita memang punya dorongan pemberontakan. Mendesak untuk keluar, hingga tangan gatal untuk menuliskannya.
Sebab Coretan dinding
Adalah pemberontakan kucing hitam
Yang terpojok di tiap tempat sampah, di tiap kota
Suara serak Iwan Fals menembang bagai soundtrack film koboi menemani perjalanan seorang pemgembara. Liriknya sumbang dan menambah keresahan.[]
Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab penulis yang bersangkutan.